About Me

My photo
JUST EVERY DAY PEOPLE

Wednesday, February 16, 2011

Perempuan Eksistential dan Shock Therapy yang Tak Pernah Usai


Istilah Eksistential pertama kali diperkenalkan oleh filsuf bernama Soren Kierkegard di akhir zaman modern lewat pemikiran filsafatnya, Eksistensialisme. Kierkegard, melalui eksistensialisme ingin menyampaikan bahwa manusia adalah mahluk otentik yang memiliki kebebasan untuk memilih jalan hidup. Manusia dikatakan sebagai mahluk eksistensial apabila ia memilih jalan hidupnya dengan penuh kesadaran dan dengan penuh tanggung jawab.

Eksistensialisme kemudian dianggap sebagai salah satu paham yang mendorong dekontrusi sosial, moral, juga budaya. Eksistensialime adalah counter back dari Materialisme, Newtonian, Idealisme, Rasionalisme dan isme isme yang memformulasikan manusia dalam tatanan objektif (yang terkadang cenderung dangkal seperti menafikkan hirarki kemanusiaan berdasarkan SARA). Hubungannya dengan perempuan adalah bahwa Eksistensialisme pula yang pada akhirnya mendorong para perempuan modern mencetuskan gerakan feminisme, gerakan yang dianggap (dan memang) sebagai pencerahan bagi masa depan perempuan. Sebuah gerakan yang mendekontruksi tatanan sosial dan budaya yang secara objektif menempatkan perempuan dalam posisi inferior. Berterimakasih kepada Mary Wollstonecraft yang merupakan pencetus feminis modern bukanlah hal yang berlebihan, karna dengan buah pikir Wollstonecraft, saya, perempuan, dapat belajar, menulis, dan bebas beraspirasi (sama seperti laki laki). Wollstonecraft percaya bahwa perempuan seharusnya dapat menikmati ekualitas dalam ranah sosial, budaya, dan juga intelektual (sama seperti laki laki). Ini adalah shock therapy pertama bagi para perempuan dunia.

Perempuan yang awalnya dianggap sebagai second creature menemukan titik terang dalam konstruksi dunia. Tidak sedikit dari perempuan dunia yang kaget seperti ayam yang baru saja keluar dari kandang, lari kesana kemari, tubruk sana sini, lalu hilang arah dan mendeklarasikan feminisme sebagai sebuah pembebasan (dan bukan solusi). Pembangunan kembali wacana tentang Nature (ranah seksualitas yang baku) dan Nurture (ranah gender yang perceptual) mulai menjadi PR baru bagi para feminis yang menganggap bahwa shock therapy pertama sudah mulai keluar jalur. PR selanjutnya adalah untuk membangun jembatan guna menjembatani kewajiban Nature perempuan sebagai Ibu dan keinginan Nurture perempuan sebagai istri dan manusia bebas. Maka muncullah gerakan Post-Feminisme yang me-(re)dekontruksi paham sebelumnya. Untuk kemudian menjadi Shock Therapy lanjutan bagi para perempuan dunia. Jika laki laki bisa menyalurkan syahwatnya kapan saja, dimana saja, dan dengan siapa saja, mengapa perempuan tidak?. Pemikiran radikal tentang penguasaan dan apresiasi tubuh perempuan mulai menafikkan makna moralitas. Bagi saya pribadi, feminisme adalah sebuah solusi atas ketimpangan perlakuan sosial, budaya, dan terlebih lagi intelektualitas terhadap perempuan. Solusi seharusnya membawa perempuan pada tingkat kehidupan yang lebih cerdas, pintar dan bijaksana. Menafikkan Nature yang kemudian (secara tidak langsung) menafikkan tatanan sosial, budaya dan moralitas (bagi saya) bukanlah sebuah pilihan, melainkan sebuah ujian yang datang bersamaan dengan sebuah keleluasaan. Sebuah ujian yang sebaiknya dibijaki dengan cermat. Menjadi perempuan eksistensial (mungkin) adalah jawaban dalam mereaksi shock therapy ini. Cermat melihat kehidupan, bijak menjalani kehidupan, anggun dalam rangkulan nature dan nurture serta tidak terburu buru dalam menyikapi sebuah fenomena. Perempuan Eksistensialis adalah perempuan yang dengan sadar memilih jalan hidupnya sesuai dengan nature dan nurture yang melingkupinya, sadar akan konsenkuesi dari pilihan hidupnya, dan bertanggung jawab atas jalan hidupnya. Perempuan merupakan kunci dari sebuah peradaban, perempuan eksistensial akan mencipta sebuah peradaban yang eksistential pula. Ingat, shock therapy ini takkan pernah usai.