About Me

My photo
JUST EVERY DAY PEOPLE

Sunday, March 25, 2012

Membaca Nasib


Interlude

Saya masih ingat jelas saat bapak saya memarahi saya habis habisan gara gara saya gemar sekali membaca ramalan zodiac di majalah Femina, majalah ibu saya. Bapak saya bilang itu syirik, tak baik mengira ngira takdir hanya dengan membaca ocehan redaktur gila yang mungkin menulis ramalan sambil ngupil. Namun, pemahaman saya yang waktu itu masih memilih tidak paham, cuek saja setiap kali bapak saya marah. Saya hanya akan menutup majalah Femina itu, lalu memberikan waktu saya sepenuhnya untuk di marahi dengan muka yang datar, begitu bapak pergi, saya akan menyeduh kopi instant, menyusun bantal di sofa sambil mencari posisi paling nyaman sedunia, dan kembali membaca takdir saya selama seminggu kedepan yang ditulis oleh redaktur gila suka ngupil tadi. Kebiasaan membaca ramalan zodiac itu memang mencandu, jika kamu kopiholik, ato rokokholic, ato ganjaholic, ato mungkin ngupilholic (seperti si redaktur tadi), maka saya Zodiakholic. Saya tidak akan malu malu membaca rubrik Zodiak secara gratis saat saya melewati kios kios Koran di pinggir jalan seiring jalan saya pulang. Bukan Cuma 1, hampir semua majalah remaja saya kulik satu persatu dan membaca bagaimana nasib saya satu minggu kedepan. Begitupun di setiap senin sore, maka saya akan menunggu ibu saya pulang, memeriksa tas beliau, dan membuka majalah Femina. Lalu membuka kolom Zodiak, maka akan ada 2 zodiak yang saya baca, yang pertama Zodiak saya yang berlambang perempuan, yang kedua adalah Zodiak teman lelaki yang saya suka. Satu hal yang saya heran, walaupun berbeda bahasa, hampir seluruh ramalan Zodiak itu akan menyampaikan hal yang sama, misalnya ” Pastikan Anda tidak membiarkan diri Anda mengalah. Jagalah diri mu sendiri dan kesehatan fisik dalam pikiran Anda. Makan dengan baik dan jangan tergoda. Keuangan : Hidup Tenang, Asmara : Fatal, Pasangan Tidak Serasi : Aries, Leo, Libra, Aquarius, Pasangan Serasi : Cancer, Taurus, Virgo, Scorpio, Pisces, Hari keberuntungan : Kamis.”

Jika saya mencoba menterjemahkan ramalan si tukang ngupil, maka saya harus bertapa dan pergi ke psikiater jika ternyata pikiran saya tidak sehat(jagalah kesehatan fisik dalam pikiran anda), puasa dan diet (Makan dengan baik dan jangan tergoda), tak perlu mencari pekerjaan sampingan seperti menerjemah atau menulis artikel online (dompet dalam keadaan aman terkendali), dan mempersiapkan cara termanis untuk bunuh diri, tidur di rel kereta misalnya, karna asmara saya fatal, serta menanyakan “zodiakmu apa ?” pada kencan pertama untuk menghindari para pria berbintang aries, leo, libra dan aquarius, dan minta diajak nikah 2 tahun lagi jika saya bertemu pria berzodiak cancer, taurus, virgo, scorpio dan pisces, serta berharap agar hari kamis tidak berlalu dan memilih tidur sampai hari kamis berikutnya datang.

Tabloid POSMO dan Cerita tentang Gunung Kawi

Bapak dan ibu saya, beliau berdua adalah orang tua nomer satu se-alam semesta. Beliau mengajarkan kepada kami bagaimana menjadi manusia yang baik dengan cara yang benar, tidak hanya dengan tutur, namun seringkali dalam perbuatan. Bapak saya mengajarkan kami pentingnya mengaji, menjaga sholat dan menghormati orang tua, tidak dengan tutur, namun bapak akan selalu menyempatkan tiap minggu untuk mengunjungi mbah saya di Sidoarjo betapapun capeknya beliau. Kadang dulu saya seringkali berpikir, untuk apa ke Sidoarjo setiap minggu, ketika disana pun kami tidak melakukan apa apa, hanya pindah tidur dan pindah makan. Kenapa tidak sebulan atau tiga bulan sekali misalnya, (ini salah satu factor kenapa saya tidak pernah kencan di malam minggu, melainkan malam Jum’at, sudah seperti orang cari pesugihan saja memang). Namun bapak bilang, menyenangkan orang tua itu pahalanya besar, sudah itu saja, tanpa titik koma. Di kemudian hari (maksudnya hari hari sekarang), saya pada akhirnya mengerti apa yang dimaksud pahala itu. Sedangkan ibu saya memperkenalkan kami budaya membaca, pernah suatu ketika ibu bilang bahwa cita-cita beliau sebenarnya adalah menjadi ahli sejarah, namun entah mengapa nyasar menjadi akuntan. Majalah pertama yang dibelikan ibu (khusus) untuk kami adalah Donal Bebek. Inilah jawaban mengapa saya selalu merasa pernah membaca karya karya sastra legendaries sebelumnya, seperti The Old man and the Sea karya Hemmingway atau Journey to the Center of the Earth nya Jules Verne, kedua karya besar itu di adaptasi sedemikian rupa oleh Disney dan dimainkan dengan apik oleh Donal Bebek dengan formasi lengkapnya, Kwak, Kwik, Kwek serta Paman Gober. Selain bacaan yang dikhususkan untuk kami, saya juga seringkali membaca bacaan yang bukan untuk saya, majalah Femina misalnya. Saya mengenal istilah wanita karir ya dari situ, juga cita cita pertama saya juga dari situ, yaitu ingin menjadi PR (di baca : Pi Ar, voiceless R), Public Relation*. Nah, bersamaan dengan majalah Femina, ada juga majalah Hidayah juga tabloid POSMO. Majalah HIDAYAH banyak menceritakan tentang agama dan (yang sebagaian besar) momoknya. Majalah ini ditujukan bagi anda anda yang belum mendapat Hidayah, atau seseorang dengan nama Hidayah, atau seseorang yang lagi naksir seseorang yang bernama Hidayah, atau seseorang yang sedang mencari Hidayah. Saya, hampir tiap minggu membaca majalah ini, rubric yang disediakan pun menarik, ada yang tentang sejarah hadis, terjemahan Al-Qur’an, serta cerita cerita ajaib tentang manusia dan kehidupannya, seperti misalnya artikel berjudul, “Jasad berbau harum setelah dikubur selama 10 tahun”, atau “Wajah Cantik itu Meleleh menjelang ajal”. Selama saya membaca majalah HIDAYAH, saya pergi mengaji setengah jam lebih awal, sholat lima waktu tanpa di omeli oleh bapak, ditambah sholat sunnah tiga macam, dhuha, hajat dan tahajud, di tambah puasa sunnah (setengah hari, maklum masih SD), dan mimpi buruk tiap malam tentang neraka. Bacaan selanjutnya adalah tabloid POSMO, ini adalah tabloid untuk siapa saja yang ingin membuka mata batin. Tapi yang jelas, membaca tabloid POSMO lebih mencandu daripada majalah HIDAYAH, nah itulah alasan mengapa di kemudian hari saya telat mendapat hidayah. Jadi, majalah ini terbit dalam dua rentang, mingguan dan bulanan. Ibu saya bilang, tabloid POSMO yang selalu beliau bawa itu adalah edisi mingguan yang entah karena alasan apa, si loper Koran memberikan nya gratis karna ibu membeli majalah HIDAYAH (tanda Tanya besar kan?). Salah satu judul di cover majalah POSMO adalah (misalnya) “Kidung Maut Laskar Ghaib”, atau “Soeharto wali ke 10” dan judul judul ajaib lainnya. Saya penasaran setiap kali membaca tabloid POSMO, tentang jin, setan, iblis, ramalan, dan yang paling menarik “santet dan pesugihan”. Nah, yang terakhir ini banyak berlatar di gunung Kawi. Saya masih ingat jelas sebuah cerpen yang di muat di majalah POSMO, judulnya “Ayahku bercinta dengan Ular”, yang ternyata usut punya usut sang ayah ini bersepakat dengan nyi Blorong, selepas bercinta, nyi Blorong akan melepaskan sisik sisiknya dan seketika menjadi emas. Dulu, setiap kali membaca tabloid POSMO, maka saya akan dengan semangat menceritakan pada teman teman sekolah saya, saya juga lebih jeli setiap kali melihat ular (apakah itu nyi blorong?, ato anaknya?, ato cucunya?), dan serupa dengan efek membaca majalah HIDAYAH tadi, saya juga gemar mimpi buruk, kali ini bukan tentang neraka, tapi tentang ular, jin, kuntilanak, nyi roro kidul, nyi blorong, sundel bolong yang entah kenapa selalu berwajah Susana. Gunung Kawi adalah tempat yang paling sering di ceritakan dalam tabloid POSMO tersebut, tentang bukit doa dimana para pengunjung bisa meminta doa macam apapun, terbebas dari sembelit misalnya. Meminta jodoh juga bisa, konon, katanya, jika kita kejatuhan daun pohon Dewandaru, maka kita akan cepat dapat jodoh, rejeki lancar, dan hidup makmur. Jangan salahkan siapa saja yang pada akhirnya memilih duduk diam di bawah pohon dewandaru dan mengharapkan kejatuhan daunnya, promosi ke sahih-an pohon dewandaru ini sudah seperti promosi seorang agen MLM. Nah, untuk yang satu ini, saya pernah mengalaminya sendiri. Sungguh, tidak bohong, jujur demi bumi dan langit. Jadi, ibu saya punya tanaman bernama bunga wijaya kusuma, bunga ini pohonnya seperti pohon buah naga, bunganya putih dengan kelopak yang bertumpuk, baunya wangi sekali, bunga ini hanya mekar tengah malam, dan kuncup di besok paginya. Ibu bilang, jika kita melihat proses mekarnya bunga ini, maka keinginan kita akan terkabul. Saya, minum kopi 3 cangkir, dan menemani si bunga yang kebetulan di letakkan di depan kaca ruang tamu, saya mencatat permohonan saya, saya ingin bisa mengerjakan soal ujian tanpa belajar, saya tunggu, saya pantengin, eh saya ketiduran, dan bangun dengan bunga wijaya kusuma yang sudah mekar di depan saya, saya melongo, bunga wijaya kusuma seakan menertawakan saya, lalu saya lemas selama seminggu karna saya tau keinginan saya tidak akan terkabul (*efek samping terlalu banyak dosis membaca POSMO), ya tentu saja, bukannya belajar saya malah wiritan nunggu bunga mekar. Inti dari cerita ini adalah, hati hati bercerita pada anak anda, ceritakan saja tentang kancil yang suka mencuri ketimun, atau seorang serigala yang menyamar menjadi nenek nenek.

Nah, jika anda adalah manusia yang putus asa tingkat internasional, dan jika dalam pikiran anda hanya ada obat nyamuk untuk bunuh diri, dan jika anda sudah tidak bisa lagi merasakan nikmatnya minum kopi di pagi hari, atau jika salam super Mario Teguh sudah berasa kwalitet dua, ada baiknya anda ke gunung Kawi. Untuk mencapainya, anda menuju Malang terlebih dahulu, lalu melajulah ke arah Kepanjen, ikuti saja petunjuk yang tersebar di mana mana, susuri jalanan desa yang berkelok, dan sampailah anda ke Gunung Kawi. Ingat, Malang, Kepanjen, Gunung Kawi, klik.

Multikulturalisme Gunung Kawi

Jadi, itulah cerita sekilas tentang bagaimana saya sangat akrab dengan Gunung Kawi walau hanya secara literal. Saya berhenti membaca majalah POSMO ketika bapak saya mulai melihat gejala aneh pada diri saya, kantung mata yang menghitam gara gara suka terbangun tengah malam perkara mimpi buruk, suka bershalawat sendirian di tengah malam juga karna ketakutan, dan mantengin kuncup bunga wijaya kusuma. Bapak marah pada ibu, ibu marah pada loper Koran, loper Koran entah marah pada siapa. Saya kembali membaca majalah Hidayah, Femina dan juga Donal Bebek (kombinasi yang aneh, iya saya tau).

Kembali ke gunung Kawi, situs ini sudah sangat terkenal sejak jaman dulu, karna mistifikasi nya dan juga multikulturalismenya yang menarik. Namun bagi anda penganut monokulturalisme (benar tidak istilahnya?, males googling), jangan kemari, atau anda akan terkena serangan jantung gaya bis kencono. Wisata gunung Kawi pada akhirnya disebut sebagai Wisata Religi, multikulturalisme yang bisa dan temukan disini merupakan gabungan dari budaya hindu, konghucu, budha, islam juga kristen dan katolik. Anda akan menemukan masjid dan klenteng berjejer, orang menyandang tasbih dan mengocok batang ciam si, bau dupa juga akan menyambut anda. Wisata gunung kawi sendiri dibagi menjadi 3, yang pertama pesarean gunung Kawi, lalu puncak gunung Kawi yang merupakan rujukan tempat untuk pesugihan dan yang terakhir gunung Kawi itu sendiri. Saya dan kawan saya hanya sempat mengunjungi pesareannya saja, karena keterbatasan waktu tentu. Untuk mencapai pesarean, kami harus menempuh jalan pedesaan yang menanjak, dengan baju kerja lengkap (karna kami berangkat dalam rangka kabur dari runtinitas) yang untungnya tidak dengan sepatu ber-hak, kami ngos ngosan, sudah seperti berlari sepuluh putaran, tapi kami malu untuk sejenak beristirahat dan mengatur nafas. Di kanan kiri kami banyak tersebar hotel, rumah makan, toko peralatan persembahan, kios kios penjual bunga dan juga rumah rumah penduduk. Mendekai gerbang pesarean, anda akan menemuka Masjid Agung Imam Sujono di sisi kanan, anda juga akan menemukan banyak pesanggrahan untuk menampilkan kesenian wayang, biasanya para pengunjung yang ber nazar sesuatu akan memenuhinya dengan nanggap wayang. Lalu anda akan menemukan padepokan Eyang Djogo dan RM Iman Soejono. Jalan lah terus, hingga memasuki gerbang pertama, lalu di sisi kanan anda akan menemukan tempat Ciam Si. Lalu di gerbang kedua, anda akan memasuki area pesarean, dimana disana dimakamkan Kyai Zakaria (Panembahan Eyang Djoego) dan Raden Mas Iman Sudjono. Kisahnya, Kyai Zakaria merupakan penasihat spiritual pangeran Diponegoro yang melarikan diri dari serangan Belanda, sedangkan Raden Mas Iman Soedjono merupakan putra dari Kyai Zakaria. Keduanya di makamkan di situs tersebut dan menjadi magnet utama penarik para peziarah. Pada 1931 datanglah seorang tionghoa bernama Ta Kie Yam dari Singapura datang berziarah dan berdoa, karna ia merasa bahwa doanya di kabulkan maka ia membangun jalan menuju pesarean, mungkin dari sinilah multikulturalisme itu berawal.

Jangan pikirkan tentang keyakinan dulu disini, jangan terburu mengklaim sirik, murtad, atau apapun lah namanya. Sebuah perkara pasti bersisi banyak, saya lebih suka memandang perkara ini sebagai keunikan warisan budaya, bagaimana setiap manusia bisa saling menghormati dalam keterbedaan. Jika ingin berkunjung kesini, dan hanya ingin menjadi observer seperti saya dan kawan saya, maka redam dulu keyakinan anda, pegang kuat kuat, dan datanglah atas nama ilmu pengetahuan, atas nama tenggang rasa, atas nama penghormatan kepada cipta rasa dan karsa manusia kita. Maka kita akan bisa belajar berkehidupan selaras dalam keterbedaan, sebuah kesepakatan diam yang utuh dan terulas senyum, bahwa bagaimanapun kita hidup demi sebuah kemakmuran dan kedamaian bersama. Baiklah, siapa saja yang ingin berkunjung ke Gunung Kawi, siapkan kedua tangan anda untuk mengocok batang Ciam Si. Bermain hom pim pa dengan batang batang bambu.

Maen Hom-Pim-Pa di Gunung KAWI

Ciam Si dikenal sebagai salah satu metode meramal nasib dari Cina. Ramalan ini didasarkan dari 100 kertas syair yang tersedia yang bertujuan untuk mengetahui peruntungan nasib seseorang. Aturan pertama adalah tentu saja meyakini ritual ini (jika ingin ber-serius tentu), lalu memanjatkan doa dan mulai mengocok batang Ciam Si yang terbuat dari bamboo berukuran sekitar 10 cm dan diletakkan dalam sebuah gelas bambu, setiap batang Ciam Si memiliki nomer yang nantinya akan merujuk pada kertas kertas ramalan tadi, dan akan mengungkap nasib anda. Saat bermain Ciam Si, saya hanya main kocok saja. Batang Ciam Si pertama saya bernomor 58, syair yang tertulis tentang nasib saya adalah “seperti ular harap lekas menjelma menjadi naga, tapi dasarnya dia masih punya nasih masih tercegah, seperti orang yang sakit baik bikin sabar biar lega, sebab masih mau ributi bagaimana percuma juga”.

Nah, entah ini gerindam, pantun atau apapun, untuk mengungkap maknanya maka kita harus membaca nya di dalam buku terjemahannya. Isi dari terjemahan ramalan saya adalah “Ini pertanyaan kebetulan ini waktu belum bisa di dapatai maksud yang baik, Buat mau dapat uang itu pengharapan yang percuma. Perkara yang menimpa bakal tambah berbuntut panjang, orang punya perjodohan tidak baik.” Nah, ramalan terakhir ini yang sungguh menusuk seperti sembilu. Kocokan pertama anggap saja percobaan, maka saya coba kocokan yang kedua, yang ternyata berbunyi sama. Saya tidak mau dong menyerah pada batang bambu, maka saya baca dulu buku terjemahannya dan mencari ramalan yang baik yang menunjuk nomer 53. Jika sebelumnya saya asal kocok, maka kocokan ketiga saya ini saya lakukan sambil menggumam dalam hati, memusatkan otak dan pikiran saya, dan menyebut angka 53 seiring saya mengocok, eh yang keluar nomer 8. Walaupun tak bersesuaian, namun ramalan angka 8 ini berbunyi baik, intinya hidup saya lancar, jodoh saya dekat. Poinnya adalah, jika kau berniat baik, yakin dan berusaha, semesta akan membantu.

Karna ramalan baik saya masih kalah sama ramalan buruknya, saya kocok lagi batang Ciam Si itu, dan keluarlah ramalan yang baik lagi. Karna posisi masih seri, dan tak boleh mempertahankan status quo dalam hidup, saya kocok lagi batang Ciam Si, asikkk…ramalan baik lagi yang keluar. Tiga ramalan baik pasti akan mengalahkan dua ramalan buruk. Saya semangat, wajah saya sumringah, senyum saya secantik bunga wijaya kusuma, mata saya secerah bintang sirius, intinya, saya berkolaborasi dengan semesta untuk menjadi senang, optimis dan super, sampai datang dua orang ibu ibu dari Sidoarjo yang dengan SENGAJA datang untuk mengundi nasib. Si ibu bilang bahwa tahun lalu ia mengundi nasib suaminya disini dan terbukti, kini ia ingin mengundi nasib anaknya yang akan menikah. Lalu ibu itu bilang bahwa kita hanya boleh meramal tiga kali, selebihnya ramalannya tidak berguna. Tentu saja saya tidak percaya, saya tetap semangat, tetap tersenyum secantik bunga wijaya kusuma, tapi bunga yang hampir layu.

Meng-Komoditaskan Takdir itu…..

Kierkegaard mengasumsikan kehidupan menjadi dua. Hidup otentik dan hidup tidak otentik. Manusia yang memilih kehidupan otentik di namakan manusia eksistensial, begitupun sebaliknya. Dalam paham kedirian ini, Kierkegaard mengajarkan untuk memaksimalkan potensi diri melalui asumsi asumsi dasar yang ia sampaikan dalam paham yang entah mengapa dikenal kiri (padahal tidak, sungguh), Eksistensialisme. Kierkegaard mengasumsikan bahwa hal hal esensial dalam kehidupan manusia adalah freedom, consciousness, choice dan responsibility.

Manusia dilahirkan dengan kebebasan hakiki yang “bukan tanpa batas”, kebebasan dimaksudkan adalah sebuah kebebasan yang bertanggung jawab yang tidak melewati batas estetika, etika, dan juga batas religious. Konteks situasi eksistensial manusia meliputi aktualisasi progresif dan juga personal komitmen setiap manusia pada diri mereka sendiri. Sebuah kebebasan memilih jalan hidup (choice) haruslah disadari dengan kesadaran (consciousness) moral, etika, spiritual dan juga lini kehidupan lainnya, untuk kemudian mempertanggungjawabkan (responsibility) pilihan kehidupan itu dengan komitmen dan intergitas. Manusia yang eksistensial adalah manusia yang menghargai kebebasannya sebagai sebuah anugerah, lalu memilih jalan hidup dengan kesadaran penuh yang melibatkan semua lini kehidupan serta bertanggung jawab penuh pada pilihan itu.

Mendapatkan sebuah kehidupan yang otentik dan menjadi manusia eksistensial bukan perkara kecerdasan, namun itu berkelindang dengan perkara “pilihan”, “keyakinan” dan “komitmen”. Mengkomoditaskan takdir maka akan sama saja dengan menggadaikan keyakinan anda, melatih diri anda untuk tidak terlatih bekerja keras dan meningkatkan potensi. Jika hanya di gunakan sepintas lalu mungkin tidak masalah, namun jangan sampai mengambil alih sisi sisi logis. Karna bagaimanapun, keyakinan datang dari pengamatan logis, dari pengalaman empiric, begitu juga tentang Tuhan. Meyakini Tuhan dan alam semesta tanpa usaha juga sama saja bohong, untuk itulah iman dan takwa selalu berkelindang takdir, keduanya adalah proses progressif dalam memaknai hidup.

Jadi, mungkin inilah yang ingin disampaikan bapak saya, “sayang, berhentilah mengkomoditaskan takdir, karna bagaimanapun kita lah komoditas takdir, berteman baiklah dengannya, dengan menjadi manusia kritis dan optimis” (terjemahan bebas saya, sungguh bukan kata bapak saya). Pada dasarnya, kita sudah ber undi dengan takdir, dengan atau tidak bermain dadu, dengan atau tidak mengocok batang ciam si, dengan atau tidak membaca ramalan zodiac, dengan atau tidak meramal tarot, dengan atau tidak meramal palmistry. Maka, jika kita melakukan itu semua, maka kita akan bermain hom pi pa kuadrat dengan takdir lalu perlahan melupakan hal esensial dalam hidup, yaitu berusaha.

Keyakinan itu tempatnya di hati, biar ia tetap disana, jangan sekali kali jadikan ia sebagai komoditas akal dan logika. Setidaknya itu yang saya terapkan dalam diri saya. Saya enggan berdiskusi masalah keyakinan, karna saya menganggap bahwa keyakinan itu melebihi permaknaan agama dan juga melebihi simbolisasi Tuhan. Saya percaya agama saya, saya meyakininya, saya menjalankan anjuran dan perintah agama saya sebagai sebuah wujud komitmen saya terhadap pilihan hidup yang saya yakini baik dan sebisa mungkin saya jalankan dengan benar, cukup itu saja. Saya tidak peduli dengan pahala, atau berapa sapi yang berhasil saya kumpulkan di surga sana karna ibadah saya, cukup asas manfaat dan karma. Bagaimana kedua hal ini bisa menjadi tolak ukur bagi hidup saya, bagaimana saya bisa bermanfaat bagi orang lain, dan tidak munafik juga, bagaimana orang lain bisa bermanfaat bagi saya. Dan bagaimana hidup ini sungguh resiprokal, kau menuai benih yang kau tanam, maka bijaklah pada karma, dan bijaklah pada hidup. (mamah Dedeh mode on).

Baiklah, begitu saya coba berdialektika setidaknya dengan diri saya sendiri, malam ini. Apa kata batang Ciam Si tentang hidup saya biar saja menjadi sebuah pengalaman unik, hidup saya akan baik baik saja karna saya akan mengusahakan untuk baik baik saja. Saya juga akan bertemu tubuh dimana saya menjadi tulang rusuknya, lalu kami akan berbagi kesepakatan hidup tanpa perlu lebur menjadi satu. Selamat Malam, terimakasih untuk yang menyempatkan membaca. Mari membaca hidup ini dengan bijak….^^

2 comments: