About Me

My photo
JUST EVERY DAY PEOPLE

Tuesday, March 27, 2012

Tribute to those specials (jiwa jiwa yang membuatmu enggan mati muda)....^^


Saya 24 tahun, bukan sesuatu yang special, karna bukan perak, bukan perunggu dan bukan emas. Tapi yang pasti, hari raya tahun depan saya akan punya jawaban lain saat saudara saudara tua bertanya, "kapan menikah?". Saya dapat hadiah yang manissss sekali di hari ulang tahun saya, tentu saja selain tugas kantor yang mengharuskan saya berkutat dengan 16000 kertas dan plastik. Keluarga baru saya meredefinisi permaknaan rumah, ya...saya akhirnya menemukan sebuah rumah. Rumah yang bukan imajiner tapi konkrit, rumah yang tidak perlu hak huni dan bangun, rumah yang memberanikan saya untuk selalu menghuni. Rumah yang saya sebut persahabatan.

Saya mendapat hadiah nunutan dari Ajeng, karib saya di Jember. Hadiah nunutan, karena sebenarnya hadiah tersebut bukan untuk saya, melainkan untuk mbak Ayun yang berulang tahun sehari sebelum saya. Hadiah itu merupakan sebuah narasi singkat tentang mbak Ayun yang berhasil melewati usia keramat, 27 tahun dan dengan sukses memasuki usia 30 tahun. Menengok tulisan Ajeng itu, maka saya masih akan menantikan tiga tahun mendatang untuk melihat apakah saya akan bernasib sama dengan Amy Winehouse yang menutup usia di angka 27, atau akan panjang umur seperti ratu Elizabeth yang terseok seok melambailan tangan keriputnya. Apapun yang terjadi pada saya nanti, saya berterimakasih kepada Tuhan dan karib karib saya karena telah menyambut saya dengan kehangatan matahari jam sembilan pagi.

Karena hadiah saya adalah nunutan, dan karena hadiah itu merupakan sebuah narasi yang bukan menarasikan saya, maka saya akan menghadiahi diri saya sendiri dengan sebuah narasi. Sekaligus merupakan sebuah tribut untuk teman teman yang membuat saya enggan mati muda.

Saya masih ingat betul sekitar empat tahun yang lalu, saya menulis sebuah tulisan yang berjudul A nu Day, always a nu day. Bercerita tentang kesadaran sekaligus kekawatiran saya sebagai budak waktu. Saya kawatir jika pada usia produktif, saya malah akan membuang buang waktu dengan nonton gosip dan menghafal chart musik karena aplikasi lamaran saya belum juga mendapat balasan. Saya menulis untuk mengingatkan setidaknya diri saya sendiri bahwa waktu sesungguhnya Tuhan dalam bentuk materi abstrak yang menentukan mau dibawa kemana hidupmu। Sekali kamu tak bertegur sapa dengannya, selamanya akan dibawanya kamu ke dunia antah berantah dimana kau lupa segala galannya pun namamu sendiri, dan sebagai pledoi penutup hidup, mengutiplah kau apa kata Charil Anwar, sekali berarti lalu mati.

Tulisan saya itu (seperti tulisan tulisan saya yang lain yang selalu konsisten untuk tidak konsisten), pada akhirnya menemukan takdirnya sendiri untuk tidak lagi bercerita tentang kekawatiran menjadi budak waktu, namun bercerita tentang kenikmatan menjadi budak waktu dengan berkhayal menyusun cita cita.

Cita cita awal saya adalah menjadi seorang Public Relation, yang artinya Humas jika dalam proposal kepanitian pentas seni SMA, dan yang ternyata dalam prakteknya lebih dekat dengan marketing, yang kalau ditarik dalam peyorasi tingkat rendah disebut juga sales, yang kalau mau di runtuhkan lagi harga dirinya disebut penjaja kata. Ah..sejujurnya, sampai sekarang pun saya belum juga tau jelas tentang definisi PR, hanya saja bagi kuping saya dua kata itu tetap menarik. Keinginan itu terinjeksi oleh majalah perempuan yang selalu dibeli ibuku dengan roman roman prancisnya yang selalu bercerita tentang perempuan perempuan cantik yang bekerja berkeliling dunia lalu bertemu pangeran pujaan, memiliki kisah cinta yang unik dan khayali, lalu menikah dan happily ever after. Sayangnya, cita cita ini kandas di ujung kaki saya yang panjangnya tak lebih dari 152 cm. Tapi lintang kecil tidak menyerah, bergegaslah ia menyusun cita cita baru, kali ini ia bercita cita sebagai desain interior hanya karena ibunya berkata bahwa ia cukup pandai menata kamarnya (padahal mungkin ibu mengatakan ini agar ia rajin membereskan kamar). Semangatlah saya untuk menyusun rencana menjadi desain interior, namun lagi lagi pupus sudah cita cita itu setelah ibu saya memarahi saya habis habisan karena kamar saya seperti kapal titanic setelah menabrak gunung es. Sekali lagi, tidak lah saya menyerah, cita cita saya selanjtnya adalah menjadi arsitek, hal ini karena saya gemar membaca salah satu rubrik tentang konsultasi rumah dalam sebuah majalah perempuan milik ibu saya. Niat saya bukan hanya dimulut, kali itu saya juga mengimbanginnya dengan bergabung dalam kelompok siswa matematika fisika, sayangnya, kukabarkan hal buruk lagi padamu kawan, saya hanya bertahan selama dua minggu dalam kelompok itu dan dengan pasti cita cita saya menjadi arsitek layu sebelum berkecambah karena sudah dipastikan nilai fisika dan matematika saya akan berhenti di angka 6 sebagai hasil maksimal. Lalu saya bercita cita lagi sebagai guru, sebagai imbas membaca buku habis gelap terbitlah terang tulisan seorang perempuan hebat dari Jepara. Tak perlu lah kujelaskan mengapa aku urung melanjutkan cita cita ini, namun aku sempat menyesal telah mengkandaskannya setelah tau bahwa ada istilah baru bernama sertifikasi. Cita cita saya yang sebenarnya tidak pernah berubah adalah bisa travelling kemanapun dan bertemu beraneka macam manusia.

Umur 21 saya memulai belajar bekerja, pekerjaan pertama saya adalah menjadi seorang tour leader. pekerjaan yang bisa dibilang sangat menarik, saya bisa mengunjungi berbagai tempat dengan gratis dan dibayar pula, walau bukan jarang saya kena semprot dan dimarah marahi karena sesuatu hal, dan bukan jarang pula saya mendapat senyum ramah dan pelukan hangat. Cita cita saya untuk bisa travelling sedikit terwujudkan. lalu pekerjaan kedua saya adalah menjadi surveyor pertamina dalam program konversi gas. Saya diharuskan berkeliling dari kampung ke kampung mendata penduduk yang berhak menerima bantuan kompor gas, dari sana saya mengetahui bahwa di belakang gedung megah di kota saya, masih banyak rumah rumah tanpa jendela yang terpaksa hidup dalam kepengapan dan kegelapan absolut. Ada seorang nenek yang sudah berusia sekitar 60 tahun, mata kirinya sudah berwarna abu abu tanda katarak. Ia hidup hanya berdua dengan cucunya yang berumur 4 tahun, bercerita padaku bahwa anaknya bercerai dan sekarang mengadu nasib sebagai TKI. Beliau berjualan kayu bakar dengan penghasilan lima ribu perhari (yang sayangnya juga tak tentu), lampu teplok dari kaleng bekas dan kain yang dicelup dalam minyak gas hanya satu satunya harta selain foto anaknya yang terbingkai dalam frame usang 4 x 6. Memikirkan bagaimana nenek dan cucu ini masih bisa hidup dan tertawa saja saya bingung, iya, masih bisa tertawa dengan segala keterbatasan. Lalu saya bertanya pada diri saya sendiri, bisakah kompor dan gas menolong si nenek?. Tetap dalam diam, saya menulis namanya, tanggal lahirnya yang saya karang dan kira kira sendiri (beliau lupa), juga tanda tangan yang juga saya karang sendiri. Saya bilang pada si nenek bahwa ia akan dapat kompor dan gas, tapi nanti jika ia sudah dapat, bolehlah di jual, dan tetaplah memasak dengan kayu bakar. Ternyata, konversi gas bukanlah jawaban. Dari pengalaman itu, saya ingin lebih sedikit berati, bekerja di sebuah lembaga sosial yang bisa meringankan beban sesama walau hanya sedikit. Cita cita ini hampir terwujud, tinggal selangkah lagi, namun ketika saya berdoa dengan intro "ya allah, jika perkara ini baik untukku, maka jadikanlah, jika tidak maka hindarkanlah"....cita cita ini malah tidak terwujud (belum tepatnya). Pekerjaan saya selanjutnya adalah menjadi guru di sebuah lembaga belajar, tidak ada yang special selain mengetahui bahwa anak anak jaman sekarang cepat sekali besarnya. yang selanjutnya saya mencoba peruntungan menjadi wiraswasta, membuka kafe kopi dengan dana hibah sebesar 30 juta. Satu tahun penuh saya dan keempat teman saya bergadang berjualan kopi, hingga malam hari saat di tangan saya bersandar nampan beserta kopi diatasnya, saya bertanya lagi pada diri saya sendiri, "benarkah kau belajar bahasa inggris, mengenal Kierkegard dan menghambai marxist pada sesuatu hal hanya untuk berjualan kopi?". Yah,, kesadaran itu membawa saya pada keputusan untuk tidak lagi berjualan kopi dan kembali berkutat dengan skripsi saya hanya untuk tambahan S.S dibelakang nama saya. Itu saat saya berumur 22 tahun. Jika umur 21 tahun menghadiahi saya sebuah semangat untuk membentuk sebuah kehidupan, maka angka 22 menghadiahi saya bahwa hidup tidak hanya butuh semangat, namun juga keringat.

Hadiah tahun lalu saat saya berumur 23 adalah ayah sakit dan beliau harus di operasi. Saya sangat ketakutan, tapi tak mungkin dan tak boleh kawatir, untuk ibu dan adik saya. Saya tak tau harus bercerita pada siapa tentang ketakutan saya, akhirnya saya hanya menangis dibawah shower hampir lebih dari satuu jam. Ayah saya sembuh, saya lega, ibu saya senang, adik saya gembira. Usia 23 menghadiahi saya sebuah kesadaran bahwa kehidupan bisa hilang kapan saja, menghadiahi saya sebuah kesadaran bahwa sebagai anak pertama saya berkewajiban untuk matang baik pikir maupun laku. Harus bisa menjadi sandaran kapanpun dan dimanapun bagi keluarga saya. Sebuah kesadaran bahwa saya tidak lagi gadis kecil dengan fairy talenya.

Tahun ini, saya melewatkan moment 24 saya di kota malang. Merindukan serangan tengah malam dengan kue tar dan lilin berangka yang digawangi gadis gadis DT 47 lalu mencoreng coreng muka dengan tar dan memakannya dengan mata yang mengantuk. Tahun ini saya melewatkan moment 24 saya dengan 16000 kertas dan plastik, serta kehangatan dari rumah baru saya, dua buah tar mungil, empat buah bros manis, dan sebuah jilbab cantik. Dan masih merindukan rumah Jember saya, jalanan yang ramai, ketan ayu dengan sate atinya, wedang cor dengan tempe gorengnya, mbah tin dengn jilatan ludahnya di dahi saya, tawa renyah dan asap rokok yang tak pernah menyesakkan.

Angka 24 menghadiahi saya sebuah kesadarn bahwa rumah adalah dimana engkau diterima dan menerima, bersama mennggarnis kehidupan dengan hidup itu sendiri, dan tak pernah berhenti untuk saling mengerti.

Angka 24 menghadiahi saya sebuah kesadaran bahwa kandasnya satu mimpi bukan berarti menghalangimu untuk bermimpi lagi dan lagi.

Angka 24 menghadiahi saya sebuah kesadaran untuk sekali lagi bersyukur karena diberikan rumah yang nyaman.

Dan,,

Angka 24 menghadiahi saya sebuah kesadaran bahwa saya masih punya PR untuk mencari jawaban sebuah pertanyaan di hari raya nanti,, "Kapan Menikah?"

Trimakasih buat Rumah indahnya ^^

1 comment:

  1. suka sekali dengan tulisan ini.... paling tidak penulis tau tentang dirinya...

    ReplyDelete