About Me

My photo
JUST EVERY DAY PEOPLE

Saturday, November 24, 2012

Cinta yang bukan Populis (tapi juga tidak Elitis)



Saya akan memulai tulisan ini dengan jargon klasik dan usang, ‘hidup itu pilihan’, nah kan. Seklasik klasiknya, dan se usang usangnya, tapi ternyata, jargon ini masih fit to the every age, selalu pas dan muat disandingkan dengan keadaan jaman apapun, jaman alay sekalipun. Bukan muskil jika beberapa waktu kedepan akan ada ‘hidup itu pilihan’ versi ‘ciyus dan miapah’. 

Sore tadi saya menghabiskan waktu dengan seorang kawan, adik lebih tepatnya. Dia mengigatkan saya tentang diri saya dua tiga tahun lalu. Muda, bersemangat, ‘sangat’ hidup, dan belum diperkosa oleh ‘permakluman’. Dan untuk perkara asmara, saya dan dia juga hampir sama, bedanya, saya, walaupun tidak pernah memproklamirkan pacar dan pacaran, tapi pengalaman romansa saya cukup lah untuk bisa di jadikan novella, kalo kisah cinta dia mungkin hanya bisa dijadikan cerpen dengan kuota kolom terbatas, jadi harus ditulis dengan kata se efektif mungkin agar muat dalam kolom yang di persyaratkan. 

Saya, dulu, seringkali mendapat sebutan yang tidak manusiawi, robot misalnya, lalu mutan, hanya perkara saya tidak suka dan tidak mau pacaran. Saya, sebenarnya sebal, saya pikir, suka suka saya dong ya, mau pacaran atau tidak, mau HTS an, mau TTM an, atau cuman mau suka sukaan aja, terserah saya. Hidup hidup saya, hati hati saya, kenapa lo yang rempong?. Tapi, ini yang dulu saya lupa, pilihan itu selalu diikuti dengan konsekuensi, dan karena pilihan saya untuk tidak pacaran itu termasuk sebuah pilihan yang mungkin dianggap ‘elitis’, tentu karna tidak populer, jadi ya wajarlah kalo saya dapat ‘perhatian’ lebih. Jadi, sikap usil teman teman yang selalu menyinggung itu saya anggap sebagai konsekuensi dari sebuah pilihan, sama ketika anda datang ke pesta pernikahan menggunakan gaun hitam sementara semua tamu menggunakan gaun berwarna pink, jadi, cukuplah wajar jika anda ‘dicerca’ (dibaca:saya dan siapa saja yang serupa tapi tak sama). 

Almarhum mas Galih, salah satu orang yang rajin sekali menasehati saya, setiap kami bertemu, ia tak lupa menanyakan ‘Sudah belajar pacaran nduk?’, saya jawab, ‘ngapain jugak?’, mas Galih cuman senyum aja, sambil bilang kalo otak saya kurang canggih, gak kompatibel, karna saya tidak canggih dalam hal pacar pacaran. Sumpah ya, bukan karna saya nggak laku lo, serius, walaupun saya tidak cantik tipikal, tapi bisa dibilang saya hampir tidak pernah tidak disukai dalam waktu lama, ada aja yang nggebetin. Saya juga tidak tau dimana menariknya saya, bahkan teman saya pernah bilang, ‘cowok cuek itu keren, tapi cewek cuek itu bikin ilfil, apalagi kalo nda cantik’, lah…. Sumpah, saya nafsu banget cekik dia. Ke-cuek an saya akan sangat tampak ketika saya merasa tidak nyaman. Dalam hal ini ada 2 skenario yang biasanya terjadi, yang pertama begini, si cowok akan mendekati saya sebagai teman, membangun kedekatan, ketika saya sudah merasa nyaman, lalu ngajakin pacaran, nah yang begitu biasanya membenani saya, saya bilang ‘berteman aja ya’, respon mereka lucu lucu, ada yang marah dan kemudian memutuskan untuk tidak saling kenal, ada juga yang keep struggle sambil berjanji palsu, ‘aku tunggu kamu sampai kamu mau’ lalu beberapa bulan kemudian boncengan sama cewek lain yang ternyata pacarnya dan baru diakui beberapa bulan kemudian. Parah ya lelaki itu?. Skenario yang kedua, si cowok datang ngajak nikah kayak sales selang kompor, setelah menjelaskan spesifikasi selang kompor (dibaca: konsep pernikahan), pertanyaan mujarab keluar, ‘mau beli atau tidak?’ (dibaca: mau gak nikah?), dan setelah saya jawab dengan ‘mmmm’ yang artinya ‘tidak dulu’, jurus kedua keluar, ‘diskon’ (dibaca: negosiasi), setelah tetap saya jawab dengan ‘mmmm’ yang artinya ‘beneran enggak deh’, jurus terakhir keluar, ‘gak beli juga gak papa kok, aku kan cuman nawarin’. Nah lo….. rasanya saya pengen makan batako. 

Walaupun saya cukup ber-otoritas atas hati dan tubuh saya, bukan bearti saya terbebas dari patah hati. Saya pernah seminggu kayak mayat hidup karna cowok yang saya suka sejak SMA menemui saya dengan pacarnya yang kayak Luna Maya disaat saya sangat berantakan dengan celemek masak di dada saya dan tabung LPG 3 kg di tangan kanan saya. Saya hanya ingin melempar tabung LPG 3 kg di tangan kanan saya tepat ke muka cewek cowok itu sampai dia jadi Luna Manyun. 

Jangan pernah percaya pada kata ‘bebas’, tidak ada kebebasan yang benar benar bebas. Sekeras apapun saya meng-otoritaskan hati dan tubuh saya sebagai sebuah materi bebas, tetap saja masih terjebak dengan sakit hati, kecewa, cemburu, dan tetek bengek lainnya, hal hal duniawi kalo kata Tom Sam Cong. Namun, memaknai kebebasan sebagai sebuah konsep berpikir dan bukan sebagai state of being bisa menjadi sebuah alternative bijak. Saya selalu belajar berpikir bebas, lepas dari efek samping hal hal yang esensial. Misalnya, perkara status pacar, saya tidak peduli dibilang tidak laku karna tidak pacaran daripada saya harus menghabiskan hari saya dengan lelaki yang bikin saya ilfill hanya untuk dapat status ‘laku’. Nah, tapi ada satu hal yang saya lewatkan dalam hal pacaran, yaitu proses untuk berusaha saling mengenal, proses untuk berusaha saling mengerti dan memahami. Saya terkadang menyesal, saya mungkin melewatkan lelaki yang benar benar baik di masa lalu saya, tapi yang paling saya sesalkan adalah saya bahkan tidak ‘mencoba’ menyukai. Alasan saya untuk tidak pacaran sederhana saja, saya hanya merasa belum bertemu saja, konsep saya tentang romansa adalah ‘seseorang’, bukan ‘sesuatu’, ‘who’, bukan ‘why’ atau ‘when’ apalagi ‘thing’.

Seperti air, yang berubah bentuk saat di tempatkan pada tempat yang berbeda, begitu pula dengan pemahaman dan kesadaran. Itulah pentingnya melihat segala sesuatu secara multidimensional, kalo kata John Keating, ‘we have to consistently seeing thing from different ways’. Saya, sejak awal tahun 2011, sudah mengajari diri saya sendiri untuk belajar melihat kehidupan romantis saya dari sudut pandang yang berbeda, sudut pandang bapak ibu saya, dan sudut pandang diri saya sendiri 10 tahun kedepan, dan belajar untuk sedikit saja lebih peka. Teman saya mengajari saya untuk sedikit lebih centil, sedikit menjadi lebih ‘perempuan’ seperti yang distereotipkan. Baiklah, saya anggap saja sebagai mata kuliah baru. Lelaki pertama sejak saya berdeklarasi untuk lebih memberi perhatian dalam romansa saya datang dengan criteria lelaki ideal pada umumnya. Penampilan oke, kerjaan oke, karakter oke, sampai rasanya to be good to be true. Tapi ya itu, kalo kata orang jawa, sawang sinawang, setelah dekat baru deh kerasa bahwa he is not that good, yes he is good, but not that good. Ya ya, jangan pernah memang berharap akan menemukan Edward Cullen di dunia yang bukan Twilight ini, namun setidaknya lelaki ini bisa cukup membanggakan lah kalo dikenalin ke bapak ibu atau dikenalin ke teman teman, walaupun secara personal saya agak tidak kuat dengan self-centrism nya yang sumpah kayak lelaki telenovela. Pembicaraan kami, dia yang mendominasi, giliran saya bicara, responnya hanya sebatas ‘emm’, lalu buru buru dia akan bicara lagi, saya berasa call center. Tapi, karna saya telah berdeklarasi maka saya putuskan untuk mecoba, saya turuti apa kata teman saya, tanya kabarnya tiap hari, Tanya sudah makan apa belum, Tanya lagi ngapain, lama lama saya berasa kaya infotaiment. Nah, memang, tresno jalaran soko kulino itu beneran, lama lama karna terbiasa, didukung dengan deklarasi saya dan juga orientasi yang berbeda, ada satu saat saya benar suka. Namun memang, walaupun gunung tak kan lari, tapi yang namanya jodoh memang tidak hubungannya dengan gunung. Ini yang menyebalkan dari lelaki, kalau kata pepatah, lelaki menang memilih, perempuan menang menolak. Meskipun feminisme  dibenderakan, dan benderanya dikibarkan ditiap rumah dan juga diberikan tanggal nasional feminisme, fakta ini, secara tidak sadar, masih akan sangat mendominasi. Saat saya mulai tertarik dan sudah cukup mahfum dengan ketelenovelaannya, eh dia ngilang, just gone. Sebenernya saya cukup paham kalau pendekatan itu tidak melulu berujung pada penyatuan, mungkin karma saya karna telah menjadi sangat tidak bertanggung jawab pada hati hati yang pernah menawarkan saya cinta, saya hanya ingin menganggapnya begitu daripada pledoi murahan seperti ‘mungkin dia menemukan perempuan lain’, karna saya cukup paham bahwa setiap orang berhak mendapatkan yang terbaik, dan jika yang terbaik itu bukan saya, ya sudah, saya hanya perlu beberapa waktu untuk menyadari bahwa saya patah hati, bahwa saya sedih, dan bahwa saya baik baik saja. Saya hanya tidak suka caranya, kalau datangnya mengetuk pintu dan bilang assalamualaikum, bukankah sebaiknya ketika pergi pamit dan mengucapkan waalaikumsalam kan?. Nah, selesai dengan lelaki pertama di awal 2011,  mungkin dia pada akhirnya bertemu dengan perempuan telenovela dan kemudian berkehidupan seperti Rosalinda dan Fernando Hose. Saya skip cerita tentang lelaki kedua karna memang tidak banyak yang bisa diceritakan selain ajakan kencan yang tidak pernah terlaksana karna masalah teknis (awal awal dimalang saya mudik hampir tiap minggu). 

Yang menarik adalah lelaki ke tiga, sejak awal berkenalan kami tidak pernah menyentuh sisi sisi romantis, kami hanya bicara tentang apa saja, berbagi tentang apa saja, saling menyampah satu sama lain, saling menjadi Mario dan Maria Teguh bagi satu sama lain. Lama kelamaan, saya candu, dia candu, kami candu yang mungkin lama lama akan jadi racun kalau di endapkan terlalu lama tanpa penangkal. Mungkin terlalu dini untuk mengatakan saya jatuh cinta, tapi yang saya berani jamin, saya sayang dengan hubungan ini. Ini merupakan hubungan paling jujur yang pernah saya punya, jujur dan alami. Saya ber ekspektasi lebih pada hubungan ini, benar benar ingin menjaganya hingga ia menemui takdirnya seperti apapun nantinya, saya benar benar ingin berusaha. Saya mulai berpikir, kenapa saya kemudian berpikiran seperti ini?. Lalu saya sampai pada sebuah kesimpulan bahwa ini adalah titik kulminasi dimana semua kesempatan bertemu, dimana semua lini bersinergi membentuk sebuah harmonisasi, the who, the when, the how, the why, the what sepakat dalam satu suara kecuali the where. Haha… saya masih belum terbebas dari karma ternyata ya?. 

Teman saya bilang, ‘pengorbanan itu hal wajib dalam cinta’. Saya pikir, menjadi jatuh cinta itu pilihan, walaupun kita tidak bisa memilih jatuh cinta pada siapa, namun kita selalu diberi pilihan pada kata ‘kerja’nya, dan tidak ada kata ‘pengorbanan’ dalam sebuah pilihan, memilih itu tidak sama dengan berkorban. Saya benci dengan doktrin klasik tentang cinta, yang Romeo Juliet lah, yang Laila Majnun lah, cinta kok bikin mati. Tuhan menciptakan cinta kan buat kemaslahatan manusia, untuk menjadi bahagia, yang tentu didapat karna usaha, begitu bukan?. Yang lucu lagi, (bagi saya lucu), teman saya bilang, ‘lelaki itu perlu diuji untuk tau seberapa besar dia mengiginkan kita’. Lah????... saya takjub dengan statement ini, lah kan ceritanya saya baru belajar bercinta, la kok sudah diminta menguji, lembar assessment yang bagaimana yang saya butuhkan untuk menguji lelaki?. Sumpah, otak saya tidak sampai pada asumsi itu, karna bagi saya, hubungan itu tentang negosiasi kedua belah pihak, saling terbuka terhadap pilihan agar bisa satu.  Bagi saya, pihak yang perlu diuji ya diri kita sendiri, sudah mantapkah terhadap pilihan?, siapkah dengan konsekuensi yang mengikuti?, setelah masing masing pihak lolos ujian diri sendiri, biarkan hubungan itu diuji oleh waktu, seberapa kuat tim romantis ini mempertahankannya. Begitu setidaknya saya memandang sebuah hubungan romantis, konseptual memang, saya sedang dalam tahap mengujinya secara empiris.

Saya selalu berpikir akan menikah di umur 27 tahun, bertemu dengan pasangan romantis saya dalam kemegahan yang sederhana, dengan konsep setengah matang yang siap dimasak bersama. Lalu saya akan pensiun dini saat anak perempuan saya mendapat haid pertamanya dan anak lelaki saya mulai mimpi basah untuk menjadi sahabat terbaik mereka. Membuka kedai kopi yang dilengkapi dengan perpustakaan, belajar menjadi barista dan koki, lalu membaca sambil ngopi sepanjang hari sambil menunggu anak anak saya pulang sekolah dan suami saya pulang kerja. Haha… berkhayal memang surga. 

Hemm, baiklah.. ini sudah jam 3 pagi, kopi saya sudah habis, kerjaan saya masih menumpuk. Tapi saya senang akhirnya saya menulis lagi dan membersihkan sarang laba laba di blog saya yang lama nganggur. Saya selalu berpikir bahwa menjadi jatuh cinta itu anugerah, walaupun kita tetap harus bersiap dengan patah hati. Jika suatu saat saya patah hati lagi, mungkin pandangan saya tentang cinta akan berubah karna frustasi, mungkin saya akan menjadi feminis garis keras yang membenci keberadaan lelaki dan hanya akan mengunjungi bank sperma dan juga sex toy store serta mendukung pemusnahan masal kaum lelaki (ihh… serem bener deh). Tapi saat ini saya hanya akan menikmati apa yang hadir pada saya, kerlipan merah di BB saya, dering tengah malam dengan suara yang membangunkan saya untuk lembur, serta rayuan lucu yang mengatakan saya memiliki mata menggemaskan seperti Candy Candy. 

Semoga saya dan anda semua berkelindang dengan takdir baik Tuhan, semoga saya dan anda hidup bahagia walau tidak seperti Cinderella. Amin.
Salam jam 3 pagi….. ^^

NB : Selama masih ada truk bertuliskan ‘Putus cinta itu hal biasa, Putus rem matilah kita’, maka jangan pernah takut jatuh cinta selama rem motor atau mobil anda baik baik saja.

Friday, April 20, 2012

PARTIKEL : Kita Semua (tak) Pernah Berhenti Men-cari dan Meng-ada


Malam ini saya bertekad membaca PARTIKEL, sampai habis. Memang tidak adil, kerinduan akan penantian 8 tahun ter akumulasi hanya dalam satu malam, rasanya itu seperti ketika lelaki atau perempuan anda hanya bilang “I love You” tanpa ada gombal gombalannya. Sensansinya tetap luar biasa, sensasinya tetap berkesan, tapi kurang nendang, kurang greget. Tapi tak apa, menunda membaca nya malah akan membuat saya sakit perut karna nervous sangking kepinginnya. Saya mempersiapkan ramuan khusus untuk tetap merangkul kesadaran saya jadi satu, yang artinya antara mata saya, otak saya dan pemahaman saya serta memori saya yang sudah sudah tentang edisi sebelumnya bisa sepakat penuh dan utuh dalam menguntit Zarah kemanapun ia pergi.

Untuk itu saya membuat ramuan kopi paling dahsyat, tidak sedahsyat Ben’s perfecto tentu, namun juga tidak sesederhana Kopi Tiwus. Kopi racikan saya bernama KOTARA, yang merupakan hasil fusi keterpaksaan antara KOpiko Instant Brown Coffee, RobusTA Rolas dan aRAbica Kalosi dari Toraja yang merupakan Kopi persahabatan dari seorang kawan di Makasar. Kopi mutan ini saya percaya sebagai narkotik saya untuk tetap membuat saya sadar dan gila sekaligus dalam memasuki alam Supernova, karna sungguh, itu yang pertama kali harus anda siapkan ketika memutuskan berpetualang ala Supernova, menjadi gila dan sadar dan meng-entitas-kanya sebagai satu saudara kandung yang saling mengikat dengan persetujuan darah. Anda hanya butuh menjadi Gila dan Sadar, sekaligus, bersamaan.

Namun, tanpa di duga, Kopi Mutan saya itu berfungsi sebagai racun. Saat saya asik mengekor Zarah ke Bolivia, perut saya mulas, tangan saya bergetar, saya membaca seperti disleksis, huruf huruf seperti berpelukan dan saling bersetubuh, saya kehilangan makna tersuratnya, apalagi yang tersirat. Padahal, saya baru mencicip gelas kedua saya, belum juga separuh, yang biasanya jika saya meneguk kopi manusia, saya bisa tahan antara 3 sampai 5 gelas sehari walau paginya tremor seperti orang sakau dengan telapak tangan dan telapak kaki dingin menggigil.

Kopi mutan sanggup memberikan saya efek itu hanya dengan dosis satu setengah gelas dan dalam waktu kurang dari 2 jam. Maka saya memutuskan istirahat, mengelus ngelus dada saya sambil berkata “sabar yah, Zarah pasti akan nunggu kamu”. Baiklah, saya berhenti sejenak, minum air putih sebanyak mungkin lambung saya mampu, makan pisang sebagai satu satunya stok makanan yang ada karna saya mengira lambung saya pasti berontak karna waktu terakhir saya makan nasi adalah jam 10 pagi. Saya memaksa mata saya terpejam, namun mata yang lain tak mau, tak rela menukar sedetik pun untuk membiarkan Zarah menunggu saya yang keracunan. Maka saya minum air putih lagi, hingga ritual alam menghampiri saya dan menggelontorkan semua sisa sisa racun kopi mutan. Hah, semesta baik sekali pada saya malam ini, biasanya saya harus menunggu 24 jam untuk ritual detoksifikasi alami ini, namun malam ini tidak. Kopi Mutan membuat saya melek sempurna, SEMPURNA. Ini pasti karna saya, Zarah dan Supernova sudah tidak sabar ingin bertemu. Hei, stop…jangan bicara soal logika disini, jangan juga matematiskan apa yang terjadi dengan saya dan kopi mutan, ingat, anda harus gila dan sadar sekaligus, tak boleh ada distorsi antara keduanya, keduanya harus lebur jadi satu.

Tenanglah, saya tidak akan menceritakan tentang Partikel pada anda, saya juga tidak akan mempaparkan pada anda bagaimana perjalanan Zarah. Itu adalah hak pribadi anda yang hiper super ekstra terrestrial, yang tidak boleh di intervensi oleh siapapun, apalagi saya. Saya, akan berceloteh ringan tentang pengalaman saya meng-ada bersama Supernova. Saya akan membabat habis efek melek sempurna Kopi Mutan, maka saya akan mengganti entitas saya dengan rangkaian huruf huruf ini yang saya harap bisa mencapai anda dengan manis walau tidak kawin dengan sempurna (saya masih mengetik ala disleksis, retina saya sepertinya sudah lelah sehingga mencipta bayangan ganda dari setiap refleksinya, namun ia terpaksa melek dan melelahkan diri gara gara efek kopi mutan). Then, let’s ride…..

8 tahun saya menanti Partikel. Episode ke empat dari serial Supernova. Dee bilang, bahwa saya dan jutaan pembaca di luar sana yang tak sabar menanti Supernova bukan secara kebetulan bertemu Diva, Bodhi, Elektra maupun Zarah. Kami, merupakan entitas satu yang ber eksistensi secara sinergis, ter parallel dalam satu jaring laba laba semesta yang tipis, samar,namun seketika jelas dan kuat. Kami satu dalam moment yang acak dan sporadis, sepakat dalam momentum yang terbedakan dimensi dan juga waktu, namun seia pada entitas Supernova.

Jodoh saya dengan Supernova terjadi sekitar 6 tahun lalu. Saat saya duduk di bangku SMA, kelas 3, terlambat, memang terlambat, namun saya mencoba memaknainya lain. Elektra yang pertama kali menyapa saya, dengan entitasnya yang anomali seketika kami sepakat dalam huruf biner yang tak pernah kekurangan daya untuk menghipnotis saya. Etra menunggu waktu yang tepat untuk menemui saya, menunggu otak amoba saya cukup dewasa untuk berbelah, membentuk bilik bilik pemahaman yang terdistorsi sempurna untuk setiap perkara. Saya mengamini anomalinya, saya men-senyuminya, saya cipta Etra versi saya, yang muncul persis seperti penampakan saya sebagai ras Mongolid. Sekejap, Etra membuat saya merasa paling kaya sedunia dengan kekuatan listrinya. Etra mengajarkan saya bahwa menjadi anomali itu istimewa, Etra benar benar membantu saya menemukan cara untuk memulai perjalanan panjang pencarian diri yang mungkin pencariannya tidak pernah berakhir.

Persis seperti kata Abdul Wahab, saya akan selalu me-Lintang, saya akan benar benar menjadi Lintang yang sempurna jika mati nanti, saya akan selalu berubah untuk meng-ada, saya akan selalu belajar untuk membuat diri saya se-dinamis mungkin, saya akan selalu berusaha ramah akan perubahan, karena saya yakin, semesta ini tak pernah beristirahat, ilmu itu cair yang merambat dan meresap pada bagian bagian terkecil hidup, dan dibutuhkan pemahaman yang dinamis sebagai jembatan paling permisif dan kompromis agar sinergi dan harmonisasi tetap tercapai. Baiklah, singkat kata semua hal diatas akan berujung pada istilah “toleransi” dan “tenggang rasa” jika anda masih bisa mengingat jelas pelajaran PPKN anda.

Supernova merupakan percikan pertama yang membuat saya tertarik dengan paham kedirian. Ia membantu saya merasionalitaskan semua keadaan tanpa menjadi sederhana. Ia yang membantu saya menyederhanakan kemewahan tanpa mengkerdilkannya. Ia membantu saya bermimpi, ia membantu saya menjadi berani, ia membantu saya untuk percaya. Ia membawa saya berkenalan dengan Soren Kierkegard dan Eksistensialismenya, Viktor Frankl dengan terapi logosnya, Rollo May dengan Psikologi Eksistensialnya, dan teori teori pengenalan diri yang membuat saya menjadi psikolog pribadi bagi diri saya sendiri.

Jika saya patah hati, saya akan kembali membaca Kierkegard, mencari asumsi asumsi penguat agar saya tetep move on dalam teorinya nya yang terangkum dalam The Meaning of Love. Jika saya merasa kecewa, maka saya membaca asumsinya dalam The Meaning of Suffering. Jika kalkulasi otak saya menghitung bahwa sekeras apapun saya berusaha saya akan tetap jatuh, maka saya akan menjatuhkan diri sebelum di jatuhkan. Saya pikir tidak ada salahnya menjadi sepenuhnya manusia dengan berusaha sekuat mungkin untuk tidak jatuh dan sakit sebelum pada akhirnya bertemu takdir Tuhan, begitu bukan?.

Lalu, saya mengenal Bodhi saat saya di bangku kuliah. Bodhi berkenalan dalam bentuk yang unik, yang merupakan mutan hasil mutasi gen Budha dan gen Punker. Yang mengajarkan kebebasan dalam batas, mengajak saya berkeliling Bangkok untuk belajar seni tato. Setelah membaca Petir lalu Akar, saya beranjak pada edisi pertama, Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh. Yang ini, mengajarkan saya mencinta. Sayangnya, saya yang tergila gila dengan rangkaian mantra Dee dengan otak kerdil saya yang masih doyan fantasi, membuat saya menghabiskan cinta pertama saya dengan ber-platonis. Bodoh, jika anda tau kronologis ceritanya, anda akan benar benar menertawakan saya mati matian. Saya menghabiskan seluruh masa remaja saya dengan ber-platonis, menolak berkali kali tawaran pacaran hanya karena saya percaya bahwa “dia”, pelengkap semesta saya, akan menghampiri saya dengan dukungan alam, kami akan sepakat dalam diam, tidak riuh dalam negosiasi, kami akan saling berkomunikasi hanya dengan bertatap mata, kami akan berbagi nyawa hanya dengan saling melempar senyum. Nah, sekarang anda tau bukan, mengapa saya menyarankan anda sadar dan gila sekaligus saat ber-Supernova?. Jika anda membaca hanya dengan sadar, anda tidak akan dapat asyiknya. Anda akan membentengi fantasi anda dengan rasionalitas, maka rasanya akan seperti nonton film horror bertangkupkan bantal. Namun, jika anda membaca hanya dengan gila, jadilah anda seperti saya, terjebak dalam difusi dimensi supernova, simulacra yang nanggung. Yang ternyata, sampai sekarang injeksi Supernova tentang cinta cintaan itu masih melekat di otak saya. Saya sengaja simpan yang satu itu, akan kukorbankan nanti, jika suatu saat saya kehilangan alasan untuk menunda pernikahan seperti misalnya, mau fokus kuliah dulu, atau harus nikah karena sangking putus asanya, ibu saya sampai pergi ke dukun mencarikan saya jodoh. Atau bapak saya menjadikan perjodohan yang merupakan konspirasi terburuk atas nama persahabatan beliau, maka saya akan merekam jejak mereka mereka yang pernah menawari saya cinta, pacaran dan pernikahan, mem-PK (Peninjauan Kembali) mereka, dan bilang “ayo menikah”. Maka saya akan mengalami dua kemungkinan, yang pertama, mereka semua sudah menikah dan berkata “Hello, kemana aja lo, lo itu masa lalu kali”, yang kedua saya akan menerima perjodohan Bapak atau jodoh yang di carikan ibu saya dari dukun. Maka sebelum menikah, saya akan pergi ke tukang hipnotis untuk minta di hipnotis bahwa saya beruntung karna saya menikahi Ramon Y. Tungka. Lalu, saya akan hidup dalam kebahagian pernikahan yang terhipnosis. Itu adalah kemungkinan paling buruk yang saya tahu Tuhan tidak akan tega menuliskannya untuk saya.

Partikel datang memenuhi segala lapar dan dahaga, membangunkan saya dari runtinitas datar saya yang perlahan membuat saya lupa caranya berkhayal dan memandang bagian terkecil dari kehidupan sebagai keajaiban. Diva, Bodhi, Etra dan Zarah mengajarkan saya bahwa kegelisahan merupakan pengalaman paling unik untuk mengenal diri kita lebih dalam melalui pencarian. Kali ini ia datang, sudah kutuntaskan, senang karena ternyata Dee masi meng-Embrio. Senang karena penantian saya belum berakhir, belum tamat, belum klimaks. Masih ada banyak kisah yang layak ditunggu. Masih tersimpan rapat kisah tentang kabar Dimas dan Reuben, Diva, Bodhi, Etra serta Zarah. Masih penuh dan utuh kesempatan mereka untuk mencari dan mengada. Dan masih ada saya yang akan setia menanti mereka meng-ada.

Baiklah, sudah beranjak pagi, efek racun kopi saya sayangnya masi membuat saya terjaga. Saya akan berkaleidoskop, bereuni dengan Diva, Bodhi dan Etra, menengok Dimas dan Reuben, hingga mata saya kehilangan daya. Selamat Pagi dan Selamat Mencari dan Meng-ada….Selamat ber-Partikel….^^

Jangan lupa berbagi pengalaman anda....

Tuesday, March 27, 2012

Kisah Narcissus dan sang Danau (realitas cermin ganda)


Sekitar satu bulan yang lalu, saya menceritakan tentang kisah narcissus dan sang danau pada murid murid saya. Once upon a time, (mesti wes lak cerita awal awalnya itu-celetuk murid saya) there was a boy named Narcissus. He had a beautiful face, everyone admired his beauty and so himself. Everyday he went to the lake to see his reflection through the surface of the lake and he admired his own beauty. Until one day, when he was flown by his own beauty, he want to kiss his own reflection in the surface of the lake, and he fell and drowned into it. One time later, the lake water became salty, the mother earth asked to the lake, "Why your water was salty?", and the lake answer, "I was crying for narcissus, my tears that made the water was salty", answered the lake. Then mother earth said "Ouh, you must missed him and his beauty", and the lake answered wonderingly, "I never paid attention to his beauty, i even didn't know that he had a beautiful face", and the mother earth asked him back curiously "So why were you crying for him?", and the lake answered sadly "Because i was no longer able to see my own beauty in his eyes".

Lalu saya bertanya pada murid saya, apa kira kira inti dari cerita tersebut?, murid saya menjawab kalau sebagai manusia kita tidak diperbolehkan untuk sombong dan mengagumi diri sendiri karena hal itu membuat kita (kecebur danau miss _celetuk salah satu murid saya) lupa dan tanpa kita sadari akan merugikan diri kita sendiri.

Terpikir oleh saya, bahwa saya tak ubahnya seperti narcissus dan danau yang mencari kecantikan diri sendiri melalui orang lain. Jika saya sedang mendengarkan curhatan teman saya, diam diam hati kecil saya berbisik angkuh, lirih, namun jelas, ujarnya "saya ini orang yang sabar yah, baik hati, dan rela mendengarkan curhatan teman saya yang kadang bikin bosan", belum lagi kalau saya beramal, tangan kiri saya memang tidak tahu, tapi hati saya yang bagian kiri tahu dan lagi lagi ia berbisik angkuh, lirih, namun jelas, ujarnya "saya ini orang yang dermawan yah, mau berbagi dengan orang yang membutuhkan", ah masih banyak hal yang saya-tanpa sadar- suka berbangga diri dengan diri saya sendiri. Lalu saya sadar bahwa saya tak ubahnya sang danau yang mencari kecantikannya di mata narcissus,atau narcissus yang mencari kecantikannya di mata sang danau. Namun saya tidak bisa menjamin bahwa saya bisa menghentikan ke-narsisan ini, ia seperti id yang bekerja secara diam diam, hening namun bergerak dengan cepat tanpa aba aba hingga superego pun kewalahan menghadapinya.

Ternyata, wabah narcissus dan sang danau bukan hanya melanda saya, namun juga manusia di seluruh dunia. Realitas facebook yang semula di peruntukkan sebagai situs jejaring yang memfasilitasi siapa saya untuk berkomunikasi, berubah menjadi wadah bernarsis ria. Up Load foto liburan, tag sana sini, mengharap komen ini itu, bikin status mulai dari yang geje sampai jebe (jelas banget maksudnya), bikin note yang isinya puisi, cerpen, cerber, diary, hingga dekonstruksi (seperti saya yang sedang sok ini), dan aktivitas lain yang kadang geje kadang jebe.

Terlepas dari itu semua, kita ternyata manusia yang tak mungkin lepas dari teori relasi. Sebuah bidak catur akan memakna jika ia berada di sebuah papan catur bersama relasi relasinya, namun ketika ia ada ditumpukan kertas, ia hanya sepotong kayu. Begitupun kita, kita membutuhkan relasi relasi untuk memaknakan diri kita. Menjadi narcissus dan danau bukanlah hal yang salah namun hal yang sangat manusiawi sekali. Kita membutuhkan orang lain untuk membuat diri kita bermakna dan menjadikan kita merasa "ada". Asal kita tidak melupakan kecantikan orang lain dan terlalu bangga pada diri sendiri, realitas cermin ganda tetap harus diciptakan, saya berkaca pada diri anda untuk melihat kecantikan dan juga kekurangan saya, begitupun anda, anda mengaca pada saya untuk melihat kecantikan dan keurangan anda, dan bersama kita saling memperbaikinya.

Biarkan saya menjadi narcissus yang berkaca pada anda melalui tulisan ini, dan akan kubiarkan anda menjadi sang danau yang berkaca pada saya melalui komentar anda..^^

Menggarnis Malam


Saya selalu ingin menyederhanakan sebuah perpisahan. Karna saya percaya bahwa perpisahan adalah sebuah keniscayaan (bahwa ia benar datang dan juga tidak benar benar pergi). Menggarnisnya dengan farewell party atau sedu sedan juga bukan hal yang menarik bagi saya. Anggap saya membosankan, memang saya iya, saya hanya ingin berpikir dan bertindak sederhana, walau bagi teman teman terdekat saya, kesederhanaan saya lebih cenderung condong pada kepraktisan (mereka bersaudara ternyata). Walau bagaimanapun juga, kata perpisahan itu ibarat kemangi yang ditabur diatas sambal lalapan, jika tidak suka kamu bisa membuatnya sebagai teman cuci tangan, wanginya akan menyamarkan bau tanganmu yang telah dipinang terasi dan cabe rawit. Namun jika suka, kamu dapat turut melalapnya, selain membuat mulutmu wangi, rasanya juga isis, semriwing, seperti permen mint, kemangi ini mentralisir bau sambal terasi dan menawar pedas karena si cabe rawit.

Jika perpisahan menawarkan kesedihan, hu’um, memang sedih. Saya ingat saat saya berpisah dengan karib SD saya, namanya ayu, ketika itu kami masih kelas 3 SD, saya sedih untuk hal hal yang sederhana, misalnya, di mana lagi saya harus menghabiskan siang saya kalau ayu pindah?, atau, dengan siapa lagi saya bertukar sepeda kalau ayu pindah?. Momentum momentum ringan yang tiba tiba jadi berat ketika saya mencoba mengingatnya sendirian.

Memang bukan masalah lagi jika kita berbicara tentang perpisahan di jaman ini, kata Yasraf Pialang, jaman dimana Dunia di Lipat. Bpak ibu saya menelpon hampir lebih dari lima kali dalam satu siang, padahal saat saya masih di rumah, saya ini seperti Susie Salmon yang terjebak di antara dua dunia dalam film the lovely bone, ‘antara ada dan tiada’. Ternyata perpisahan yang pada akhirnya (lebih) mendekatkan bapak-ibu-anak ini.

Saya memang selalu berkeinginan untuk tidak bekerja di Jember, saya ingin jadi anak rantau. Saya ingin homesick, saya ingin kangen seribu persen sama bapak ibu adek saya dan juga karib karib saya yang luar biasa. Namun ketika saat itu datang, rasanya seperti hendak datang bulan, perut mules, emosi labil, pikiran macam macam, sukar diam, mondar mandir dengan resah atas sesuatu yang aku pun tak tahu, kenapa mesti resah coba? Im just 4 hours away instead. Saya mengatasinya dengan berlaku sewajar mungkin, tapi tidak dengan saudara saudara saya yang luar biasa ini. Im very thankful having them as sisters although we dont have any blood relative.

Dua malam lalu, sekitar pukul sepuluh malam, tia, ria, selly dan nomi datang menghampiri saya dengan muka yang kusut masai berhiaskan senyuman dolby sang peri rumah dalam Harry Potter. Tia yang mukanya paling kusut karena seharian berkutat dengan penyakit, tetap dengansweater ijo itemnya yang lusuh, muka berminyak kayak kuli tambang, tangan kanan pegang batik sambil berujar “mbak, tak kasih hadiah” yang senada dengan “harta atau nyawa” plus ekspresi muka arnold swasineger dalam terminator dengan jargon andalannya “I’ll be back”. Saya yang hampir tidur langsung bangun dengan ekspresi wajah yang super woman heran, lah?. Ternyata, Tia, Ria, Selly dan Nomi ini ingin menutup malam saya dengan pemberian souvenir, saya terharu sebenarnya, namun karna gengsi dan malu, saya terima saja hadiahnya sambil berkata “Apa ini?, tak buka sekarang yah? Biar tar kalo gak cocok bisa ditukar”...kontan pecahlah tawa kami. Setelah bujuk rayu yang tak kalah maut dengan duet maut Jupe-Depe, akhirnya mereka mengijinkan saya membuka hadiah itu, isinya bola ajaib, tapi ada yang lebih ajaib sebernarnya dalam tas batik itu, tulisan tangan mereka yang berisi doa doa kecil yang luar biasa. Sangat menakjubkan memang, ketika kau dapat menemukan sesuatu yang luar biasa lewat hal hal kecil yang sederhana, i’m thankful because i am ^^.

“Saya menulis ini dengan tulisan dan bulpen terbaik saya, untuk dibaca oleh orang yang baik agar berkesan baik....” tulis tia dalam suratnya, sebenarnya sebaik dan semahal apapun bulpen yang dipake tia, tulisan tia tetap jelek, but that’s fine, beruntunglah dia calon dokter, jadi harap maklum saja, membaca muka saya mulai seperti Nina Sawyer saat ia hendak menelpon ibunya karena terpilih menjadi the Queen Swan. “Wingardium Leviosa, semoga mbak lintang bisa meraih cita cita mbak lintang setinggi langit..” tulis ria dalam suratnya, amin, saya mengamininya dengan bulir yang perlahan menyembul di ujung mata saya. “Yang jelas moga mbak lintang di tempat yang baru dapat pengalaman baru yang buanyakk...DT 47 rumah ketentraman hati..ihir” tulis selly dalam suratnya, kali ini bulir yang semula mengintip mulai berontak keluar. “Kalo kangen nomi, coba aja liat Mvny boyband korea seperti SUJU, DBSK pasti kangennya ilang, abis mereka keren banget..” sontak saya menangis sambil tertawa konyol. Afterall, bola ajaib dan surat surat ajabib yang mereka berikan memberikan keajaiban yang lebih ajaib daripada keajaiban itu sendiri. Terimakasih saudara atas semua kebaikan ini, semoga kelak kalian mendapatkan kehidupan yang gemilang.

Malam saya dua hari lalu di jember memang luar biasa, terimakasi untuk Rosita yang menyempatkan mengajak saya menyayikan tembang tembang Nike Ardila di sela kesibukanmu.

Dan juga DT 47 girls for the loving and happiness

  • Thax to Tya for giving me your time, aku tau kamu pasti capek banget, tapi masi sempet sempetnya kebawah dan mengorbankan waktu tidurmu yang seuprit kaya upil untuk sekedar menodong saya dengan tas batik berisi keajaiban.
  • Thx to Ria for those beautiful mantra, aku tau kamu pasti berpikir ribuan tahun untuk merangkai kata kata indah itu untuk aku, dan suer rya, kata katanya indahhhhhh banget. Lintang menyukai ini..^^
  • Thx to Selly for spending your study time, batuk seratus hari pasti menyiksamu, tapi masi sempet sempetnya turun ke bawah dan sedikit berbagi tawa..terimaksih yah, gonna miss your voice and your laugh...
  • Thx to Nomi for sharing your crunchy laugh, selalu suka kalo nomi ketawa, lucu. Tetep semangat yah, mba coba deh suka band korea, jangan bertengkar terus ama monik, one day you will realize that your sisterhood is the precious treasure of yours.

Having you all as the precious peoples in a precious way is the precious treasure of my life. Considering you as family without thinking about blood relative is the most precious consideration in a precious way. Thank you for giving me these wonderfull sisterhood....^^

We Are Family afterall....love you al in every way....^^

Now let me recall those beautiful recollections, saat kita judi bersama memainkan poker las vegas, bergaya gila dengan kresek menghiasi rambut kita, bikin video klip sweet child of mine, cerita ngalor ngidul kayak burung prenjak yang pakde baru beli, nonton film horor korea dan menutupnya dengan pertanyaan “maksudnya apa sih?”, heboh gila kalo liat Al the lucky laki di tv, mengutuk DEPE dengan kutukan yang paling terkutuk, karaoke tengah malam dengan kostum kosidahan, dan semua hal indah lainnya. Titip pakde dan budhe yah, minta tolong dijagain,,hehehe....gonna miss you for sure..^^

SERDADU KUMBANG : WAJIB FARDU AIN UNTUK DITONTON


“Amek..apa kabar negeri kita hari ini?”

“Anak SD disiksa gurunya, harga cabe naik lagi, demo masih dimana2” (kurang lebih seperti itu jawaban Amek, saya lupa 80% sepertinya)

Diatas itu adalah cuplikan dialog antara Amek dan salah seorang tetangganya dalam film terbaru besutan Alenia production berjudul SERDADU KUMBANG. Film menarik ini memang tidak jauh beda dengan film film idealis lainnya yang mengusung tema anak anak dan pendidikan semacam LASKAR PELANGI, DENIAS, dan judul judul lainnya yang sayangnya masih dapat dihitung dengan jari. Yang paling menarik adalah (setidaknya bagi saya pribadi) kehadiran sosok Amek yang diperankan dengan ciamikkkk oleh Yudi Miftahudin. Lelaki kecil ini bolehlah sumbing, namun aktingnya sempurna. Melihak Amek tanpa ekspresi saja sudah senang, rasanya seperti makan mangga afrika yang sekilonya enam puluh lima ribu. Melihat Amek menangis rasanya seperti habis kehilangan dompet dan membayangkan akan ribet mengurus kembali STNK, SIM, KTP dan hal hal bulshit lainnya, singkatnya sedih dan sebal kenapa harus berbirokrasi. Dan melihat Amek tertawa rasanya seperti jatuh cinta lagi, terbang ke langit ketujuh, naik tornado dengan diiringi lagunya All the Single Ladiesnya Beyonce (Lah?). Lupakan saja perumpamaan saya yang tidak pas pada tempatnya, intinya saya ingin berkabar bahwa ada film baru produksi Indonesia yang super wajib ain ditonton, jika tidak haram hukumnya (saya sudah seperti MUI saja ya?).

Film ini bersetting di Sumbawa, tepatnya desa Taliwang. Tema yang diusung masih tentang sistem pendidikan kita yang suka sekali berganti nama tapi tidak sifat sistem itu sendiri. Mungkin (pinurut kepercayaan jawa) alasan penggantian nama itu untuk buang sial yah?, jadi orang jawa pada umumnya akan mengganti nama anak mereka jika anak mereka sakit sakitan, ada yang bilang nama itu terlalu berat, sehingga si anak stress mikir amanat yang terkandung dalam nama itu, sakitlah dia. Akhirnya, digantilah nama si anak sampai si anak benar2 sehat wal afiat. Padahal mungkin, si anak sembuh berkat obat dan perawatan yang kebetulan efeknya bereaksi bersamaan dengan penggantian nama. Nah, mungkin, alasan pemerintah kita mengganti nama sistem pendidikan kita adalah untuk buang sial karena sistem pendidikan kita keberatan nama, entah sampai kapan penggantian nama ini berlangsung, semoga saja pada akhirnya sistem pendidikan kita nantinya akan benar benar sembuh.

Kembali lagi ke SERDADU KUMBANG, Amek sudah berkali kali tidak lulus UNAS. Bisa dibilang dia cerdas, tapi karena sistem pendidikan di sekolahnya yang masih linier dan anarkis, Amek dan dua temanya, Acan dan Umbe, lebih suka membolos. Ada juga cerita tentang Pohon Cita Cita yang merupakan metafora dari impian. Para penduduk desa Mantar, tempat Amek tinggal mempunyai kebiasaan menggantung cita cita mereka di pohon cita cita. Sehingga pohon tersebut dipenuhi botol betol berisi cita cita para anak anak bangsa ini. Ada juga cerita tentang kekecewaan para orang tua murid ketika semua anak anak mereka tidak lulus UNAS, padahal salah satu dari mereka, Minun, kakak Amek, selalu juara satu dan juara lomba matematika se Taliwang.

Lelaki lelaki kecil ini adalah aktor baru, namun permainan mereka mampu mengimbangi aktor kawakan Putu Wijaya yang berperan menjadi Papin (Kakek). Papin yang tidak lulus sekolah namun luar biasa arif, mengajar ngaji, bercerita tentang sejarah, berpetuah tentang hidup pada anak anak didiknya. Dan jangan lewatkan pula akting apik Titi Suman yang mengingatkan saya pada akting Rieke Dyah Pitaloka di Laskar Pelangi. Ada juga Surya Saputra yang memerankan Pak Ketut dengan seragam kuning bertuliskan PT NEWMONT NUSA TENGGARA yang kemudian memberi secercah harapan pada murid murid desa mantar, yang tentu saja sampai sekarang saya masih menanyakan apa maksud kehadiran seragam kuning itu

Biarpun tidak berakhir dengan akhir yang gemilang, film inimalah sangat dekat dengan realita. Cita cita itu memang untuk diwujudkan dan bukan digantungkan, mungkin itu yang ingin disampaikan lewat metafora pohon cita cita. Citra pendidikan yang direfleksikan oleh film ini semoga dapat benar benar menggunggah semua penonton bahwa mendidik adalah kewajiban semua orang.Namun memang yang terpenting adalah semangat untuk maju dan berbagi yang berhasil disuntikkan film ini, jadi ketika pulang seusai nonton film ini, selain bekas air mata, ada tekad bulat untuk turut berpartisipasi dalam pendidikan negeri ini. Tidak seperti ketika nonton film filmya duet Persik dan Perez, saya tidak tahu apa yang kemudian melekat di otak para penikmatnya selain payudara dan pantat, kalau saya, pasti, omelan berkepanjangan yang membuat orang di sebelah saya tanya, “Ngapain Nonton?”, trus saya jawab “Pengen Tahu Sejelek dan Sehina apa..sehingga saya bisa caci maki habis habisan (saya yang kehabisan makian maksudnya)!!.”

Saya merindukan liburan sekolah tahun depan agar dapat menonton film semacam ini lagi. Dan saya berharap semoga saya tidak perlu selalu menunggu liburan sekolah untuk dapat menikmati film semacam ini.

Ayo semuanya, dukung perfilman Indonesia. Nikmati Indahnya alam Sumbawa, megahnya gunung Tambora, gagahnya Kuda Sumbawa, Juga kharisma Papin yang diperankan Putu Wijaya, dan tidak ketinggalan wajah lugu Amek yang ingin jadi penyiar TV terkenal di film terbaru ALENIA CINEMA : SERDADU KUMBANG.....!!

SELAMAT MENONTON-SELAMAT TERHARU-SELAMAT MENAGIS-SELAMAT MENIKMATI

Be-Romansa dengan Karib saya lewat diksidiksinya yang Kawin dengan Harmonis..Yukk!!

Mirani dia yang berkerudung hitam memeluk saya yang masih imut.....hehe ^^

Saya ber-Romansa lagi dengan Mirani Fanisihan, karib saya. Kami bukan karib yang lahir dari kuantitas pertemuan, detikan kami bersama mungkin tak jauh beda dengan kentut yang keluar begitu saya, tapi entah mengapa kualitas karib kami lebih dekat daripada jarak mata dengan hidung. Hhihii...kali ini, sama seperti kali lalu, saya beromansa melalui kawinan harmonis antara diksidiksi yang Mirani hasilkan entah dari pertapaan yang seperti apa, tapi saya selalu suka dan juga iri setiap kali membaca nya. Eniwei, terimakasih ya mir sudah bersedia berbagi takdir denganku..^^s

Buat para tagged (yang di tag maksudnya) Selamat membaca yah, dan perlu sekali lagi saya infokan, tulisan tulisan indah di bawah ini dibuat oleh karib saya, Mirani Fanisihan...

THE RHAPSODY

Sore itu aku berjalan di tepi sungai, lelah aku setelah seharian bekerja di sawah. Rasanya lega sekali, padi yang selama ini kurawat sudah mulai berisi. Kelopak itu sudah mulai gemuk dan panjang berulir. Bahkan beberapa hari ini sudah banyak yang mulai merunduk ke tanah, melihat dan mengagumi darimana dia berasal dan mendapatkan penghidupan. Mungkin itu yang dimaksud oleh nenek moyang untuk meniru ilmu padi, semakin berisi tetapi semakin merunduk. Bukan merunduk tidak percaya diri, tetapi merunduk mengagumi Ilahi, sumber segala ilmu dan pengetahuan. Hari sudah mulai gelap, remang-remang cahaya lampu dari seberang sungai sudah mulai kulihat. Tiba-tiba aku melihat bayangan seseorang berambut panjang berjalan menuju sungai, memakai kemben dan menjinjing keranjang kecil.

Langkahnya pelan menjemput air sungai, dan berhenti ketika air telah mencapai ujung atas kembennya. Rambut panjangnya segera diurai dan dia mulai merendamkan dirinya di air sungai yang mulai dingin. Mataku tak berkedip sejak tadi, jarak yang memisahkan aku dengannya memang tidak terlalu jauh. Sayup-sayup kudengar dia menyanyi, detak jantungku berdegup keras, suaranya magis, apalagi didukung oleh suasana sore yang terhiasi oleh jingga cakrawala. Putri-putri kraton yang tertulis di lontar Majapahit yang katanya cantik nan gemulai itu aku belum pernah melihatnya, tapi sepertinya yang didepan mataku ini tak kalah indah dengan putri-putri itu, hanya saja kecantikan dan gemulainya tidak tertulis di lontar, tapi tertulis di alam, dengan tinta sang cakrawala. Dia berputar-putar, bermain air, terkadang menyelam, mengambil pasir halus dari dasar, dan diusapkannya di seluruh badannya.

Rupanya dia sadar sejak tadi ada mata yang mengagumi geraknya, dan mulai menatap balik ke arahku. Aku menjadi kikuk, dan kulambaikan tangan ke arahnya. Dia juga melambaikan tangan ke arahku, sambil tak henti bernyanyi kecil. Dia melambaikan tangan lagi, mengajakku untuk turun mandi. Walaupun dingin, kupaksakan diri juga untuk mengakrabkan diriku dengan air sungai. Aku berenang ke seberang, menelusuri riak-riak air yang memancarkan aroma eksotis. Bayang wajahnya semakin jelas,dan suara nyanyiannya semakin keras terdengar. Wajahnya bulat, dengan pandangan tajam berwarna biru. Ternyata dia menyanyi Asmaradahana, tembang ritmis tentang cinta seorang anak manusia. Dia sudah mulai nakal melemparkan air ke mukaku, sambil tertawa renyah, akupun membalasnya. Kami tertawa, akrab seakan telah bersatu di kehidupan sebelumnya. Reinkarnasi kedua yang tinggal melanjutkan saja. Hanya aku heran, kenapa aku baru bertemu dia sekarang, bukankah dia adalah salah satu penduduk desa seberang. Dia tertawa lagi, tertawa lagi, kadang kuberanikan diri memandang tepat lurus ke wajahnya, saat itulah dia berhenti tertawa, dia tersenyum, senyum yang bukan berasal dari bumi, aku tahu pasti. Dia menyelam, beberapa lama sehingga aku kebingungan di kegelapan, kumenoleh ke kanan kiri untuk mencari sosoknya, tapi tak muncul juga. Tiba bukkkk.............ada benda serupa pasir menabrak punggungku, aku secepat kilat menoleh, hampir saja wajah kami bertabrakan. Ternyata rambutnya tadi yang menabrak punggungku, dan dia kini tepat beberapa senti di depanku. Begitu dekat hingga aku mendengar nafasnya, seperti angin harapan dari oase yang menerjang padang pasir. Dia sendiri sepertinya kaget, tidak menyangka akan menabrak punggungku

dari belakang. Aku baru sadar sekarang betapa cantik makhluk yang berada di depanku ini. Rambut panjangnya yang hitam legam sedikit mengkilat oleh sinar rembulan yang sudah mulai mengggantikan tugas sang mentari.

" Dewiiiiiiiiii......" tiba-tiba suara serak seorang lelaki membahana dari atas sungai, menimbulkan suara sambung menyambung. Gadis itu langsung beranjak, menuju ke tepian lagi. Tapi dia celingukan, seperti sedang mencari sesuatu. Ah ya, sepertinya dia lupa dimana menaruh keranjang kecilnya, ternyata bidadari bisa juga lupa, aku langsung menghambur ke darat, kucoba mengingat dimana dia tadi meletakkan keranjang kecil itu. Sinar rembulan yang tidak begitu terang semakin mempersulit pandangan. Tapi segera kulihat keranjang tadi di balik batu di ujung sana, rupanya karena keasyikan bermain, kita sudah agak jauh dari tempat semula. Aku segera berlari mengambil keranjang kecil dari anyaman bambu itu, dan segera menyerahkan kepadanya.

" Terima kasih ya sudah menemaniku.." dan diapun pergi..............

Dua belas purnama sudah aku mengenalnya, dan kehidupanku selalu diwarnai oleh canda dan kisahnya. Jika malam diwarnai rembulan, kami akan selalu pergi ke sungai itu, bermain dan bernyanyi, tersenyum dan tertawa. Dia memang cantik, seperti namanya. Tapi semakin lama aku mengenalnya, kecantikan itu semakin membuatku tergila-gila. Karena cantik yang terpancar lebih kuat justru dari sikapnya, melebihi kecantikan raganya yang memang sudah luar biasa. Tapi dia selalu mengelak ketika kubilang bahwa dirinya cantik, apalagi kalau kubilang bahwa dia adalah seorang yang sangat cerdas, dia pasti mengalihkan pembicaraan. Apakah dia kira aku

nggombal, padahal belum pernah dalam hidupku aku bilang bahwa hobiku nggombal. Hobi yang elitis itu memang tidak pas denganku, aku hanya ingin jujur. Aku hanya bicara apa adanya, tidak mengurangi tidak menambahi.

Tapi memang sebenarnya kata-kata tak cukup mampu melukiskan keindahannya, tapi aku terus mencoba, walau aku tak tahu apa itu sampai pada tujuannya. Tapi begitulah, aku hanya makhluk biasa, yang bisa terpesona oleh keindahan dan kecantikan, yang bisa menggelepar oleh suara halus dan rayuan. Aku sering mengajaknya untuk bicara tentang masa depan. Bicara tentang langkah-langkah manusia di bumi, tentang segala tingkah dan perbuatan. Dan diapun menimpali, dengan kata-kata yang lembut, diucapkan dengan yakin. Protesnya terhadap manusia yang sewenang-wenang terhadap alam, terhadap keadaan yang membelenggu anak bangsa untuk maju, atau terhadap nada sinis sebagian manusia jika seorang wanita ingin berkarya. Dan kalau keadaan sudah menjadi terlalu serius, kitapun bercanda lagi. Bicara tentang kucing yang hari ini tidak mau makan karena sedang jatuh cinta dengan kucing tetangga, atau tentang anjing yang nakal mengikuti kemanapun tuannya melangkahkan kaki. Tertawa lagi, menertawakan segala yang bisa ditertawakan. Melepaskan segala beban, karena beban kadang memang tak perlu terlalu dipikirkan. Asal sebagai manusia kita sudah melaksanakan yang terbaik yang bisa kita lakukan.

Suatu malam aku bertanya padanya, maukah dia memberikan senyum surgawinya untukku, tidak hanya untuk saat ini, tapi untuk sepanjang perjalananku menempuh kehidupan. Dia terdiam, menerawang......, dan akhirnya dia bilang dia juga

takut kehilanganku. Lalu kutanya, maukah dia bersama denganku mencari arti dibalik semua ayat-ayatTuhan yang tertulis maupun yang tercipta, mengarungi kapal bersama menuju teluk bahagia di ujung sana. Rona wajahnya berubah, dia kelihatan bingung, lama sekali dia terdiam, mengarahkan pandangan ke bumi, seakan menembus dan bertanya kepada bumi akan galaunya, kemudian ke langit, bertanya kepada bintang-bintang akan risaunya.Di remang-remang rembulan, dia membisikkan kepadaku, bahwa dia tak mau mengecewakanku.

" Biarkan aku sendiri beberapa purnama ini...", dan kemudian dia pergi, melewati rumpun-rumpun padi yang kekuningan, dan menyeberangi sungai jernih itu. Pergi ke desanya yang diseberang. Aku hanya bisa terpaku di sini, kejadian itu begitu cepat, sampai aku tidak sempat mengucapkan sepatah kata pun. Aku berteriak-teriak memanggilnya, tapi suaraku ditelan oleh anggun langkahnya.

Dia mungkin belum tahu, bahwa dia tak pernah mengecewakanku, dan tak akan pernah. Karena seperti yang aku bilang dulu ketika aku pertama kali menyatakan bahwa aku cinta padanya, bahwa cintaku apa adanya, kelebihan dan kekurangan itu adalah keniscayaan, bahkan bagi seorang bidadari seperti dia. Tak ada yang mampu memalingkan aku dari cintanya, karena cintaku bukan karena cantiknya, tapi karena kecantikan hatinya. Cintaku bukan pada keluarbiasaannya, tetapi karena usahanya untuk tetap menjadi biasa. Dan aku tahu setiap yang hidup akan beranjak tua, tapi aku yakin kecantikan hatinya abadi. Biarlah semua manusia silau akan aroma harum dan tebaran pesonanya, aku hanya akan mengagumi dia seperti adanya. Beberapa purnama, sungguh waktu yang sangat lama kurasakan. Aku hanya ingin dia kembali lagi, setiap

malam yang berhiaskan rembulan bermain bersamaku, biarlah masa depan tetap menjadi masa depan.

SESAAT DI PRINGGODANI

Kotaku masih sama seperti yang dulu ketika dua tahun lalu kutinggal.sepi yang terasing di sudut jalan, senja juga masih sama seperti dulu. Cantik….sangat cantik,namun menyibakkan kegetiran yang dalam, mungkin saja hanya untukku. Rasaku teriris keindahan senja kala rona sayu perlahan menjauhkan asaku. Aku selalu merasa setiap senja sama, sama seperti senja kita. Masih ingatkah kau pada ‘janji embun’ pada bunga? Embun sudi melalui perjalanan tembus malam hanya untuk bunga. Dulu pernah kau katakan adakah perjalananku dalam kesia-siaan….?. ”Gak ada yang sia-sia, kalo toh mimpi kita gagal...minimal kita pernah mencobanya,pragmatis kan….”

Pernah kau katakan “ matahari mengajariku segala yang menumbuhkan rindu pada benderang namun sang malam juga yang akan menerbangkanmu ke bintang- bintang…?” Aku berharap…sketsa senja masih tersisa untukku setidaknya mampu menyisakan sebongkah kenangan tentangmu juga tentang senja kita.

Lembah Tidar masih sama seperti dulu dengan belaian angin yang mampu menyapu angan-angan ya angan-angan kita kala itu.

Pernah ku bertanya tentang prasasti kita. Kau ragu kala itu dan kuyakinkan setiap orang berhak bermimpi.

Fantastis!!!!!!!!! Katamu melonjak.”Ini kekuatan pikiran dan mimpi ditambah sedikit manajemen pikirannya Holmes” Kataku yakin.

“Holmes masih hidup juga dalam otakmu hingga kini ya… ?”

Apakah kau masih seperti dahulu.

Memberikan cerita pengantar tidur kala ku tak mampu memejamkan kantukku.

Dan memberikan kata-kata

Yang tanpa ampun merajam bulir mataku

Mendatangkan lelah yang tak mampu kuduga hadirnya.

Inilah saat terberat hidupku

Memaksa cerita terus berucap

Mematri kata yang terperangkap

Membuai auramu meski sekejap.

Akulah bintang yang begitu bodohnya menanti purnama datang dengan sekian ribu penderitaan, hanya untuk menanti saat purnama muncul…..

Satu detik,,,satu malam,,,,

Dan kadang kau juga tidak menampakkan diri ketika mendung mendulangmu

Penantian yang terkadang semu…

Namun begitu transparan untuk meyakini satu hal…

Wajahmu akan memperindahku ketika malam purnama datang

Yang sempurna….

@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@

Ini bagian dari sekian destinasi sahabatku tentang hidup dan cinta yang telah usai, pergi bersama sejuta benci dan sesal. Kadang kutanya dalam hati mengapa musti saling membagi cerita kalau harus berakhir dengan hal membingungkan, mungkin cerita ini belum berkhir……tapi sungguh aku ingin menyudahi ini. Ini sesal dan benci yang teramat indah. Bagaimana mengakhiri sesuatu yang tidak mengenal awal…..? By senja

KETIKA JIBRIL DI BUMI

Sayup sayup Jibril mulai berteriak kelelahan, setelah tugasnya yang terakhir di sebuah planet di galaksi yang jauh, dia ingin sejenak menengok jejak terakhirnya di bumi 14 abad yang lalu. Tugas selanjutnya memang telah menunggu, tapi dia meminta reses sejenak pada Tuhan untuk sekedar beristirahat, dan waktu itu digunakannya untuk melihat planet sangat kecil berwarna biru yang mengelilingi bintang berwarna kuning. Sedikit ilmu yang telah disampaikannya kepada Muhammad ingin dilihatnya lagi, sekedar bernostalgia. Jibril tersenyum-senyum sendiri, betapa aneh perjalanan anak spiritualnya yang bernama Muhammad itu. Dia tidak bisa membaca, karena itu bodoh sekali. Pertama kali Jibril mendatangi Muhammad, Muhammad malah ketakutan. Tapi Jibril memaksa juga mengajari pemuda bodoh tapi jujur itu beberapa kata untuk sedikit mengenalkannya pada Sang Pencipta. Kedua kali Jibril datang, Muhammad tambah ketakutan sampai dia sakit, istrinya yang jauh lebih tua dari Muhammad sendiri, Khadijah, sampai kebingungan, dan menenangkan Muhammad. Jibril sampai geleng geleng kepala, tidak tahukah pemuda ini bahwa dia akan diberi sedikit pengetahuan tentang sang Khaliq.

Tapi Muhammad cepat sekali belajar, dalam waktu singkat dia telah menjadi manusia yang cukup dewasa, cukup untuk menyampaikan kepada manusia lain, bahwa yang patut disembah hanyalah Tuhan. Tuhan yang tak terbayangkan oleh mata biasa, tak teruraikan oleh kata, yang untuk mengenal-Nya manusia hanya bisa meraba raba.

Betapa berat perjuangan Muhammad, Jibril sudah tak ragu lagi. Diludahi, dilempari kotoran onta, dikejar kejar seperti maling yang mau dibunuh, biasalah itu untuk utusan Tuhan. Jibril sudah tak kaget lagi, anak spiritual Jibril sebelumnya, Yesus, malah mengalami nasib lebih parah, sampai digantung di Golgota. Kebanyakan utusan utusan itu mengalami nasib yang hampir serupa, ditolak oleh kaumnya, dianggap gila, diusir, beberapa dibunuh. Hanya sedikit sekali yang cukup berhasil, dalam arti dalam masa hidupnya punya cukup banyak pengikut. Sidharta Gautama salah satunya, anak spiritual yang satu ini memang cukup bandel dan mbalelo, lebih suka mencari "enlightment" dengan caranya sendiri. Lebih suka mencari bahagia tanpa Tuhan, buat apa jauh jauh kalau bisa mencari bahagia kalau dalam dirinya sendiri saja sudah ada. Kadang Jibril jengkel sama Sidharta, seperti kacang lupa kulitnya, tapi tidak apa apa lah pikir Jibril waktu itu. Yang penting ajaran menuju kebaikannya banyak diikuti orang.

Dari kejauhan Jibril mulai melihat samara samar planet bumi, seperti kelereng biru bercak bercak putih yang berputar. Kangen..., kangen sekali, 14 abad bukan waktu yang sebentar. Sudah terbayang di otaknya, anak-anak kecil berlarian bermain, nenek-nenek tersenyum sambil nyusur, sungai jernih tempat manusia mandi, si kulit hitam dan si kulit putih berjalan beriringan, wanita-wanita bermata sipit bernyanyi, sungguh bumi yang berwarna-warni indah. Hmmmm Jibril tersenyum senyum sendiri seperti gila saja. Tak sabar ingin segera sampai..............Sesampai di bumi, Jibril beristirahat sejenak, di tengah padang pasir yang hanya ditumbuhi beberapa pohon itu. Mengibas-ibaskan sayapnya dan mencoba sebentar merebahkan diri. Bahagia sekali Jibril mendapat "short

vacation", bermiliar-miliar tahun sudah dia mengabdi sebagai Menteri Penerangan Semesta. Akhirnya dia bisa sedikit bernafas lega.

"Allahu Akbar, Allahu Akbar, ...." sayup-sayup terdengar suara pujian kepada Tuhan dari kejauhan. Jibril sedikit kaget, tapi dia senang sekali, misinya berhasil. Manusia masih membesarkan Tuhan, riuh rendah memuji Tuhan. Dia berdiri, dari kejauhan kelihatan beberapa puluh manusia bersorban putih bersemangat sambil mengacungkan tongkat.

Hebat..hebat..manusia ini sangat mencintai Tuhan sehingga panas-panas begini mau-maunya arak-arakan. Jibril tersenyum bangga, setelah liburannnya selesai, dia akan bisa dengan bangga memberikan laporan kepada Tuhan bahwa tugas yang telah diberikan padanya sukses berat. Tuhan mah pasti sudah tahu, tapi kalau Jibril yang lapor sendiri, tentu akan menaikkan konditenya Jibril sebagai Menteri Penerangan Semesta yang bertanggung jawab dan sukses.

Semakin lama semakin keras suara-suara manusia itu, diam-diam Jibril mengikuti mereka, sebenarnya bukan diam-diam, karena memang manusia-manusia itu tak bisa melihat Jibril, kalau Jibril menampakkan diripun belum tentu mereka kuat melihatnya, Muhammad saja sering pingsan kalau melihatnya dalam wujud asli. Teknologi yang dipunyai manusia pun belum bisa menjelajahi dimensi yang didiami Jibril.

Sampailah rombongan manusia itu di suatu kampung, rumah-rumah di kampung ini berbentuk bulat terbuat dari kayu, ternyata rombongan itu mengetuk pintu rumah yang pertama terlihat, seorang perempuan berkulit hitam menggendong anaknya keluar, tiba-tiba terdengar suara dor...dor...dor....dor....

Perempuan itu langsung roboh, darah mengalir dari tubuhnya, bahkan seorang anak kecil yang digendongnya pun berlumuran darah, ada lubang kecil di kepalanya yang mengucurkan darah begitu deras. Jibril kaget setengah mati, apa salah dan dosa ibu dan anak ini koq sampai dibunuh sedemikian rupa, yang juga membuat Jibril kaget, ternyata tongkat itu yang digunakan untuk membunuh, dan tidak perlu ditusukkan, Jibril tidak tahu alat apa lagi itu yang digunakan manusia untuk membunuh. Ah..dia ingat, bukankah dulu sudah ada tongkat seperti itu, digunakan oleh orang-orang Cina untuk pertunjukan kembang api dan akhirnya untuk senjata.

Rumah demi rumah diobrak abrik, dan semua penghuninya dibunuh. Jibril shock berat, mengapa orang-orang berkulit putih yang berbahasa Arab ini membunuh orang-orang kulit hitam ini. Galau menggelayut dalam diri Jibril, setitik airmata menunjukkan simpatinya, Jibril bergetar, dan akhirnya terbang berkeliling. Tak jauh dari situ dia melihat kendaraan aneh berwarna putih yang belum pernah dia lihat, mempunyai roda empat berwarna hitam bertuliskan UN di sampingnya. Jibril penasaran terdampar di daerah manakah dia, koq manusia begitu tega membunuh sesamanya. Darfur..., ya

daerah ini bernama Darfur, tertera di salah satu tenda yang didiami oleh beberapa wanita dan anak-anak berkulit hitam.

Jibril semakin sedih, di sebelah sana terlihat beberapa wanita berebutan air, dan di sebelah tenda seorang anak kurus menangis, mulutnya dikerubuti lalat. Jibril kecewa, dia tidak mau liburannya rusak gara-gara pemandangan ini. Dia segera terbang setinggi2nya, mencoba mencari daerah lain yang mungkin lebih indah dan damai.

Untuk mengurangi sedihnya, Jibril bernyanyi lagu klasik Yunani, sayapnya digesekan sehingga bersuara menyerupai kithara, menyanyikan lagu-lagu moral yang dianjurkan oleh Plato dan Aristoteles. Melayang-layang tak tentu arah di angkasa, Jibril berusaha lepas dari pemandangan mengerikan yang baru saja dilihatnya. Setelah dirasa agak tenang, Jibril segera berpikir untuk melanjutkan perjalanan nostalgianya. Kali ini dia tidak mau terdampar lagi di tempat yang salah. Setelah beberapa waktu berpikir, akhirnya dia memilih Jerusalem sebagai persinggahan selanjutnya.

Kota yang indah itu, kota yang disucikan oleh tiga agama besar, tempat kelahiran Yesus, tempat istana besar Solomon (Sulaiman) pernah dibangun, tempat dimana Muhammad pernah mengarahkan mukanya waktu sembahyang. Jerusalem pastilah tenang dan damai, karena rahmat tiga agama yang dibawanya. Tempat yang bagus untuk mengisi liburan singkat Jibril di bumi.

Dari angkasa, Jibril segera melesat ke bawah sedikit ke arah utara dari tempatnya semula, utara...? ah Jibril tersenyum, arah..? arah ya arah, khayalan manusia saja arah itu. Sama saja dengan batas, semesta ini tak berbatas, semakin luas malah, mengembang ke segala arah. Atau juga langit, mana ada langit, manusia memang ada-ada saja. Tapi Jibril memang maklum, sama Tuhan manusia memang dibikin tidak terlalu pinter, wong sebodoh itu saja sudah keminter, apalagi kalau dibikin pinter. Walau kadang-kadang Jibril juga sedikit protes, kenapa Tuhan menyembunyikan identitas-Nya, memberi tahu manusia cuma setengah hati, celakanya manusia sok tahu lagi.

Jibril langsung menuju bukit Zion, dimana sudah berdiri Masjid indah berkubah warna emas, Al-Aqsa. Ribuan tahun yg lalu, Haikal Sulaiman pun tak kalah indahnya. Termangu di emperan masjid, Jibril melihat-lihat sekeliling. Tenteram dan tenang, adzan berkumandang, menyambut mega kemera an di ufuk. Jibril menyempatkan diri untuk ikut sholat berjamaah dengan manusia-manusia itu. Menyelam sejenak dalam keagungan-Nya.

Seusai salam, Jibril segera terbang berkeliling, melihat dari sisi ke sisi, perubahan demi perubahan sewarna peradaban, di sebuah kota yang menjadi sumbu kepercayaan. Di pinggir kota, Jibril melihat beberapa pemuda berlarian, sambil sesekali melemparkan batu, terdengar suara riuh, dari seberangnya sebuah kendaraan besar dari besi dan beroda bergerigi panjang berjalan pelan sambil sesekali memuntahkan suara-suara mengerikan. Beberapa pemuda tergeletak berlumuran darah, teriakan Allahu Akbar bergema dimana-dimana, kendaraan dari besi itu semakin dekat dengan rumah-rumah,beberapa manusia berpakaian hijau belang-belang keluar dari kendaraan besi itu dengan membawa tongkat yang sama dipergunakan oleh manusia di Darfur. Tongkat-tongkat itu diarahkan ke rumah-rumah di sepanjang jalan itu, Jibril melihat beberapa jiwa memisahkan diri dari raga dan segera melayang-layang di sekitar rumah.

Tontonan apa lagi ini, pikir Jibril. Belum lama dia melihat manusia berteriak-teriak Allahu Akbar membunuhi manusia lain, sekarang dia melihat manusia-manusia berteriak Allahu Akbar yang dibunuh. Jibril semakin bingung terbang melesat keluar kota, mencari tahu apa yang terjadi di kota yang dianggap suci ini. Pemandangan di kota lain tidak lebih menyenangkan, kendaraan2 besar merusakkan rumah-rumah dan wanita-wanita menangis, di sebelah sana Jibril melihat tembok yang panjang berkelo-kelok dan di sisinya dihiasi oleh kawat berduri. Jibril semakin tidak mengerti, ada apa dengan manusia ini, bukankah setelah wahyu terakhir dibisikkannya ke Muhammad, seharusnya manusia membangun jembatan, bukan tembok. Membangun persatuan, bukan perpecahan.

Jibril menangis lagi, kali ini tidak hanya setetes, deras seperti hujan musim gugur, sesenggukan dia meratapi misinya, sayapnya dikepakkan tanpa ritme, menimbulkan badai gurun. Hari tiba-tibamenjadi gelap, mendung-mendung bergulung membentuk rantai menakutkan, Jibril dipanggil Yang Kuasa...

"Aku tidak akan kembali lagi ke bumi" sumpah Jibril dalam hati.