About Me

My photo
JUST EVERY DAY PEOPLE

Tuesday, March 27, 2012

Kisah Narcissus dan sang Danau (realitas cermin ganda)


Sekitar satu bulan yang lalu, saya menceritakan tentang kisah narcissus dan sang danau pada murid murid saya. Once upon a time, (mesti wes lak cerita awal awalnya itu-celetuk murid saya) there was a boy named Narcissus. He had a beautiful face, everyone admired his beauty and so himself. Everyday he went to the lake to see his reflection through the surface of the lake and he admired his own beauty. Until one day, when he was flown by his own beauty, he want to kiss his own reflection in the surface of the lake, and he fell and drowned into it. One time later, the lake water became salty, the mother earth asked to the lake, "Why your water was salty?", and the lake answer, "I was crying for narcissus, my tears that made the water was salty", answered the lake. Then mother earth said "Ouh, you must missed him and his beauty", and the lake answered wonderingly, "I never paid attention to his beauty, i even didn't know that he had a beautiful face", and the mother earth asked him back curiously "So why were you crying for him?", and the lake answered sadly "Because i was no longer able to see my own beauty in his eyes".

Lalu saya bertanya pada murid saya, apa kira kira inti dari cerita tersebut?, murid saya menjawab kalau sebagai manusia kita tidak diperbolehkan untuk sombong dan mengagumi diri sendiri karena hal itu membuat kita (kecebur danau miss _celetuk salah satu murid saya) lupa dan tanpa kita sadari akan merugikan diri kita sendiri.

Terpikir oleh saya, bahwa saya tak ubahnya seperti narcissus dan danau yang mencari kecantikan diri sendiri melalui orang lain. Jika saya sedang mendengarkan curhatan teman saya, diam diam hati kecil saya berbisik angkuh, lirih, namun jelas, ujarnya "saya ini orang yang sabar yah, baik hati, dan rela mendengarkan curhatan teman saya yang kadang bikin bosan", belum lagi kalau saya beramal, tangan kiri saya memang tidak tahu, tapi hati saya yang bagian kiri tahu dan lagi lagi ia berbisik angkuh, lirih, namun jelas, ujarnya "saya ini orang yang dermawan yah, mau berbagi dengan orang yang membutuhkan", ah masih banyak hal yang saya-tanpa sadar- suka berbangga diri dengan diri saya sendiri. Lalu saya sadar bahwa saya tak ubahnya sang danau yang mencari kecantikannya di mata narcissus,atau narcissus yang mencari kecantikannya di mata sang danau. Namun saya tidak bisa menjamin bahwa saya bisa menghentikan ke-narsisan ini, ia seperti id yang bekerja secara diam diam, hening namun bergerak dengan cepat tanpa aba aba hingga superego pun kewalahan menghadapinya.

Ternyata, wabah narcissus dan sang danau bukan hanya melanda saya, namun juga manusia di seluruh dunia. Realitas facebook yang semula di peruntukkan sebagai situs jejaring yang memfasilitasi siapa saya untuk berkomunikasi, berubah menjadi wadah bernarsis ria. Up Load foto liburan, tag sana sini, mengharap komen ini itu, bikin status mulai dari yang geje sampai jebe (jelas banget maksudnya), bikin note yang isinya puisi, cerpen, cerber, diary, hingga dekonstruksi (seperti saya yang sedang sok ini), dan aktivitas lain yang kadang geje kadang jebe.

Terlepas dari itu semua, kita ternyata manusia yang tak mungkin lepas dari teori relasi. Sebuah bidak catur akan memakna jika ia berada di sebuah papan catur bersama relasi relasinya, namun ketika ia ada ditumpukan kertas, ia hanya sepotong kayu. Begitupun kita, kita membutuhkan relasi relasi untuk memaknakan diri kita. Menjadi narcissus dan danau bukanlah hal yang salah namun hal yang sangat manusiawi sekali. Kita membutuhkan orang lain untuk membuat diri kita bermakna dan menjadikan kita merasa "ada". Asal kita tidak melupakan kecantikan orang lain dan terlalu bangga pada diri sendiri, realitas cermin ganda tetap harus diciptakan, saya berkaca pada diri anda untuk melihat kecantikan dan juga kekurangan saya, begitupun anda, anda mengaca pada saya untuk melihat kecantikan dan keurangan anda, dan bersama kita saling memperbaikinya.

Biarkan saya menjadi narcissus yang berkaca pada anda melalui tulisan ini, dan akan kubiarkan anda menjadi sang danau yang berkaca pada saya melalui komentar anda..^^

Menggarnis Malam


Saya selalu ingin menyederhanakan sebuah perpisahan. Karna saya percaya bahwa perpisahan adalah sebuah keniscayaan (bahwa ia benar datang dan juga tidak benar benar pergi). Menggarnisnya dengan farewell party atau sedu sedan juga bukan hal yang menarik bagi saya. Anggap saya membosankan, memang saya iya, saya hanya ingin berpikir dan bertindak sederhana, walau bagi teman teman terdekat saya, kesederhanaan saya lebih cenderung condong pada kepraktisan (mereka bersaudara ternyata). Walau bagaimanapun juga, kata perpisahan itu ibarat kemangi yang ditabur diatas sambal lalapan, jika tidak suka kamu bisa membuatnya sebagai teman cuci tangan, wanginya akan menyamarkan bau tanganmu yang telah dipinang terasi dan cabe rawit. Namun jika suka, kamu dapat turut melalapnya, selain membuat mulutmu wangi, rasanya juga isis, semriwing, seperti permen mint, kemangi ini mentralisir bau sambal terasi dan menawar pedas karena si cabe rawit.

Jika perpisahan menawarkan kesedihan, hu’um, memang sedih. Saya ingat saat saya berpisah dengan karib SD saya, namanya ayu, ketika itu kami masih kelas 3 SD, saya sedih untuk hal hal yang sederhana, misalnya, di mana lagi saya harus menghabiskan siang saya kalau ayu pindah?, atau, dengan siapa lagi saya bertukar sepeda kalau ayu pindah?. Momentum momentum ringan yang tiba tiba jadi berat ketika saya mencoba mengingatnya sendirian.

Memang bukan masalah lagi jika kita berbicara tentang perpisahan di jaman ini, kata Yasraf Pialang, jaman dimana Dunia di Lipat. Bpak ibu saya menelpon hampir lebih dari lima kali dalam satu siang, padahal saat saya masih di rumah, saya ini seperti Susie Salmon yang terjebak di antara dua dunia dalam film the lovely bone, ‘antara ada dan tiada’. Ternyata perpisahan yang pada akhirnya (lebih) mendekatkan bapak-ibu-anak ini.

Saya memang selalu berkeinginan untuk tidak bekerja di Jember, saya ingin jadi anak rantau. Saya ingin homesick, saya ingin kangen seribu persen sama bapak ibu adek saya dan juga karib karib saya yang luar biasa. Namun ketika saat itu datang, rasanya seperti hendak datang bulan, perut mules, emosi labil, pikiran macam macam, sukar diam, mondar mandir dengan resah atas sesuatu yang aku pun tak tahu, kenapa mesti resah coba? Im just 4 hours away instead. Saya mengatasinya dengan berlaku sewajar mungkin, tapi tidak dengan saudara saudara saya yang luar biasa ini. Im very thankful having them as sisters although we dont have any blood relative.

Dua malam lalu, sekitar pukul sepuluh malam, tia, ria, selly dan nomi datang menghampiri saya dengan muka yang kusut masai berhiaskan senyuman dolby sang peri rumah dalam Harry Potter. Tia yang mukanya paling kusut karena seharian berkutat dengan penyakit, tetap dengansweater ijo itemnya yang lusuh, muka berminyak kayak kuli tambang, tangan kanan pegang batik sambil berujar “mbak, tak kasih hadiah” yang senada dengan “harta atau nyawa” plus ekspresi muka arnold swasineger dalam terminator dengan jargon andalannya “I’ll be back”. Saya yang hampir tidur langsung bangun dengan ekspresi wajah yang super woman heran, lah?. Ternyata, Tia, Ria, Selly dan Nomi ini ingin menutup malam saya dengan pemberian souvenir, saya terharu sebenarnya, namun karna gengsi dan malu, saya terima saja hadiahnya sambil berkata “Apa ini?, tak buka sekarang yah? Biar tar kalo gak cocok bisa ditukar”...kontan pecahlah tawa kami. Setelah bujuk rayu yang tak kalah maut dengan duet maut Jupe-Depe, akhirnya mereka mengijinkan saya membuka hadiah itu, isinya bola ajaib, tapi ada yang lebih ajaib sebernarnya dalam tas batik itu, tulisan tangan mereka yang berisi doa doa kecil yang luar biasa. Sangat menakjubkan memang, ketika kau dapat menemukan sesuatu yang luar biasa lewat hal hal kecil yang sederhana, i’m thankful because i am ^^.

“Saya menulis ini dengan tulisan dan bulpen terbaik saya, untuk dibaca oleh orang yang baik agar berkesan baik....” tulis tia dalam suratnya, sebenarnya sebaik dan semahal apapun bulpen yang dipake tia, tulisan tia tetap jelek, but that’s fine, beruntunglah dia calon dokter, jadi harap maklum saja, membaca muka saya mulai seperti Nina Sawyer saat ia hendak menelpon ibunya karena terpilih menjadi the Queen Swan. “Wingardium Leviosa, semoga mbak lintang bisa meraih cita cita mbak lintang setinggi langit..” tulis ria dalam suratnya, amin, saya mengamininya dengan bulir yang perlahan menyembul di ujung mata saya. “Yang jelas moga mbak lintang di tempat yang baru dapat pengalaman baru yang buanyakk...DT 47 rumah ketentraman hati..ihir” tulis selly dalam suratnya, kali ini bulir yang semula mengintip mulai berontak keluar. “Kalo kangen nomi, coba aja liat Mvny boyband korea seperti SUJU, DBSK pasti kangennya ilang, abis mereka keren banget..” sontak saya menangis sambil tertawa konyol. Afterall, bola ajaib dan surat surat ajabib yang mereka berikan memberikan keajaiban yang lebih ajaib daripada keajaiban itu sendiri. Terimakasih saudara atas semua kebaikan ini, semoga kelak kalian mendapatkan kehidupan yang gemilang.

Malam saya dua hari lalu di jember memang luar biasa, terimakasi untuk Rosita yang menyempatkan mengajak saya menyayikan tembang tembang Nike Ardila di sela kesibukanmu.

Dan juga DT 47 girls for the loving and happiness

  • Thax to Tya for giving me your time, aku tau kamu pasti capek banget, tapi masi sempet sempetnya kebawah dan mengorbankan waktu tidurmu yang seuprit kaya upil untuk sekedar menodong saya dengan tas batik berisi keajaiban.
  • Thx to Ria for those beautiful mantra, aku tau kamu pasti berpikir ribuan tahun untuk merangkai kata kata indah itu untuk aku, dan suer rya, kata katanya indahhhhhh banget. Lintang menyukai ini..^^
  • Thx to Selly for spending your study time, batuk seratus hari pasti menyiksamu, tapi masi sempet sempetnya turun ke bawah dan sedikit berbagi tawa..terimaksih yah, gonna miss your voice and your laugh...
  • Thx to Nomi for sharing your crunchy laugh, selalu suka kalo nomi ketawa, lucu. Tetep semangat yah, mba coba deh suka band korea, jangan bertengkar terus ama monik, one day you will realize that your sisterhood is the precious treasure of yours.

Having you all as the precious peoples in a precious way is the precious treasure of my life. Considering you as family without thinking about blood relative is the most precious consideration in a precious way. Thank you for giving me these wonderfull sisterhood....^^

We Are Family afterall....love you al in every way....^^

Now let me recall those beautiful recollections, saat kita judi bersama memainkan poker las vegas, bergaya gila dengan kresek menghiasi rambut kita, bikin video klip sweet child of mine, cerita ngalor ngidul kayak burung prenjak yang pakde baru beli, nonton film horor korea dan menutupnya dengan pertanyaan “maksudnya apa sih?”, heboh gila kalo liat Al the lucky laki di tv, mengutuk DEPE dengan kutukan yang paling terkutuk, karaoke tengah malam dengan kostum kosidahan, dan semua hal indah lainnya. Titip pakde dan budhe yah, minta tolong dijagain,,hehehe....gonna miss you for sure..^^

SERDADU KUMBANG : WAJIB FARDU AIN UNTUK DITONTON


“Amek..apa kabar negeri kita hari ini?”

“Anak SD disiksa gurunya, harga cabe naik lagi, demo masih dimana2” (kurang lebih seperti itu jawaban Amek, saya lupa 80% sepertinya)

Diatas itu adalah cuplikan dialog antara Amek dan salah seorang tetangganya dalam film terbaru besutan Alenia production berjudul SERDADU KUMBANG. Film menarik ini memang tidak jauh beda dengan film film idealis lainnya yang mengusung tema anak anak dan pendidikan semacam LASKAR PELANGI, DENIAS, dan judul judul lainnya yang sayangnya masih dapat dihitung dengan jari. Yang paling menarik adalah (setidaknya bagi saya pribadi) kehadiran sosok Amek yang diperankan dengan ciamikkkk oleh Yudi Miftahudin. Lelaki kecil ini bolehlah sumbing, namun aktingnya sempurna. Melihak Amek tanpa ekspresi saja sudah senang, rasanya seperti makan mangga afrika yang sekilonya enam puluh lima ribu. Melihat Amek menangis rasanya seperti habis kehilangan dompet dan membayangkan akan ribet mengurus kembali STNK, SIM, KTP dan hal hal bulshit lainnya, singkatnya sedih dan sebal kenapa harus berbirokrasi. Dan melihat Amek tertawa rasanya seperti jatuh cinta lagi, terbang ke langit ketujuh, naik tornado dengan diiringi lagunya All the Single Ladiesnya Beyonce (Lah?). Lupakan saja perumpamaan saya yang tidak pas pada tempatnya, intinya saya ingin berkabar bahwa ada film baru produksi Indonesia yang super wajib ain ditonton, jika tidak haram hukumnya (saya sudah seperti MUI saja ya?).

Film ini bersetting di Sumbawa, tepatnya desa Taliwang. Tema yang diusung masih tentang sistem pendidikan kita yang suka sekali berganti nama tapi tidak sifat sistem itu sendiri. Mungkin (pinurut kepercayaan jawa) alasan penggantian nama itu untuk buang sial yah?, jadi orang jawa pada umumnya akan mengganti nama anak mereka jika anak mereka sakit sakitan, ada yang bilang nama itu terlalu berat, sehingga si anak stress mikir amanat yang terkandung dalam nama itu, sakitlah dia. Akhirnya, digantilah nama si anak sampai si anak benar2 sehat wal afiat. Padahal mungkin, si anak sembuh berkat obat dan perawatan yang kebetulan efeknya bereaksi bersamaan dengan penggantian nama. Nah, mungkin, alasan pemerintah kita mengganti nama sistem pendidikan kita adalah untuk buang sial karena sistem pendidikan kita keberatan nama, entah sampai kapan penggantian nama ini berlangsung, semoga saja pada akhirnya sistem pendidikan kita nantinya akan benar benar sembuh.

Kembali lagi ke SERDADU KUMBANG, Amek sudah berkali kali tidak lulus UNAS. Bisa dibilang dia cerdas, tapi karena sistem pendidikan di sekolahnya yang masih linier dan anarkis, Amek dan dua temanya, Acan dan Umbe, lebih suka membolos. Ada juga cerita tentang Pohon Cita Cita yang merupakan metafora dari impian. Para penduduk desa Mantar, tempat Amek tinggal mempunyai kebiasaan menggantung cita cita mereka di pohon cita cita. Sehingga pohon tersebut dipenuhi botol betol berisi cita cita para anak anak bangsa ini. Ada juga cerita tentang kekecewaan para orang tua murid ketika semua anak anak mereka tidak lulus UNAS, padahal salah satu dari mereka, Minun, kakak Amek, selalu juara satu dan juara lomba matematika se Taliwang.

Lelaki lelaki kecil ini adalah aktor baru, namun permainan mereka mampu mengimbangi aktor kawakan Putu Wijaya yang berperan menjadi Papin (Kakek). Papin yang tidak lulus sekolah namun luar biasa arif, mengajar ngaji, bercerita tentang sejarah, berpetuah tentang hidup pada anak anak didiknya. Dan jangan lewatkan pula akting apik Titi Suman yang mengingatkan saya pada akting Rieke Dyah Pitaloka di Laskar Pelangi. Ada juga Surya Saputra yang memerankan Pak Ketut dengan seragam kuning bertuliskan PT NEWMONT NUSA TENGGARA yang kemudian memberi secercah harapan pada murid murid desa mantar, yang tentu saja sampai sekarang saya masih menanyakan apa maksud kehadiran seragam kuning itu

Biarpun tidak berakhir dengan akhir yang gemilang, film inimalah sangat dekat dengan realita. Cita cita itu memang untuk diwujudkan dan bukan digantungkan, mungkin itu yang ingin disampaikan lewat metafora pohon cita cita. Citra pendidikan yang direfleksikan oleh film ini semoga dapat benar benar menggunggah semua penonton bahwa mendidik adalah kewajiban semua orang.Namun memang yang terpenting adalah semangat untuk maju dan berbagi yang berhasil disuntikkan film ini, jadi ketika pulang seusai nonton film ini, selain bekas air mata, ada tekad bulat untuk turut berpartisipasi dalam pendidikan negeri ini. Tidak seperti ketika nonton film filmya duet Persik dan Perez, saya tidak tahu apa yang kemudian melekat di otak para penikmatnya selain payudara dan pantat, kalau saya, pasti, omelan berkepanjangan yang membuat orang di sebelah saya tanya, “Ngapain Nonton?”, trus saya jawab “Pengen Tahu Sejelek dan Sehina apa..sehingga saya bisa caci maki habis habisan (saya yang kehabisan makian maksudnya)!!.”

Saya merindukan liburan sekolah tahun depan agar dapat menonton film semacam ini lagi. Dan saya berharap semoga saya tidak perlu selalu menunggu liburan sekolah untuk dapat menikmati film semacam ini.

Ayo semuanya, dukung perfilman Indonesia. Nikmati Indahnya alam Sumbawa, megahnya gunung Tambora, gagahnya Kuda Sumbawa, Juga kharisma Papin yang diperankan Putu Wijaya, dan tidak ketinggalan wajah lugu Amek yang ingin jadi penyiar TV terkenal di film terbaru ALENIA CINEMA : SERDADU KUMBANG.....!!

SELAMAT MENONTON-SELAMAT TERHARU-SELAMAT MENAGIS-SELAMAT MENIKMATI

Be-Romansa dengan Karib saya lewat diksidiksinya yang Kawin dengan Harmonis..Yukk!!

Mirani dia yang berkerudung hitam memeluk saya yang masih imut.....hehe ^^

Saya ber-Romansa lagi dengan Mirani Fanisihan, karib saya. Kami bukan karib yang lahir dari kuantitas pertemuan, detikan kami bersama mungkin tak jauh beda dengan kentut yang keluar begitu saya, tapi entah mengapa kualitas karib kami lebih dekat daripada jarak mata dengan hidung. Hhihii...kali ini, sama seperti kali lalu, saya beromansa melalui kawinan harmonis antara diksidiksi yang Mirani hasilkan entah dari pertapaan yang seperti apa, tapi saya selalu suka dan juga iri setiap kali membaca nya. Eniwei, terimakasih ya mir sudah bersedia berbagi takdir denganku..^^s

Buat para tagged (yang di tag maksudnya) Selamat membaca yah, dan perlu sekali lagi saya infokan, tulisan tulisan indah di bawah ini dibuat oleh karib saya, Mirani Fanisihan...

THE RHAPSODY

Sore itu aku berjalan di tepi sungai, lelah aku setelah seharian bekerja di sawah. Rasanya lega sekali, padi yang selama ini kurawat sudah mulai berisi. Kelopak itu sudah mulai gemuk dan panjang berulir. Bahkan beberapa hari ini sudah banyak yang mulai merunduk ke tanah, melihat dan mengagumi darimana dia berasal dan mendapatkan penghidupan. Mungkin itu yang dimaksud oleh nenek moyang untuk meniru ilmu padi, semakin berisi tetapi semakin merunduk. Bukan merunduk tidak percaya diri, tetapi merunduk mengagumi Ilahi, sumber segala ilmu dan pengetahuan. Hari sudah mulai gelap, remang-remang cahaya lampu dari seberang sungai sudah mulai kulihat. Tiba-tiba aku melihat bayangan seseorang berambut panjang berjalan menuju sungai, memakai kemben dan menjinjing keranjang kecil.

Langkahnya pelan menjemput air sungai, dan berhenti ketika air telah mencapai ujung atas kembennya. Rambut panjangnya segera diurai dan dia mulai merendamkan dirinya di air sungai yang mulai dingin. Mataku tak berkedip sejak tadi, jarak yang memisahkan aku dengannya memang tidak terlalu jauh. Sayup-sayup kudengar dia menyanyi, detak jantungku berdegup keras, suaranya magis, apalagi didukung oleh suasana sore yang terhiasi oleh jingga cakrawala. Putri-putri kraton yang tertulis di lontar Majapahit yang katanya cantik nan gemulai itu aku belum pernah melihatnya, tapi sepertinya yang didepan mataku ini tak kalah indah dengan putri-putri itu, hanya saja kecantikan dan gemulainya tidak tertulis di lontar, tapi tertulis di alam, dengan tinta sang cakrawala. Dia berputar-putar, bermain air, terkadang menyelam, mengambil pasir halus dari dasar, dan diusapkannya di seluruh badannya.

Rupanya dia sadar sejak tadi ada mata yang mengagumi geraknya, dan mulai menatap balik ke arahku. Aku menjadi kikuk, dan kulambaikan tangan ke arahnya. Dia juga melambaikan tangan ke arahku, sambil tak henti bernyanyi kecil. Dia melambaikan tangan lagi, mengajakku untuk turun mandi. Walaupun dingin, kupaksakan diri juga untuk mengakrabkan diriku dengan air sungai. Aku berenang ke seberang, menelusuri riak-riak air yang memancarkan aroma eksotis. Bayang wajahnya semakin jelas,dan suara nyanyiannya semakin keras terdengar. Wajahnya bulat, dengan pandangan tajam berwarna biru. Ternyata dia menyanyi Asmaradahana, tembang ritmis tentang cinta seorang anak manusia. Dia sudah mulai nakal melemparkan air ke mukaku, sambil tertawa renyah, akupun membalasnya. Kami tertawa, akrab seakan telah bersatu di kehidupan sebelumnya. Reinkarnasi kedua yang tinggal melanjutkan saja. Hanya aku heran, kenapa aku baru bertemu dia sekarang, bukankah dia adalah salah satu penduduk desa seberang. Dia tertawa lagi, tertawa lagi, kadang kuberanikan diri memandang tepat lurus ke wajahnya, saat itulah dia berhenti tertawa, dia tersenyum, senyum yang bukan berasal dari bumi, aku tahu pasti. Dia menyelam, beberapa lama sehingga aku kebingungan di kegelapan, kumenoleh ke kanan kiri untuk mencari sosoknya, tapi tak muncul juga. Tiba bukkkk.............ada benda serupa pasir menabrak punggungku, aku secepat kilat menoleh, hampir saja wajah kami bertabrakan. Ternyata rambutnya tadi yang menabrak punggungku, dan dia kini tepat beberapa senti di depanku. Begitu dekat hingga aku mendengar nafasnya, seperti angin harapan dari oase yang menerjang padang pasir. Dia sendiri sepertinya kaget, tidak menyangka akan menabrak punggungku

dari belakang. Aku baru sadar sekarang betapa cantik makhluk yang berada di depanku ini. Rambut panjangnya yang hitam legam sedikit mengkilat oleh sinar rembulan yang sudah mulai mengggantikan tugas sang mentari.

" Dewiiiiiiiiii......" tiba-tiba suara serak seorang lelaki membahana dari atas sungai, menimbulkan suara sambung menyambung. Gadis itu langsung beranjak, menuju ke tepian lagi. Tapi dia celingukan, seperti sedang mencari sesuatu. Ah ya, sepertinya dia lupa dimana menaruh keranjang kecilnya, ternyata bidadari bisa juga lupa, aku langsung menghambur ke darat, kucoba mengingat dimana dia tadi meletakkan keranjang kecil itu. Sinar rembulan yang tidak begitu terang semakin mempersulit pandangan. Tapi segera kulihat keranjang tadi di balik batu di ujung sana, rupanya karena keasyikan bermain, kita sudah agak jauh dari tempat semula. Aku segera berlari mengambil keranjang kecil dari anyaman bambu itu, dan segera menyerahkan kepadanya.

" Terima kasih ya sudah menemaniku.." dan diapun pergi..............

Dua belas purnama sudah aku mengenalnya, dan kehidupanku selalu diwarnai oleh canda dan kisahnya. Jika malam diwarnai rembulan, kami akan selalu pergi ke sungai itu, bermain dan bernyanyi, tersenyum dan tertawa. Dia memang cantik, seperti namanya. Tapi semakin lama aku mengenalnya, kecantikan itu semakin membuatku tergila-gila. Karena cantik yang terpancar lebih kuat justru dari sikapnya, melebihi kecantikan raganya yang memang sudah luar biasa. Tapi dia selalu mengelak ketika kubilang bahwa dirinya cantik, apalagi kalau kubilang bahwa dia adalah seorang yang sangat cerdas, dia pasti mengalihkan pembicaraan. Apakah dia kira aku

nggombal, padahal belum pernah dalam hidupku aku bilang bahwa hobiku nggombal. Hobi yang elitis itu memang tidak pas denganku, aku hanya ingin jujur. Aku hanya bicara apa adanya, tidak mengurangi tidak menambahi.

Tapi memang sebenarnya kata-kata tak cukup mampu melukiskan keindahannya, tapi aku terus mencoba, walau aku tak tahu apa itu sampai pada tujuannya. Tapi begitulah, aku hanya makhluk biasa, yang bisa terpesona oleh keindahan dan kecantikan, yang bisa menggelepar oleh suara halus dan rayuan. Aku sering mengajaknya untuk bicara tentang masa depan. Bicara tentang langkah-langkah manusia di bumi, tentang segala tingkah dan perbuatan. Dan diapun menimpali, dengan kata-kata yang lembut, diucapkan dengan yakin. Protesnya terhadap manusia yang sewenang-wenang terhadap alam, terhadap keadaan yang membelenggu anak bangsa untuk maju, atau terhadap nada sinis sebagian manusia jika seorang wanita ingin berkarya. Dan kalau keadaan sudah menjadi terlalu serius, kitapun bercanda lagi. Bicara tentang kucing yang hari ini tidak mau makan karena sedang jatuh cinta dengan kucing tetangga, atau tentang anjing yang nakal mengikuti kemanapun tuannya melangkahkan kaki. Tertawa lagi, menertawakan segala yang bisa ditertawakan. Melepaskan segala beban, karena beban kadang memang tak perlu terlalu dipikirkan. Asal sebagai manusia kita sudah melaksanakan yang terbaik yang bisa kita lakukan.

Suatu malam aku bertanya padanya, maukah dia memberikan senyum surgawinya untukku, tidak hanya untuk saat ini, tapi untuk sepanjang perjalananku menempuh kehidupan. Dia terdiam, menerawang......, dan akhirnya dia bilang dia juga

takut kehilanganku. Lalu kutanya, maukah dia bersama denganku mencari arti dibalik semua ayat-ayatTuhan yang tertulis maupun yang tercipta, mengarungi kapal bersama menuju teluk bahagia di ujung sana. Rona wajahnya berubah, dia kelihatan bingung, lama sekali dia terdiam, mengarahkan pandangan ke bumi, seakan menembus dan bertanya kepada bumi akan galaunya, kemudian ke langit, bertanya kepada bintang-bintang akan risaunya.Di remang-remang rembulan, dia membisikkan kepadaku, bahwa dia tak mau mengecewakanku.

" Biarkan aku sendiri beberapa purnama ini...", dan kemudian dia pergi, melewati rumpun-rumpun padi yang kekuningan, dan menyeberangi sungai jernih itu. Pergi ke desanya yang diseberang. Aku hanya bisa terpaku di sini, kejadian itu begitu cepat, sampai aku tidak sempat mengucapkan sepatah kata pun. Aku berteriak-teriak memanggilnya, tapi suaraku ditelan oleh anggun langkahnya.

Dia mungkin belum tahu, bahwa dia tak pernah mengecewakanku, dan tak akan pernah. Karena seperti yang aku bilang dulu ketika aku pertama kali menyatakan bahwa aku cinta padanya, bahwa cintaku apa adanya, kelebihan dan kekurangan itu adalah keniscayaan, bahkan bagi seorang bidadari seperti dia. Tak ada yang mampu memalingkan aku dari cintanya, karena cintaku bukan karena cantiknya, tapi karena kecantikan hatinya. Cintaku bukan pada keluarbiasaannya, tetapi karena usahanya untuk tetap menjadi biasa. Dan aku tahu setiap yang hidup akan beranjak tua, tapi aku yakin kecantikan hatinya abadi. Biarlah semua manusia silau akan aroma harum dan tebaran pesonanya, aku hanya akan mengagumi dia seperti adanya. Beberapa purnama, sungguh waktu yang sangat lama kurasakan. Aku hanya ingin dia kembali lagi, setiap

malam yang berhiaskan rembulan bermain bersamaku, biarlah masa depan tetap menjadi masa depan.

SESAAT DI PRINGGODANI

Kotaku masih sama seperti yang dulu ketika dua tahun lalu kutinggal.sepi yang terasing di sudut jalan, senja juga masih sama seperti dulu. Cantik….sangat cantik,namun menyibakkan kegetiran yang dalam, mungkin saja hanya untukku. Rasaku teriris keindahan senja kala rona sayu perlahan menjauhkan asaku. Aku selalu merasa setiap senja sama, sama seperti senja kita. Masih ingatkah kau pada ‘janji embun’ pada bunga? Embun sudi melalui perjalanan tembus malam hanya untuk bunga. Dulu pernah kau katakan adakah perjalananku dalam kesia-siaan….?. ”Gak ada yang sia-sia, kalo toh mimpi kita gagal...minimal kita pernah mencobanya,pragmatis kan….”

Pernah kau katakan “ matahari mengajariku segala yang menumbuhkan rindu pada benderang namun sang malam juga yang akan menerbangkanmu ke bintang- bintang…?” Aku berharap…sketsa senja masih tersisa untukku setidaknya mampu menyisakan sebongkah kenangan tentangmu juga tentang senja kita.

Lembah Tidar masih sama seperti dulu dengan belaian angin yang mampu menyapu angan-angan ya angan-angan kita kala itu.

Pernah ku bertanya tentang prasasti kita. Kau ragu kala itu dan kuyakinkan setiap orang berhak bermimpi.

Fantastis!!!!!!!!! Katamu melonjak.”Ini kekuatan pikiran dan mimpi ditambah sedikit manajemen pikirannya Holmes” Kataku yakin.

“Holmes masih hidup juga dalam otakmu hingga kini ya… ?”

Apakah kau masih seperti dahulu.

Memberikan cerita pengantar tidur kala ku tak mampu memejamkan kantukku.

Dan memberikan kata-kata

Yang tanpa ampun merajam bulir mataku

Mendatangkan lelah yang tak mampu kuduga hadirnya.

Inilah saat terberat hidupku

Memaksa cerita terus berucap

Mematri kata yang terperangkap

Membuai auramu meski sekejap.

Akulah bintang yang begitu bodohnya menanti purnama datang dengan sekian ribu penderitaan, hanya untuk menanti saat purnama muncul…..

Satu detik,,,satu malam,,,,

Dan kadang kau juga tidak menampakkan diri ketika mendung mendulangmu

Penantian yang terkadang semu…

Namun begitu transparan untuk meyakini satu hal…

Wajahmu akan memperindahku ketika malam purnama datang

Yang sempurna….

@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@

Ini bagian dari sekian destinasi sahabatku tentang hidup dan cinta yang telah usai, pergi bersama sejuta benci dan sesal. Kadang kutanya dalam hati mengapa musti saling membagi cerita kalau harus berakhir dengan hal membingungkan, mungkin cerita ini belum berkhir……tapi sungguh aku ingin menyudahi ini. Ini sesal dan benci yang teramat indah. Bagaimana mengakhiri sesuatu yang tidak mengenal awal…..? By senja

KETIKA JIBRIL DI BUMI

Sayup sayup Jibril mulai berteriak kelelahan, setelah tugasnya yang terakhir di sebuah planet di galaksi yang jauh, dia ingin sejenak menengok jejak terakhirnya di bumi 14 abad yang lalu. Tugas selanjutnya memang telah menunggu, tapi dia meminta reses sejenak pada Tuhan untuk sekedar beristirahat, dan waktu itu digunakannya untuk melihat planet sangat kecil berwarna biru yang mengelilingi bintang berwarna kuning. Sedikit ilmu yang telah disampaikannya kepada Muhammad ingin dilihatnya lagi, sekedar bernostalgia. Jibril tersenyum-senyum sendiri, betapa aneh perjalanan anak spiritualnya yang bernama Muhammad itu. Dia tidak bisa membaca, karena itu bodoh sekali. Pertama kali Jibril mendatangi Muhammad, Muhammad malah ketakutan. Tapi Jibril memaksa juga mengajari pemuda bodoh tapi jujur itu beberapa kata untuk sedikit mengenalkannya pada Sang Pencipta. Kedua kali Jibril datang, Muhammad tambah ketakutan sampai dia sakit, istrinya yang jauh lebih tua dari Muhammad sendiri, Khadijah, sampai kebingungan, dan menenangkan Muhammad. Jibril sampai geleng geleng kepala, tidak tahukah pemuda ini bahwa dia akan diberi sedikit pengetahuan tentang sang Khaliq.

Tapi Muhammad cepat sekali belajar, dalam waktu singkat dia telah menjadi manusia yang cukup dewasa, cukup untuk menyampaikan kepada manusia lain, bahwa yang patut disembah hanyalah Tuhan. Tuhan yang tak terbayangkan oleh mata biasa, tak teruraikan oleh kata, yang untuk mengenal-Nya manusia hanya bisa meraba raba.

Betapa berat perjuangan Muhammad, Jibril sudah tak ragu lagi. Diludahi, dilempari kotoran onta, dikejar kejar seperti maling yang mau dibunuh, biasalah itu untuk utusan Tuhan. Jibril sudah tak kaget lagi, anak spiritual Jibril sebelumnya, Yesus, malah mengalami nasib lebih parah, sampai digantung di Golgota. Kebanyakan utusan utusan itu mengalami nasib yang hampir serupa, ditolak oleh kaumnya, dianggap gila, diusir, beberapa dibunuh. Hanya sedikit sekali yang cukup berhasil, dalam arti dalam masa hidupnya punya cukup banyak pengikut. Sidharta Gautama salah satunya, anak spiritual yang satu ini memang cukup bandel dan mbalelo, lebih suka mencari "enlightment" dengan caranya sendiri. Lebih suka mencari bahagia tanpa Tuhan, buat apa jauh jauh kalau bisa mencari bahagia kalau dalam dirinya sendiri saja sudah ada. Kadang Jibril jengkel sama Sidharta, seperti kacang lupa kulitnya, tapi tidak apa apa lah pikir Jibril waktu itu. Yang penting ajaran menuju kebaikannya banyak diikuti orang.

Dari kejauhan Jibril mulai melihat samara samar planet bumi, seperti kelereng biru bercak bercak putih yang berputar. Kangen..., kangen sekali, 14 abad bukan waktu yang sebentar. Sudah terbayang di otaknya, anak-anak kecil berlarian bermain, nenek-nenek tersenyum sambil nyusur, sungai jernih tempat manusia mandi, si kulit hitam dan si kulit putih berjalan beriringan, wanita-wanita bermata sipit bernyanyi, sungguh bumi yang berwarna-warni indah. Hmmmm Jibril tersenyum senyum sendiri seperti gila saja. Tak sabar ingin segera sampai..............Sesampai di bumi, Jibril beristirahat sejenak, di tengah padang pasir yang hanya ditumbuhi beberapa pohon itu. Mengibas-ibaskan sayapnya dan mencoba sebentar merebahkan diri. Bahagia sekali Jibril mendapat "short

vacation", bermiliar-miliar tahun sudah dia mengabdi sebagai Menteri Penerangan Semesta. Akhirnya dia bisa sedikit bernafas lega.

"Allahu Akbar, Allahu Akbar, ...." sayup-sayup terdengar suara pujian kepada Tuhan dari kejauhan. Jibril sedikit kaget, tapi dia senang sekali, misinya berhasil. Manusia masih membesarkan Tuhan, riuh rendah memuji Tuhan. Dia berdiri, dari kejauhan kelihatan beberapa puluh manusia bersorban putih bersemangat sambil mengacungkan tongkat.

Hebat..hebat..manusia ini sangat mencintai Tuhan sehingga panas-panas begini mau-maunya arak-arakan. Jibril tersenyum bangga, setelah liburannnya selesai, dia akan bisa dengan bangga memberikan laporan kepada Tuhan bahwa tugas yang telah diberikan padanya sukses berat. Tuhan mah pasti sudah tahu, tapi kalau Jibril yang lapor sendiri, tentu akan menaikkan konditenya Jibril sebagai Menteri Penerangan Semesta yang bertanggung jawab dan sukses.

Semakin lama semakin keras suara-suara manusia itu, diam-diam Jibril mengikuti mereka, sebenarnya bukan diam-diam, karena memang manusia-manusia itu tak bisa melihat Jibril, kalau Jibril menampakkan diripun belum tentu mereka kuat melihatnya, Muhammad saja sering pingsan kalau melihatnya dalam wujud asli. Teknologi yang dipunyai manusia pun belum bisa menjelajahi dimensi yang didiami Jibril.

Sampailah rombongan manusia itu di suatu kampung, rumah-rumah di kampung ini berbentuk bulat terbuat dari kayu, ternyata rombongan itu mengetuk pintu rumah yang pertama terlihat, seorang perempuan berkulit hitam menggendong anaknya keluar, tiba-tiba terdengar suara dor...dor...dor....dor....

Perempuan itu langsung roboh, darah mengalir dari tubuhnya, bahkan seorang anak kecil yang digendongnya pun berlumuran darah, ada lubang kecil di kepalanya yang mengucurkan darah begitu deras. Jibril kaget setengah mati, apa salah dan dosa ibu dan anak ini koq sampai dibunuh sedemikian rupa, yang juga membuat Jibril kaget, ternyata tongkat itu yang digunakan untuk membunuh, dan tidak perlu ditusukkan, Jibril tidak tahu alat apa lagi itu yang digunakan manusia untuk membunuh. Ah..dia ingat, bukankah dulu sudah ada tongkat seperti itu, digunakan oleh orang-orang Cina untuk pertunjukan kembang api dan akhirnya untuk senjata.

Rumah demi rumah diobrak abrik, dan semua penghuninya dibunuh. Jibril shock berat, mengapa orang-orang berkulit putih yang berbahasa Arab ini membunuh orang-orang kulit hitam ini. Galau menggelayut dalam diri Jibril, setitik airmata menunjukkan simpatinya, Jibril bergetar, dan akhirnya terbang berkeliling. Tak jauh dari situ dia melihat kendaraan aneh berwarna putih yang belum pernah dia lihat, mempunyai roda empat berwarna hitam bertuliskan UN di sampingnya. Jibril penasaran terdampar di daerah manakah dia, koq manusia begitu tega membunuh sesamanya. Darfur..., ya

daerah ini bernama Darfur, tertera di salah satu tenda yang didiami oleh beberapa wanita dan anak-anak berkulit hitam.

Jibril semakin sedih, di sebelah sana terlihat beberapa wanita berebutan air, dan di sebelah tenda seorang anak kurus menangis, mulutnya dikerubuti lalat. Jibril kecewa, dia tidak mau liburannya rusak gara-gara pemandangan ini. Dia segera terbang setinggi2nya, mencoba mencari daerah lain yang mungkin lebih indah dan damai.

Untuk mengurangi sedihnya, Jibril bernyanyi lagu klasik Yunani, sayapnya digesekan sehingga bersuara menyerupai kithara, menyanyikan lagu-lagu moral yang dianjurkan oleh Plato dan Aristoteles. Melayang-layang tak tentu arah di angkasa, Jibril berusaha lepas dari pemandangan mengerikan yang baru saja dilihatnya. Setelah dirasa agak tenang, Jibril segera berpikir untuk melanjutkan perjalanan nostalgianya. Kali ini dia tidak mau terdampar lagi di tempat yang salah. Setelah beberapa waktu berpikir, akhirnya dia memilih Jerusalem sebagai persinggahan selanjutnya.

Kota yang indah itu, kota yang disucikan oleh tiga agama besar, tempat kelahiran Yesus, tempat istana besar Solomon (Sulaiman) pernah dibangun, tempat dimana Muhammad pernah mengarahkan mukanya waktu sembahyang. Jerusalem pastilah tenang dan damai, karena rahmat tiga agama yang dibawanya. Tempat yang bagus untuk mengisi liburan singkat Jibril di bumi.

Dari angkasa, Jibril segera melesat ke bawah sedikit ke arah utara dari tempatnya semula, utara...? ah Jibril tersenyum, arah..? arah ya arah, khayalan manusia saja arah itu. Sama saja dengan batas, semesta ini tak berbatas, semakin luas malah, mengembang ke segala arah. Atau juga langit, mana ada langit, manusia memang ada-ada saja. Tapi Jibril memang maklum, sama Tuhan manusia memang dibikin tidak terlalu pinter, wong sebodoh itu saja sudah keminter, apalagi kalau dibikin pinter. Walau kadang-kadang Jibril juga sedikit protes, kenapa Tuhan menyembunyikan identitas-Nya, memberi tahu manusia cuma setengah hati, celakanya manusia sok tahu lagi.

Jibril langsung menuju bukit Zion, dimana sudah berdiri Masjid indah berkubah warna emas, Al-Aqsa. Ribuan tahun yg lalu, Haikal Sulaiman pun tak kalah indahnya. Termangu di emperan masjid, Jibril melihat-lihat sekeliling. Tenteram dan tenang, adzan berkumandang, menyambut mega kemera an di ufuk. Jibril menyempatkan diri untuk ikut sholat berjamaah dengan manusia-manusia itu. Menyelam sejenak dalam keagungan-Nya.

Seusai salam, Jibril segera terbang berkeliling, melihat dari sisi ke sisi, perubahan demi perubahan sewarna peradaban, di sebuah kota yang menjadi sumbu kepercayaan. Di pinggir kota, Jibril melihat beberapa pemuda berlarian, sambil sesekali melemparkan batu, terdengar suara riuh, dari seberangnya sebuah kendaraan besar dari besi dan beroda bergerigi panjang berjalan pelan sambil sesekali memuntahkan suara-suara mengerikan. Beberapa pemuda tergeletak berlumuran darah, teriakan Allahu Akbar bergema dimana-dimana, kendaraan dari besi itu semakin dekat dengan rumah-rumah,beberapa manusia berpakaian hijau belang-belang keluar dari kendaraan besi itu dengan membawa tongkat yang sama dipergunakan oleh manusia di Darfur. Tongkat-tongkat itu diarahkan ke rumah-rumah di sepanjang jalan itu, Jibril melihat beberapa jiwa memisahkan diri dari raga dan segera melayang-layang di sekitar rumah.

Tontonan apa lagi ini, pikir Jibril. Belum lama dia melihat manusia berteriak-teriak Allahu Akbar membunuhi manusia lain, sekarang dia melihat manusia-manusia berteriak Allahu Akbar yang dibunuh. Jibril semakin bingung terbang melesat keluar kota, mencari tahu apa yang terjadi di kota yang dianggap suci ini. Pemandangan di kota lain tidak lebih menyenangkan, kendaraan2 besar merusakkan rumah-rumah dan wanita-wanita menangis, di sebelah sana Jibril melihat tembok yang panjang berkelo-kelok dan di sisinya dihiasi oleh kawat berduri. Jibril semakin tidak mengerti, ada apa dengan manusia ini, bukankah setelah wahyu terakhir dibisikkannya ke Muhammad, seharusnya manusia membangun jembatan, bukan tembok. Membangun persatuan, bukan perpecahan.

Jibril menangis lagi, kali ini tidak hanya setetes, deras seperti hujan musim gugur, sesenggukan dia meratapi misinya, sayapnya dikepakkan tanpa ritme, menimbulkan badai gurun. Hari tiba-tibamenjadi gelap, mendung-mendung bergulung membentuk rantai menakutkan, Jibril dipanggil Yang Kuasa...

"Aku tidak akan kembali lagi ke bumi" sumpah Jibril dalam hati.

Mengulik Senja di masa silam ^^


Satu yang aku ingat dari sahabat saya yang satu ini adalah kamar dan bantal tidurnya, entah kenapa kedua entitas itu selalu menyambut tangisan saya dan dengan ajaib pula menenangkan saya. Untuk Fanisia Senja, saya tidak lagi menemukan kamar dan bantal untuk menangis seperti kamar dan bantal mu, juga mimik mukamu yang diam saja menungguku menyelesaikan tangisku. Terimakasih karena membiarkanku mengotori bantalmu dengan tangisku, seenak udelku masuk kamar mu hanya untuk menangis, lalu pergi begitu saja saat sudah lega.

Aku menemukan tulisan ini di henpunku, kau berikan padaku kira kira tiga tahun yang lalu, saat kita masih berfisik dan berverbal tanpa fesbuk. Tidak tahan rasanya menyimpannya sendiri, aku ingin membagi keindahannya pada teman2 yang lain. Tak apa ya mir??....Mari bergabung bersama saya mengulik Senja di masa Silam.

SENJA YANG TERBELAH by Mirani Fanisihan

(Part 1)

Sekian ratus perjumpaan kami adalah kemungkinan tiadanya ceria. Lingkaran hidupku dan lingkaran hidupnya adalah dua kutup yang berbeda. Kami hanya bersentuhan dalam sebuah irisan kecil masa lalu (2 menit yang lalu bagiku juga masa lalu….). Irisan yang sangat sederhana. Tapi begitulah, pertikel diam memiliki medan magnet yang lebih besar daripada yang bergerak, itu menurutku.

Dan setiap kali juga, baru sadar aku merasa berdiri di bawah kanopi kamboja, tanpa berharap sedikitpun dia memberi reaksi, padahal sungguh aku sangat ingin dia memberi reaksi. Ini sebuah persinggahan terkutuk yang pernah kualami. Pemberhentian entah yang mana yang membuat kami selalu terjaga dengan cara yang aneh untuk tetap bertahan. Gravitasi mengitari untuk tetap ada, namun tetap berjarak. Mengalir mengikuti rotasinya sendiri-sendiri.

Aku selalu menemukan keleluasaan semesta di binar matanya (namun entahlah mungkin karena sadarku tentangmu membuatku tak yakin tentang ini). Bebintang beterbangan seperti ribuan lampu merkuri di sebuah kota yang paras.

Kau mencederai pikiranku. Mengacaukan seluruh sirkulasi keteraturan yang ada, yang kumiliki. Kaulah lelaki yang selalu datang untuk memperlebar nganga luka, namun aku menikmati setiap luka itu dengan bahagia………………………

Aku ingat serpih masa lalu yang terserak di tingkap ingatan. Kita tidak pernah meniti satu jalan kebersamaan (nurani perempuanku menuntunku untuk tetap berpijak di jalanku). Kau berdiri sendiri di sudut terjaga oleh cahaya, dan aku berdiri di sudut remang yang lain, entah untuk apa. Seperti saat-saat sesudahya, tidak ada percakapan mengalir, kita berbicara dalam bahasa entah dan bercerita dalam bahasa entah. Tidak ada kata beterbangan, tidak juga pertengkaran. Dan sensasi yang membawaku padamu, bukan buat menyapa. Aku bisa merasakan tatapanmu melewati jantungku…....................

Will be continue

Malam minggu, 26 Oktoberber 2008 jam 7.30 pm.

By Senja

Senja yang terbelah

Part 2

Mungkin aku salah……………….

Tapi sekian ratus pertemuan, membuat aku mengenali isyarat paling sederhana sekalipun dari bola matanya, meski aku jarang sekali bertatapan dengan binarmu………..

Kucoba mengurai setiap tatapan seperti matahari mengurai titik air menjadi spektrum, menjadi bianglala yang saat ini sedang kulihat seorang diri……(karena ku yakin tak akan pernah menikmati senja bersamanya…huh…….)

Ya…barangkali aku salah jika kukatakan…..aku menyukaimu….ups! Jangan menatapku seperti itu. Tapi dengarkan aku, ini sebenarnya sederhana saja, meskipun akan menjadi sebuah awal bagi ketololan yang lebih besar. Kita berada dalam sebuah gelombang elektromagnetik yang sama, kau boleh tidak setuju dengan ini, tapi dengarkan dulu teoriku!! Gelombang menguar dari hati, mengatasi tubuh, beresonansi di udara terbuka dan mencapai membran hatiku. Jangan katakan apa-apa, cukup tatapan mata yang serupa gemericik air di bebatuan di awal perjalanan dalam sebuah perjumpaan.

Kita berada di semesta kebohongan, semesta dusta, merenanginya seperti suka cita kita terhadap haus.

Aku sadar bagaimanapun juga, aku selalu berharap kedatanganmu…ya hanya kedatangan tak lebih seperti berharap pagi yang selalu datang menyapa. Kau adalah batas diri dan batas lelahku. Hidup bukanlah hitungan matematis, hitungan di atas kertas, karena seringkali kenyataan berbicara tak seindah yang kita bayangkan. Dan aku yakin, kau melakukan yang perjalanan sama dalam sunyimu, perjalanan yang tak terpahami dalam benakmu….

26 Desember 2008

By Senja

Rabu Pagi di TLOGOMAS : Indonesian Land


Perempuan seperti saya ini dijamin bernasib sial berkepanjangan jika dikaitkan dengan urusan cantik ala Marlyn Monroe. Semenjak kecil dulu, tak pernah ada sejarah bercerita bahwa saya ini berbadan kurus, pengalaman overdosis pun yang disebabkan karna ibu saya terlalu bersemangat mencekoki saya paracetamol tak sanggup lah mengentaskan saya dari kesialan itu. Atau mungkin kelebihan paracetamol yang kemudian mendukung kesialan itu. Ditambah lagi filosofi makan yang diajarkan bapak saya pada saya, beliau berkata seperti ini “Makanan itu adalah rejeki, sikap kita padanya adalah cara mula untuk belajar mensyukuri rejeki itu, jika kau sukses dalam test awal itu, maka Tuhan tak akan pernah sekalipun melupakanmu dalam perihal pembagian rejeki”, pendek kata, bapak saya akan merangkum khotbah mautnya itu hanya dalam dua kata “Habiskan Makananmu!!”. Tak pernah bapak saya bernasihat begini, “sudah, kalo tidak kuat tidak usah dipaksakan”, alih alih memahami perut yang sudah sesak bernafas, beliau malah akan berujar dengan tegas, mata berkilat kilat, sambil memegang tusuk gigi dan mengabsen selilit di tumpukan giginya yang bergundalan kesana kemari, “Habiskan Makananmu sampai sehabis habisnya, bapak tunggu sampai kiamat sekalipun” (dialog beliau setelah saya gubah). Kejadian itu sering terjadi di restoran yang menunya tidak bisa di setengahkan, jadilah saya tersiksa dalam kenikmatan. Dunia itu memang suka aneh, bagaimana mungkin merasa tersiksa dalam kenikmatan?, yah, kenikmatan karna saya memang suka makan, tersiksa karna mulut masih ingin mengecap tapi perut sudah menolak dengan posisi bertahan ala Leonidas, the king of Sparta yang memimpin perang melawan Xerxes dari persia di himpitan tebing Thermopylae. Filosofi hidup satu lagi yang diturunkan ayah saya, “Tak apalah ndut, yang penting sehat”, nah itu dia, biasanya orang orang dengan tubuh lebih dari proposional malah digemari penyakit, yang hipertensilah, jantung, asam urat, sampai bau asam. Tapi untunglah, dalam sejarah penyakitan, saya ini clear, bersih, satu satunya penyakit yang rajin menyambangi saya hanya flu dan sariawan. Ada alasan kenapa permpuan seperti ini bernasib sial berkepanjangan jika berurusan dengan cantik ala Marlyn Monroe, sepertinya sejak sudah ditiupkannya roh saya dalam rahim ibu saya, Tuhan sudah sekalian bersabda bahwa saya tak pernahNYA ditakdirkan untuk kurus. Ibu saya sampai heran berkepanjangan, kenapa saya tak jua kurus, padahal kegiatan saya seabrek, belum lagi ditambah puasa sunnah saya setiap Senin dan Kamis, lalu berenang setiap Rabu dan Jumat pagi, setiap hari meminum teh hijau, pola makan saya juga tidak bisa dikatakan spektakuler, walupun memang pada dasarnya saya suka makan. Pernah ketika mengerjakan tugas akhir, saya kerap lupa makan, tidur selalu pagi, ujung ujungnya kolaps karena asam lambung saya naik sekitar tiga strip diatas rata rata, tiga hari saya tidak bisa makan dan minum, muntah terus kerjanya, sampai akhirnya di infus sebagai jalan keluar terakhir. Fantastis, berat saya turun drastis, tapi tetap tidak bisa dikatakan kurus, namun cukup puaslah saya dengan angka itu, 48, angka tercantik yang pernah saya temui, didapat dengan pesakitan pula. Tak bertahan lama tentu, hanya dalam hitungan minggu saya sudah mulai tembem lagi. Kata mamakku, yang bermasalah adalah pikiranku, beliau bilang, kalau ingin cepat kurus, berpikirlah yang dalam, macam orang depresi itu, lupalah kau akan makan, kalaupun makan, entah hilang kemana itu makanan, berlakulah kau macam orang gila, depresilah, kuruslah kau pasti nanti. Disitu masalahnya mungkin, saya ini tipikal orang yang easy going kata orang bule, apa dikatalah, masalah itu bukan untuk dipikir dan ditekur, tapi diselesaikan, tak betahlah aku berlama lama dengan yang namanya masalah. Saat sudah mulai beranjak dewasa, sikap easy goingku yang cenderung cuek sampai acuh ini terkadang menyelamatku dalam berbagai hal, tapi juga sebaliknya. Saya tidak pernah sedikitpun terpengaruh dengan WRP dan Citra body lotion, atau produk produk konsumtif lainnya yang menuntun perempuan berlaku cantik ala Marlyn Monroe, badan langsing, kulit putih, dada bengkak, pantat mengintimidasi, bibir berminyak, pipi merah, bulu mata bak kemoceng bulu ayam. Saya terbebas dari permaknaan cantik fisik yang suka menyiksa teman teman perempuan saya yang pontang panting mengejarnya, hanya dengan 50ribu kulit wajah seputih porselen, dengan 200rb rambut lurus macam papan, dengan 15rb perut rata setelah seharian bolak balik kakus sebanyak dua puluh kali. Namun memang, mereka tampak memukau, gemas aku dibuatnya, apalagi para lelaki, mereka sudah seperti berbie di taman ria, mulus, semlohai, dan mahal. Sedangkan aku, masih, tembem, buluk, dan murah..haha..oh dunia, apa yang kau perbuat pada kami ini??. Sabda bapakku ini bisa dibilang luar biasa, begini beliau bilang “ Kamu itu istimewa, tak perlulah mencoba menjadi orang lain, just be yourself ajah” (setelah saya gubah tentunya), jika berurusan dengan lelaki, ternyata saya tidak sesial itu juga, adalah beberapa teman pria yang menganggap saya istimewa terlepas dari cantik WRP dan Citra Body Lotion (Dibaca : Langsing dan Putih). Namun jika ada diantara lelaki yang beranggapan bahwa akan mulai melirik saya setelah saya kurus, saya jamin, kiamat pun takkan pernah kalian dapat itu. Maka, pria pria seperti bapakku lah yang mungkin akan menganggap saya istimewa, bapakku itu nomer satu di seluruh dunia, dunia manapun itu, dunia bagian tengah, bagian timur, barat, selatah, dunia atas bawah, dunia sadar dan tidak sadar, sampai dunia jin, bapak saya nomer satu di seluruh dunia apa saja.

Apa urusannya dengan Tlogomas?, begini, sudah dua bulan saya di malang. Bekerja lah judulnya, tapi pada nyatanya, tugas mulia saya masih sebatas absen saja. Padahal, setiap hari saya hanya membeli satu bungkus nasi, saya memakannya dalam dua sesi, siang jam 1, dan setengahnya lagi sore jam lima, malamnya saya hanya makan pisang, namun, setiap kali saya pulang, komentar bapak saya begini, “tambah tembem aja kamu mbak?, ayo dijaga makannya, biar gak kelewatan”, heh?, bapak, tidak ingatkah kau pada sabdamu dulu?, habiskan makananmu, ta apa tembem asal sehat, heleh,,sakit hati aku dibuatnya, belum lagi usahaku untuk mengatur pola makan, sehari hanya makan satu nasi bungkus dengan porsi nasi yang sudah disetengahkan, jika disendokka, saya hanya makan delapan sendok perhari, plus segelas susu, dan dua sisir pisang, dan bapak saya tega teganya mengatakan saya tambah tembem, seperti tertusuk sembilu rasanya. Akhirnya, pagi ini, saya mendapat pencerahan, saya harus mulai berenang lagi, aktivitas ini sempat terhenti saat saya mengalami kecelakaan dan kaki saya dijahit empat. Tlogomas: Indonesia Land, dekat sekali dengan kosan saya, sedekat mata dengan hidung (jangan percaya), tapi memang dekat. Pagi pagi saya berangkat, saya merencakan akan berenang seminggu tiga kali, namun pupuslah rencana itu saat saya tau tiket masuknya 15rb, jika tiga kali seminggu saya menghabiskan 45rb, dikali empat maka jumlah akhirnya adalah 180.000. Saya bisa mabuk laut dengan posisi di darat kalau begini jadinya.Kalu di jember, duit itu bisa untuk berenang setengah tahun. Saya ini mahir berenang, olahraga favorit saya memang, saya selalu suka berenang, kata para ilmuwan, berenang melancarkan peredaran hormon endorfin yang menyebabkan perasaan senang. Empat jempol buat ilmuwan itu. Saya hanya bermasalah pada tempo, tempo saya berenang seperti medley lagu rap dan lagu rohani, cepat, lambat, cepat, lambat, cepat, lambat dan akhirnya kolaps, ngos ngosan di pinggir kolam, berenang gaya punggung yang berakhir dengan ketiduran. Tapi tidak pagi ini, saya mengisi perut dulu dengan segelas susu rendah kalori, sangkit bersemangatnya melihat kolam dengan air yang biru turqouise, saya memilih tempo lagu rap dengan jarak panjang bolak balik dua kali putaran, lalu ngos ngosan di pinggir kolam, pusing tujuh keliling, tiduran dengan gaya punggung, bangun karna kepala saya menabrak dinding kolam. Lalu saya memutuskan untuk mentas, tak tertahankan sudah pusingnya. Saya berkeliling, saya masih ingat, ini kali kedua saya berkunjung kesini, kali pertama saat saya masi kelas satu SD mungkin. Tempat ini rasanya besar sekali, sebenarnya 15rb tidak bisa dikatakan mahal, karena selain kola renang, tempat ini juga dilengkapi dengan lapangan tenis indoor, food court, resort, taman bermain dan belajar, ada beberapa patung dinosaurus, naga, srikandi dengan busur dan kaki melutut yang lebih tampak seperti pose seorang model daripada seorang pahlawan perang. Kolam teratai dengan bunga warna pinknya yang menggemaskan, kolam untuk sepeda air, ayunan disana sini, papan luncur warna warni. Ah..senang rasanya mengenang masa kecil lalu, saya berenang seharian sampai hidung saya merah dan bibir saya biru kedinginan, lalu makan indomie goreng berdua dengan adik saya. Berenang lagi, satu ban diisi saya dan adik saya, lalu di dorong oleh bapak saya, ibu saya di pinggir kolam sambail melambai lambai dan tersenyum senang. Ahkk..betapa masa itu sudah berlalu, walau bagaimanapun sudah terpetaklah ia di lobus kiriku, sewaktu waktu menyeruak dan mengangetkanku untuk hanya sekedar mengajakku tersenyum mengingat masa kecil dulu. Cukup tersenyum, dan aku yakin Tuhan tau aku berterimakasih..^^. SELAMAT HARI RABU

Tribute to those specials (jiwa jiwa yang membuatmu enggan mati muda)....^^


Saya 24 tahun, bukan sesuatu yang special, karna bukan perak, bukan perunggu dan bukan emas. Tapi yang pasti, hari raya tahun depan saya akan punya jawaban lain saat saudara saudara tua bertanya, "kapan menikah?". Saya dapat hadiah yang manissss sekali di hari ulang tahun saya, tentu saja selain tugas kantor yang mengharuskan saya berkutat dengan 16000 kertas dan plastik. Keluarga baru saya meredefinisi permaknaan rumah, ya...saya akhirnya menemukan sebuah rumah. Rumah yang bukan imajiner tapi konkrit, rumah yang tidak perlu hak huni dan bangun, rumah yang memberanikan saya untuk selalu menghuni. Rumah yang saya sebut persahabatan.

Saya mendapat hadiah nunutan dari Ajeng, karib saya di Jember. Hadiah nunutan, karena sebenarnya hadiah tersebut bukan untuk saya, melainkan untuk mbak Ayun yang berulang tahun sehari sebelum saya. Hadiah itu merupakan sebuah narasi singkat tentang mbak Ayun yang berhasil melewati usia keramat, 27 tahun dan dengan sukses memasuki usia 30 tahun. Menengok tulisan Ajeng itu, maka saya masih akan menantikan tiga tahun mendatang untuk melihat apakah saya akan bernasib sama dengan Amy Winehouse yang menutup usia di angka 27, atau akan panjang umur seperti ratu Elizabeth yang terseok seok melambailan tangan keriputnya. Apapun yang terjadi pada saya nanti, saya berterimakasih kepada Tuhan dan karib karib saya karena telah menyambut saya dengan kehangatan matahari jam sembilan pagi.

Karena hadiah saya adalah nunutan, dan karena hadiah itu merupakan sebuah narasi yang bukan menarasikan saya, maka saya akan menghadiahi diri saya sendiri dengan sebuah narasi. Sekaligus merupakan sebuah tribut untuk teman teman yang membuat saya enggan mati muda.

Saya masih ingat betul sekitar empat tahun yang lalu, saya menulis sebuah tulisan yang berjudul A nu Day, always a nu day. Bercerita tentang kesadaran sekaligus kekawatiran saya sebagai budak waktu. Saya kawatir jika pada usia produktif, saya malah akan membuang buang waktu dengan nonton gosip dan menghafal chart musik karena aplikasi lamaran saya belum juga mendapat balasan. Saya menulis untuk mengingatkan setidaknya diri saya sendiri bahwa waktu sesungguhnya Tuhan dalam bentuk materi abstrak yang menentukan mau dibawa kemana hidupmu। Sekali kamu tak bertegur sapa dengannya, selamanya akan dibawanya kamu ke dunia antah berantah dimana kau lupa segala galannya pun namamu sendiri, dan sebagai pledoi penutup hidup, mengutiplah kau apa kata Charil Anwar, sekali berarti lalu mati.

Tulisan saya itu (seperti tulisan tulisan saya yang lain yang selalu konsisten untuk tidak konsisten), pada akhirnya menemukan takdirnya sendiri untuk tidak lagi bercerita tentang kekawatiran menjadi budak waktu, namun bercerita tentang kenikmatan menjadi budak waktu dengan berkhayal menyusun cita cita.

Cita cita awal saya adalah menjadi seorang Public Relation, yang artinya Humas jika dalam proposal kepanitian pentas seni SMA, dan yang ternyata dalam prakteknya lebih dekat dengan marketing, yang kalau ditarik dalam peyorasi tingkat rendah disebut juga sales, yang kalau mau di runtuhkan lagi harga dirinya disebut penjaja kata. Ah..sejujurnya, sampai sekarang pun saya belum juga tau jelas tentang definisi PR, hanya saja bagi kuping saya dua kata itu tetap menarik. Keinginan itu terinjeksi oleh majalah perempuan yang selalu dibeli ibuku dengan roman roman prancisnya yang selalu bercerita tentang perempuan perempuan cantik yang bekerja berkeliling dunia lalu bertemu pangeran pujaan, memiliki kisah cinta yang unik dan khayali, lalu menikah dan happily ever after. Sayangnya, cita cita ini kandas di ujung kaki saya yang panjangnya tak lebih dari 152 cm. Tapi lintang kecil tidak menyerah, bergegaslah ia menyusun cita cita baru, kali ini ia bercita cita sebagai desain interior hanya karena ibunya berkata bahwa ia cukup pandai menata kamarnya (padahal mungkin ibu mengatakan ini agar ia rajin membereskan kamar). Semangatlah saya untuk menyusun rencana menjadi desain interior, namun lagi lagi pupus sudah cita cita itu setelah ibu saya memarahi saya habis habisan karena kamar saya seperti kapal titanic setelah menabrak gunung es. Sekali lagi, tidak lah saya menyerah, cita cita saya selanjtnya adalah menjadi arsitek, hal ini karena saya gemar membaca salah satu rubrik tentang konsultasi rumah dalam sebuah majalah perempuan milik ibu saya. Niat saya bukan hanya dimulut, kali itu saya juga mengimbanginnya dengan bergabung dalam kelompok siswa matematika fisika, sayangnya, kukabarkan hal buruk lagi padamu kawan, saya hanya bertahan selama dua minggu dalam kelompok itu dan dengan pasti cita cita saya menjadi arsitek layu sebelum berkecambah karena sudah dipastikan nilai fisika dan matematika saya akan berhenti di angka 6 sebagai hasil maksimal. Lalu saya bercita cita lagi sebagai guru, sebagai imbas membaca buku habis gelap terbitlah terang tulisan seorang perempuan hebat dari Jepara. Tak perlu lah kujelaskan mengapa aku urung melanjutkan cita cita ini, namun aku sempat menyesal telah mengkandaskannya setelah tau bahwa ada istilah baru bernama sertifikasi. Cita cita saya yang sebenarnya tidak pernah berubah adalah bisa travelling kemanapun dan bertemu beraneka macam manusia.

Umur 21 saya memulai belajar bekerja, pekerjaan pertama saya adalah menjadi seorang tour leader. pekerjaan yang bisa dibilang sangat menarik, saya bisa mengunjungi berbagai tempat dengan gratis dan dibayar pula, walau bukan jarang saya kena semprot dan dimarah marahi karena sesuatu hal, dan bukan jarang pula saya mendapat senyum ramah dan pelukan hangat. Cita cita saya untuk bisa travelling sedikit terwujudkan. lalu pekerjaan kedua saya adalah menjadi surveyor pertamina dalam program konversi gas. Saya diharuskan berkeliling dari kampung ke kampung mendata penduduk yang berhak menerima bantuan kompor gas, dari sana saya mengetahui bahwa di belakang gedung megah di kota saya, masih banyak rumah rumah tanpa jendela yang terpaksa hidup dalam kepengapan dan kegelapan absolut. Ada seorang nenek yang sudah berusia sekitar 60 tahun, mata kirinya sudah berwarna abu abu tanda katarak. Ia hidup hanya berdua dengan cucunya yang berumur 4 tahun, bercerita padaku bahwa anaknya bercerai dan sekarang mengadu nasib sebagai TKI. Beliau berjualan kayu bakar dengan penghasilan lima ribu perhari (yang sayangnya juga tak tentu), lampu teplok dari kaleng bekas dan kain yang dicelup dalam minyak gas hanya satu satunya harta selain foto anaknya yang terbingkai dalam frame usang 4 x 6. Memikirkan bagaimana nenek dan cucu ini masih bisa hidup dan tertawa saja saya bingung, iya, masih bisa tertawa dengan segala keterbatasan. Lalu saya bertanya pada diri saya sendiri, bisakah kompor dan gas menolong si nenek?. Tetap dalam diam, saya menulis namanya, tanggal lahirnya yang saya karang dan kira kira sendiri (beliau lupa), juga tanda tangan yang juga saya karang sendiri. Saya bilang pada si nenek bahwa ia akan dapat kompor dan gas, tapi nanti jika ia sudah dapat, bolehlah di jual, dan tetaplah memasak dengan kayu bakar. Ternyata, konversi gas bukanlah jawaban. Dari pengalaman itu, saya ingin lebih sedikit berati, bekerja di sebuah lembaga sosial yang bisa meringankan beban sesama walau hanya sedikit. Cita cita ini hampir terwujud, tinggal selangkah lagi, namun ketika saya berdoa dengan intro "ya allah, jika perkara ini baik untukku, maka jadikanlah, jika tidak maka hindarkanlah"....cita cita ini malah tidak terwujud (belum tepatnya). Pekerjaan saya selanjutnya adalah menjadi guru di sebuah lembaga belajar, tidak ada yang special selain mengetahui bahwa anak anak jaman sekarang cepat sekali besarnya. yang selanjutnya saya mencoba peruntungan menjadi wiraswasta, membuka kafe kopi dengan dana hibah sebesar 30 juta. Satu tahun penuh saya dan keempat teman saya bergadang berjualan kopi, hingga malam hari saat di tangan saya bersandar nampan beserta kopi diatasnya, saya bertanya lagi pada diri saya sendiri, "benarkah kau belajar bahasa inggris, mengenal Kierkegard dan menghambai marxist pada sesuatu hal hanya untuk berjualan kopi?". Yah,, kesadaran itu membawa saya pada keputusan untuk tidak lagi berjualan kopi dan kembali berkutat dengan skripsi saya hanya untuk tambahan S.S dibelakang nama saya. Itu saat saya berumur 22 tahun. Jika umur 21 tahun menghadiahi saya sebuah semangat untuk membentuk sebuah kehidupan, maka angka 22 menghadiahi saya bahwa hidup tidak hanya butuh semangat, namun juga keringat.

Hadiah tahun lalu saat saya berumur 23 adalah ayah sakit dan beliau harus di operasi. Saya sangat ketakutan, tapi tak mungkin dan tak boleh kawatir, untuk ibu dan adik saya. Saya tak tau harus bercerita pada siapa tentang ketakutan saya, akhirnya saya hanya menangis dibawah shower hampir lebih dari satuu jam. Ayah saya sembuh, saya lega, ibu saya senang, adik saya gembira. Usia 23 menghadiahi saya sebuah kesadaran bahwa kehidupan bisa hilang kapan saja, menghadiahi saya sebuah kesadaran bahwa sebagai anak pertama saya berkewajiban untuk matang baik pikir maupun laku. Harus bisa menjadi sandaran kapanpun dan dimanapun bagi keluarga saya. Sebuah kesadaran bahwa saya tidak lagi gadis kecil dengan fairy talenya.

Tahun ini, saya melewatkan moment 24 saya di kota malang. Merindukan serangan tengah malam dengan kue tar dan lilin berangka yang digawangi gadis gadis DT 47 lalu mencoreng coreng muka dengan tar dan memakannya dengan mata yang mengantuk. Tahun ini saya melewatkan moment 24 saya dengan 16000 kertas dan plastik, serta kehangatan dari rumah baru saya, dua buah tar mungil, empat buah bros manis, dan sebuah jilbab cantik. Dan masih merindukan rumah Jember saya, jalanan yang ramai, ketan ayu dengan sate atinya, wedang cor dengan tempe gorengnya, mbah tin dengn jilatan ludahnya di dahi saya, tawa renyah dan asap rokok yang tak pernah menyesakkan.

Angka 24 menghadiahi saya sebuah kesadarn bahwa rumah adalah dimana engkau diterima dan menerima, bersama mennggarnis kehidupan dengan hidup itu sendiri, dan tak pernah berhenti untuk saling mengerti.

Angka 24 menghadiahi saya sebuah kesadaran bahwa kandasnya satu mimpi bukan berarti menghalangimu untuk bermimpi lagi dan lagi.

Angka 24 menghadiahi saya sebuah kesadaran untuk sekali lagi bersyukur karena diberikan rumah yang nyaman.

Dan,,

Angka 24 menghadiahi saya sebuah kesadaran bahwa saya masih punya PR untuk mencari jawaban sebuah pertanyaan di hari raya nanti,, "Kapan Menikah?"

Trimakasih buat Rumah indahnya ^^

Monday, March 26, 2012

A Tribute to my b’loved brader


Saya masih ingat betul masa kecil saya dan adik saya yang hanya berjarak dua tahun. Kami memiliki karakter yang berbeda jauh. Saya memiliki maskulinitas yang lebih banyak daripada adek saya, namun bukan bearti adek saya memiliki sifat2 feminin yg lebih banyak. Hanya adek saya ini super duper pendiam. Saat kami masih sama sama belum sekolah, kami seperti perangko, liburan pun tak mau dipisah. Jika saya ke sidoarjo, adek saya pasti akan minta ke sidoarjo, begitupun jika saya ke bojonegoro. Adek saya ini super duper rapi, dulu sebelum jam empat sore, dia pasti sudah merengek minta dimandikan, lalu dipakaikan baju dengan krah dan dimasukkan plus ikat pinggang, dan duduk manislah ia di depan televisi menonton scooby doo. Sedangkan saya, jangan harap menemukan saya dirumah sebelum magrib, saya pasti masih berkeliaran di sawah mencari keong, di lapangan maen kasti, atau masih di jalanan ngontel sepeda. Saya ini dulu, walaupun sayang sekali dengan adik saya, sering berbuat kriminal terhadapnya. Pernah saya paksa ia keluar ikut saya main ke lapangan, sampai ke lapangan saya acuhkan dia, hingga tiba tiba dia jatuh ke selokan yang penuh dengan perdu serupa putri malu yang durinya menancap di sekujur tubuhnya. Dengan semenamena saya tarik dia, saya pulangkan ke orang tuanya, dan saya kembali bermain tanpa menghiraukan tangisannya. Belum lagi saat dia saya takut takuti dengan tombakkiai pleret, menangis saja dia sampai habis suaranya. Sampai saat saya ajak dia sembunyi di kamar ketika orang tua kami datang, kamar ini memiliki dipan bertingkat, karena iming iming buah pir dari ibu saya, adik saya melanggar rencana saya untuk sembunyi dan pura pura menghilang, ia turun terburu dari dipan bertingkat dua hingga ia jatuh karna luput menginjak tanah. Saya menangis karna ketika saya coba bangunkan adik saya berkali2, tak jua ia merespon. Itu kenakalan terkhir saya yang saya sengaja, untunglah adik saya ini baik2 saja.

Saking diamnya, adik saya ini membuat orang orang penasaran. Wajahnya manis, ganteng, siapa saja yang melihat kami berdua berjalan bersama, pasti perhatian akan tertuju pada adik saya, hilanglah saya seperti roh gentayangan yang tidak dilihat orang namun bisa melihat orang. Adik saya ini benar benar membuat orang orang simpati, selain pendiam, penurut, ganteng, rapi, adik saya ini juga pintar. Saya seringkali iri, iriiiiiiiiiii sekali. Tiba tiba saja suka jahati dia, cari masalah ini itu, sudah kayak di sinetron itu. Sampai adik saya sakit demam berdarah, di tahun itu, tahun 1992 kalau tidak salah, Demam Berdarah masih di anggap sebagai penyakit yang berbahaya. Adik saya dirawat dirumah dengan diagnosa tifus dan diberi obat tifus selama seminggu. Badannya kurusssss sekali, setiap pulang sekolah saya sempatkan ke kali untuk mencari ikan jibut, sejenis ikan kali yang ekornya berwarna warni, menaruhnya di plastik, lalu menghadiahkan untuk adik saya. Saya pindah ikan ikan jibut itu di sebuah toples bekas astor, dan menaruhnya di sebelah kasur tempat adik saya tidur, saat terbangung, matanya mengerjap ngerjap bersemangat melihat ikan dengan buntut warna warni itu. Ibu saya malam malam menangis, saat tahu bahwa adik saya di diagnosa demam berdarah, beliau berdoa untuk kesembuhan adik saya sekaligus mengutarakan keikhlasan beliau jika adik saya tidak lagi berumur. Saya mendengarkan saja, dan menangis dalam diam, betapa irinya saya dengan adik saya, saya sayang dan tak ingin kehilangan dia. Tak apa saya iri seumur hidup, asal adik saya sembuh dan sehat kembali, doa saya waktu itu. Itu cobaan terberat bagi keluarga kami, setiap kali pulang sekolah, saya kerumah sakit, membacakan dia serial donal bebek dan paman gober, membantu memagang kakinya setiap kali suster mengambil darahnya, mengupaskan buah pir kesukaannya. Syukurlah adik saya sembuh, walaupun penyakit ini masih sering menyambanginya di tahun tahun berikutnya, namun tidak separah yang pertama.

Adek saya ini, walaupun lelaki, tapi lebih rapi daripada saya. Pikirannya tertata, tidak seperti saya yang mengandalkan 'apa kata besok', adik saya selalu 'punya rencana untuk besok'. Adik saya tahu benar apa yang di inginkannya dan apa yang baik buat dia, lagi lagi, tidak seperti saya yang suka bilang 'liat nanti aja'. Itu dulu, saya selalu mengira adik saya akan kuliah di jurusan HI, atau Informatika. Dia akan bergaya necis dengan baju krah dan jeans plus snearker, tidak lupa parfum yang wangi dan gel rambut, lalu lulus kuliah, kerja di sebuah perusahaan asing yang kemudian menobatkan dia sebagai employee of the year. Lalu foto manisnya akan terpajang di majalah Chic di rubrik jualan tampang dengan nomer tilpun, motto, dan tipe gadis pujaan. Lalu dia akan menikah muda, punya istri sosialita, anak dua yang unyu unyu, rumah di tengah kota dan mobil keluaran terbaru. Hem, bagus bukan imajinasi saya tentang adik saya. Yah, yang namanya imajinasi tentu saja bukan kenyataan, karna kenyataannya, adik saya masuk jurusan seni, desain produk, rambut gondrong, badan gemuk, kumis dan brewok meliar seperti sadam husein, badan bau kecut, pake kaos oblong plus jeans blawuk'en, sepatu yang sudah jebol sana sini, ngontel fixie kebanggaannya, tinggal di kontrakan yang berantakan plus bauk. Namun kecemerlangannya tetap tidak luntur, IPKnya berkepala 3, finalis beberapa lomba desain, menang PKM dengan proyek mainan anak tra la la lanya, sudah pintar cari duit pula. Sayangnya saya hanya ditraktir tiket pulang Mutiara Timur. Wahh...adik saya sudah besar sekarang, tidak bisa lagi kukempit kepalanya di ketiakku, atau kuciumi pipinya saat ia terlelap, atau kuhibur dengan ikan jibut berbuntut warna warni kala ia sedih, atau kutakuti dengan tombak kiai pleret saat dia nakal, atau ku ajak nonton scoby doo. Bagaimanapun, saya bersyukur punya adek seperti kamu @Alies Bayu, tetap jadi Bayu kami yang pintar, sopan, baik, berbakti pada bapak ibu, sayang sama keluarga, tak apa walau kamu masih tetap cuek, bauk, jelek, item, endut, suka tidur, suka makan. You will always be my little brother....Luv you in every way bro...

Semoga kamu bisa lulus dengan baik, bisa ke jepang, desain mobilmu bisa jadi mobil beneran, ketemu cewek cantik lahir batin yang sayang sama kamu dan tahan sama kecuekan dan kebauk anmu, bahagiain bapak ibuk (plus aku lo yo?), pokok intinya, tercapailah cita citamu...aye??..

Sunday, March 25, 2012

Membaca Nasib


Interlude

Saya masih ingat jelas saat bapak saya memarahi saya habis habisan gara gara saya gemar sekali membaca ramalan zodiac di majalah Femina, majalah ibu saya. Bapak saya bilang itu syirik, tak baik mengira ngira takdir hanya dengan membaca ocehan redaktur gila yang mungkin menulis ramalan sambil ngupil. Namun, pemahaman saya yang waktu itu masih memilih tidak paham, cuek saja setiap kali bapak saya marah. Saya hanya akan menutup majalah Femina itu, lalu memberikan waktu saya sepenuhnya untuk di marahi dengan muka yang datar, begitu bapak pergi, saya akan menyeduh kopi instant, menyusun bantal di sofa sambil mencari posisi paling nyaman sedunia, dan kembali membaca takdir saya selama seminggu kedepan yang ditulis oleh redaktur gila suka ngupil tadi. Kebiasaan membaca ramalan zodiac itu memang mencandu, jika kamu kopiholik, ato rokokholic, ato ganjaholic, ato mungkin ngupilholic (seperti si redaktur tadi), maka saya Zodiakholic. Saya tidak akan malu malu membaca rubrik Zodiak secara gratis saat saya melewati kios kios Koran di pinggir jalan seiring jalan saya pulang. Bukan Cuma 1, hampir semua majalah remaja saya kulik satu persatu dan membaca bagaimana nasib saya satu minggu kedepan. Begitupun di setiap senin sore, maka saya akan menunggu ibu saya pulang, memeriksa tas beliau, dan membuka majalah Femina. Lalu membuka kolom Zodiak, maka akan ada 2 zodiak yang saya baca, yang pertama Zodiak saya yang berlambang perempuan, yang kedua adalah Zodiak teman lelaki yang saya suka. Satu hal yang saya heran, walaupun berbeda bahasa, hampir seluruh ramalan Zodiak itu akan menyampaikan hal yang sama, misalnya ” Pastikan Anda tidak membiarkan diri Anda mengalah. Jagalah diri mu sendiri dan kesehatan fisik dalam pikiran Anda. Makan dengan baik dan jangan tergoda. Keuangan : Hidup Tenang, Asmara : Fatal, Pasangan Tidak Serasi : Aries, Leo, Libra, Aquarius, Pasangan Serasi : Cancer, Taurus, Virgo, Scorpio, Pisces, Hari keberuntungan : Kamis.”

Jika saya mencoba menterjemahkan ramalan si tukang ngupil, maka saya harus bertapa dan pergi ke psikiater jika ternyata pikiran saya tidak sehat(jagalah kesehatan fisik dalam pikiran anda), puasa dan diet (Makan dengan baik dan jangan tergoda), tak perlu mencari pekerjaan sampingan seperti menerjemah atau menulis artikel online (dompet dalam keadaan aman terkendali), dan mempersiapkan cara termanis untuk bunuh diri, tidur di rel kereta misalnya, karna asmara saya fatal, serta menanyakan “zodiakmu apa ?” pada kencan pertama untuk menghindari para pria berbintang aries, leo, libra dan aquarius, dan minta diajak nikah 2 tahun lagi jika saya bertemu pria berzodiak cancer, taurus, virgo, scorpio dan pisces, serta berharap agar hari kamis tidak berlalu dan memilih tidur sampai hari kamis berikutnya datang.

Tabloid POSMO dan Cerita tentang Gunung Kawi

Bapak dan ibu saya, beliau berdua adalah orang tua nomer satu se-alam semesta. Beliau mengajarkan kepada kami bagaimana menjadi manusia yang baik dengan cara yang benar, tidak hanya dengan tutur, namun seringkali dalam perbuatan. Bapak saya mengajarkan kami pentingnya mengaji, menjaga sholat dan menghormati orang tua, tidak dengan tutur, namun bapak akan selalu menyempatkan tiap minggu untuk mengunjungi mbah saya di Sidoarjo betapapun capeknya beliau. Kadang dulu saya seringkali berpikir, untuk apa ke Sidoarjo setiap minggu, ketika disana pun kami tidak melakukan apa apa, hanya pindah tidur dan pindah makan. Kenapa tidak sebulan atau tiga bulan sekali misalnya, (ini salah satu factor kenapa saya tidak pernah kencan di malam minggu, melainkan malam Jum’at, sudah seperti orang cari pesugihan saja memang). Namun bapak bilang, menyenangkan orang tua itu pahalanya besar, sudah itu saja, tanpa titik koma. Di kemudian hari (maksudnya hari hari sekarang), saya pada akhirnya mengerti apa yang dimaksud pahala itu. Sedangkan ibu saya memperkenalkan kami budaya membaca, pernah suatu ketika ibu bilang bahwa cita-cita beliau sebenarnya adalah menjadi ahli sejarah, namun entah mengapa nyasar menjadi akuntan. Majalah pertama yang dibelikan ibu (khusus) untuk kami adalah Donal Bebek. Inilah jawaban mengapa saya selalu merasa pernah membaca karya karya sastra legendaries sebelumnya, seperti The Old man and the Sea karya Hemmingway atau Journey to the Center of the Earth nya Jules Verne, kedua karya besar itu di adaptasi sedemikian rupa oleh Disney dan dimainkan dengan apik oleh Donal Bebek dengan formasi lengkapnya, Kwak, Kwik, Kwek serta Paman Gober. Selain bacaan yang dikhususkan untuk kami, saya juga seringkali membaca bacaan yang bukan untuk saya, majalah Femina misalnya. Saya mengenal istilah wanita karir ya dari situ, juga cita cita pertama saya juga dari situ, yaitu ingin menjadi PR (di baca : Pi Ar, voiceless R), Public Relation*. Nah, bersamaan dengan majalah Femina, ada juga majalah Hidayah juga tabloid POSMO. Majalah HIDAYAH banyak menceritakan tentang agama dan (yang sebagaian besar) momoknya. Majalah ini ditujukan bagi anda anda yang belum mendapat Hidayah, atau seseorang dengan nama Hidayah, atau seseorang yang lagi naksir seseorang yang bernama Hidayah, atau seseorang yang sedang mencari Hidayah. Saya, hampir tiap minggu membaca majalah ini, rubric yang disediakan pun menarik, ada yang tentang sejarah hadis, terjemahan Al-Qur’an, serta cerita cerita ajaib tentang manusia dan kehidupannya, seperti misalnya artikel berjudul, “Jasad berbau harum setelah dikubur selama 10 tahun”, atau “Wajah Cantik itu Meleleh menjelang ajal”. Selama saya membaca majalah HIDAYAH, saya pergi mengaji setengah jam lebih awal, sholat lima waktu tanpa di omeli oleh bapak, ditambah sholat sunnah tiga macam, dhuha, hajat dan tahajud, di tambah puasa sunnah (setengah hari, maklum masih SD), dan mimpi buruk tiap malam tentang neraka. Bacaan selanjutnya adalah tabloid POSMO, ini adalah tabloid untuk siapa saja yang ingin membuka mata batin. Tapi yang jelas, membaca tabloid POSMO lebih mencandu daripada majalah HIDAYAH, nah itulah alasan mengapa di kemudian hari saya telat mendapat hidayah. Jadi, majalah ini terbit dalam dua rentang, mingguan dan bulanan. Ibu saya bilang, tabloid POSMO yang selalu beliau bawa itu adalah edisi mingguan yang entah karena alasan apa, si loper Koran memberikan nya gratis karna ibu membeli majalah HIDAYAH (tanda Tanya besar kan?). Salah satu judul di cover majalah POSMO adalah (misalnya) “Kidung Maut Laskar Ghaib”, atau “Soeharto wali ke 10” dan judul judul ajaib lainnya. Saya penasaran setiap kali membaca tabloid POSMO, tentang jin, setan, iblis, ramalan, dan yang paling menarik “santet dan pesugihan”. Nah, yang terakhir ini banyak berlatar di gunung Kawi. Saya masih ingat jelas sebuah cerpen yang di muat di majalah POSMO, judulnya “Ayahku bercinta dengan Ular”, yang ternyata usut punya usut sang ayah ini bersepakat dengan nyi Blorong, selepas bercinta, nyi Blorong akan melepaskan sisik sisiknya dan seketika menjadi emas. Dulu, setiap kali membaca tabloid POSMO, maka saya akan dengan semangat menceritakan pada teman teman sekolah saya, saya juga lebih jeli setiap kali melihat ular (apakah itu nyi blorong?, ato anaknya?, ato cucunya?), dan serupa dengan efek membaca majalah HIDAYAH tadi, saya juga gemar mimpi buruk, kali ini bukan tentang neraka, tapi tentang ular, jin, kuntilanak, nyi roro kidul, nyi blorong, sundel bolong yang entah kenapa selalu berwajah Susana. Gunung Kawi adalah tempat yang paling sering di ceritakan dalam tabloid POSMO tersebut, tentang bukit doa dimana para pengunjung bisa meminta doa macam apapun, terbebas dari sembelit misalnya. Meminta jodoh juga bisa, konon, katanya, jika kita kejatuhan daun pohon Dewandaru, maka kita akan cepat dapat jodoh, rejeki lancar, dan hidup makmur. Jangan salahkan siapa saja yang pada akhirnya memilih duduk diam di bawah pohon dewandaru dan mengharapkan kejatuhan daunnya, promosi ke sahih-an pohon dewandaru ini sudah seperti promosi seorang agen MLM. Nah, untuk yang satu ini, saya pernah mengalaminya sendiri. Sungguh, tidak bohong, jujur demi bumi dan langit. Jadi, ibu saya punya tanaman bernama bunga wijaya kusuma, bunga ini pohonnya seperti pohon buah naga, bunganya putih dengan kelopak yang bertumpuk, baunya wangi sekali, bunga ini hanya mekar tengah malam, dan kuncup di besok paginya. Ibu bilang, jika kita melihat proses mekarnya bunga ini, maka keinginan kita akan terkabul. Saya, minum kopi 3 cangkir, dan menemani si bunga yang kebetulan di letakkan di depan kaca ruang tamu, saya mencatat permohonan saya, saya ingin bisa mengerjakan soal ujian tanpa belajar, saya tunggu, saya pantengin, eh saya ketiduran, dan bangun dengan bunga wijaya kusuma yang sudah mekar di depan saya, saya melongo, bunga wijaya kusuma seakan menertawakan saya, lalu saya lemas selama seminggu karna saya tau keinginan saya tidak akan terkabul (*efek samping terlalu banyak dosis membaca POSMO), ya tentu saja, bukannya belajar saya malah wiritan nunggu bunga mekar. Inti dari cerita ini adalah, hati hati bercerita pada anak anda, ceritakan saja tentang kancil yang suka mencuri ketimun, atau seorang serigala yang menyamar menjadi nenek nenek.

Nah, jika anda adalah manusia yang putus asa tingkat internasional, dan jika dalam pikiran anda hanya ada obat nyamuk untuk bunuh diri, dan jika anda sudah tidak bisa lagi merasakan nikmatnya minum kopi di pagi hari, atau jika salam super Mario Teguh sudah berasa kwalitet dua, ada baiknya anda ke gunung Kawi. Untuk mencapainya, anda menuju Malang terlebih dahulu, lalu melajulah ke arah Kepanjen, ikuti saja petunjuk yang tersebar di mana mana, susuri jalanan desa yang berkelok, dan sampailah anda ke Gunung Kawi. Ingat, Malang, Kepanjen, Gunung Kawi, klik.

Multikulturalisme Gunung Kawi

Jadi, itulah cerita sekilas tentang bagaimana saya sangat akrab dengan Gunung Kawi walau hanya secara literal. Saya berhenti membaca majalah POSMO ketika bapak saya mulai melihat gejala aneh pada diri saya, kantung mata yang menghitam gara gara suka terbangun tengah malam perkara mimpi buruk, suka bershalawat sendirian di tengah malam juga karna ketakutan, dan mantengin kuncup bunga wijaya kusuma. Bapak marah pada ibu, ibu marah pada loper Koran, loper Koran entah marah pada siapa. Saya kembali membaca majalah Hidayah, Femina dan juga Donal Bebek (kombinasi yang aneh, iya saya tau).

Kembali ke gunung Kawi, situs ini sudah sangat terkenal sejak jaman dulu, karna mistifikasi nya dan juga multikulturalismenya yang menarik. Namun bagi anda penganut monokulturalisme (benar tidak istilahnya?, males googling), jangan kemari, atau anda akan terkena serangan jantung gaya bis kencono. Wisata gunung Kawi pada akhirnya disebut sebagai Wisata Religi, multikulturalisme yang bisa dan temukan disini merupakan gabungan dari budaya hindu, konghucu, budha, islam juga kristen dan katolik. Anda akan menemukan masjid dan klenteng berjejer, orang menyandang tasbih dan mengocok batang ciam si, bau dupa juga akan menyambut anda. Wisata gunung kawi sendiri dibagi menjadi 3, yang pertama pesarean gunung Kawi, lalu puncak gunung Kawi yang merupakan rujukan tempat untuk pesugihan dan yang terakhir gunung Kawi itu sendiri. Saya dan kawan saya hanya sempat mengunjungi pesareannya saja, karena keterbatasan waktu tentu. Untuk mencapai pesarean, kami harus menempuh jalan pedesaan yang menanjak, dengan baju kerja lengkap (karna kami berangkat dalam rangka kabur dari runtinitas) yang untungnya tidak dengan sepatu ber-hak, kami ngos ngosan, sudah seperti berlari sepuluh putaran, tapi kami malu untuk sejenak beristirahat dan mengatur nafas. Di kanan kiri kami banyak tersebar hotel, rumah makan, toko peralatan persembahan, kios kios penjual bunga dan juga rumah rumah penduduk. Mendekai gerbang pesarean, anda akan menemuka Masjid Agung Imam Sujono di sisi kanan, anda juga akan menemukan banyak pesanggrahan untuk menampilkan kesenian wayang, biasanya para pengunjung yang ber nazar sesuatu akan memenuhinya dengan nanggap wayang. Lalu anda akan menemukan padepokan Eyang Djogo dan RM Iman Soejono. Jalan lah terus, hingga memasuki gerbang pertama, lalu di sisi kanan anda akan menemukan tempat Ciam Si. Lalu di gerbang kedua, anda akan memasuki area pesarean, dimana disana dimakamkan Kyai Zakaria (Panembahan Eyang Djoego) dan Raden Mas Iman Sudjono. Kisahnya, Kyai Zakaria merupakan penasihat spiritual pangeran Diponegoro yang melarikan diri dari serangan Belanda, sedangkan Raden Mas Iman Soedjono merupakan putra dari Kyai Zakaria. Keduanya di makamkan di situs tersebut dan menjadi magnet utama penarik para peziarah. Pada 1931 datanglah seorang tionghoa bernama Ta Kie Yam dari Singapura datang berziarah dan berdoa, karna ia merasa bahwa doanya di kabulkan maka ia membangun jalan menuju pesarean, mungkin dari sinilah multikulturalisme itu berawal.

Jangan pikirkan tentang keyakinan dulu disini, jangan terburu mengklaim sirik, murtad, atau apapun lah namanya. Sebuah perkara pasti bersisi banyak, saya lebih suka memandang perkara ini sebagai keunikan warisan budaya, bagaimana setiap manusia bisa saling menghormati dalam keterbedaan. Jika ingin berkunjung kesini, dan hanya ingin menjadi observer seperti saya dan kawan saya, maka redam dulu keyakinan anda, pegang kuat kuat, dan datanglah atas nama ilmu pengetahuan, atas nama tenggang rasa, atas nama penghormatan kepada cipta rasa dan karsa manusia kita. Maka kita akan bisa belajar berkehidupan selaras dalam keterbedaan, sebuah kesepakatan diam yang utuh dan terulas senyum, bahwa bagaimanapun kita hidup demi sebuah kemakmuran dan kedamaian bersama. Baiklah, siapa saja yang ingin berkunjung ke Gunung Kawi, siapkan kedua tangan anda untuk mengocok batang Ciam Si. Bermain hom pim pa dengan batang batang bambu.

Maen Hom-Pim-Pa di Gunung KAWI

Ciam Si dikenal sebagai salah satu metode meramal nasib dari Cina. Ramalan ini didasarkan dari 100 kertas syair yang tersedia yang bertujuan untuk mengetahui peruntungan nasib seseorang. Aturan pertama adalah tentu saja meyakini ritual ini (jika ingin ber-serius tentu), lalu memanjatkan doa dan mulai mengocok batang Ciam Si yang terbuat dari bamboo berukuran sekitar 10 cm dan diletakkan dalam sebuah gelas bambu, setiap batang Ciam Si memiliki nomer yang nantinya akan merujuk pada kertas kertas ramalan tadi, dan akan mengungkap nasib anda. Saat bermain Ciam Si, saya hanya main kocok saja. Batang Ciam Si pertama saya bernomor 58, syair yang tertulis tentang nasib saya adalah “seperti ular harap lekas menjelma menjadi naga, tapi dasarnya dia masih punya nasih masih tercegah, seperti orang yang sakit baik bikin sabar biar lega, sebab masih mau ributi bagaimana percuma juga”.

Nah, entah ini gerindam, pantun atau apapun, untuk mengungkap maknanya maka kita harus membaca nya di dalam buku terjemahannya. Isi dari terjemahan ramalan saya adalah “Ini pertanyaan kebetulan ini waktu belum bisa di dapatai maksud yang baik, Buat mau dapat uang itu pengharapan yang percuma. Perkara yang menimpa bakal tambah berbuntut panjang, orang punya perjodohan tidak baik.” Nah, ramalan terakhir ini yang sungguh menusuk seperti sembilu. Kocokan pertama anggap saja percobaan, maka saya coba kocokan yang kedua, yang ternyata berbunyi sama. Saya tidak mau dong menyerah pada batang bambu, maka saya baca dulu buku terjemahannya dan mencari ramalan yang baik yang menunjuk nomer 53. Jika sebelumnya saya asal kocok, maka kocokan ketiga saya ini saya lakukan sambil menggumam dalam hati, memusatkan otak dan pikiran saya, dan menyebut angka 53 seiring saya mengocok, eh yang keluar nomer 8. Walaupun tak bersesuaian, namun ramalan angka 8 ini berbunyi baik, intinya hidup saya lancar, jodoh saya dekat. Poinnya adalah, jika kau berniat baik, yakin dan berusaha, semesta akan membantu.

Karna ramalan baik saya masih kalah sama ramalan buruknya, saya kocok lagi batang Ciam Si itu, dan keluarlah ramalan yang baik lagi. Karna posisi masih seri, dan tak boleh mempertahankan status quo dalam hidup, saya kocok lagi batang Ciam Si, asikkk…ramalan baik lagi yang keluar. Tiga ramalan baik pasti akan mengalahkan dua ramalan buruk. Saya semangat, wajah saya sumringah, senyum saya secantik bunga wijaya kusuma, mata saya secerah bintang sirius, intinya, saya berkolaborasi dengan semesta untuk menjadi senang, optimis dan super, sampai datang dua orang ibu ibu dari Sidoarjo yang dengan SENGAJA datang untuk mengundi nasib. Si ibu bilang bahwa tahun lalu ia mengundi nasib suaminya disini dan terbukti, kini ia ingin mengundi nasib anaknya yang akan menikah. Lalu ibu itu bilang bahwa kita hanya boleh meramal tiga kali, selebihnya ramalannya tidak berguna. Tentu saja saya tidak percaya, saya tetap semangat, tetap tersenyum secantik bunga wijaya kusuma, tapi bunga yang hampir layu.

Meng-Komoditaskan Takdir itu…..

Kierkegaard mengasumsikan kehidupan menjadi dua. Hidup otentik dan hidup tidak otentik. Manusia yang memilih kehidupan otentik di namakan manusia eksistensial, begitupun sebaliknya. Dalam paham kedirian ini, Kierkegaard mengajarkan untuk memaksimalkan potensi diri melalui asumsi asumsi dasar yang ia sampaikan dalam paham yang entah mengapa dikenal kiri (padahal tidak, sungguh), Eksistensialisme. Kierkegaard mengasumsikan bahwa hal hal esensial dalam kehidupan manusia adalah freedom, consciousness, choice dan responsibility.

Manusia dilahirkan dengan kebebasan hakiki yang “bukan tanpa batas”, kebebasan dimaksudkan adalah sebuah kebebasan yang bertanggung jawab yang tidak melewati batas estetika, etika, dan juga batas religious. Konteks situasi eksistensial manusia meliputi aktualisasi progresif dan juga personal komitmen setiap manusia pada diri mereka sendiri. Sebuah kebebasan memilih jalan hidup (choice) haruslah disadari dengan kesadaran (consciousness) moral, etika, spiritual dan juga lini kehidupan lainnya, untuk kemudian mempertanggungjawabkan (responsibility) pilihan kehidupan itu dengan komitmen dan intergitas. Manusia yang eksistensial adalah manusia yang menghargai kebebasannya sebagai sebuah anugerah, lalu memilih jalan hidup dengan kesadaran penuh yang melibatkan semua lini kehidupan serta bertanggung jawab penuh pada pilihan itu.

Mendapatkan sebuah kehidupan yang otentik dan menjadi manusia eksistensial bukan perkara kecerdasan, namun itu berkelindang dengan perkara “pilihan”, “keyakinan” dan “komitmen”. Mengkomoditaskan takdir maka akan sama saja dengan menggadaikan keyakinan anda, melatih diri anda untuk tidak terlatih bekerja keras dan meningkatkan potensi. Jika hanya di gunakan sepintas lalu mungkin tidak masalah, namun jangan sampai mengambil alih sisi sisi logis. Karna bagaimanapun, keyakinan datang dari pengamatan logis, dari pengalaman empiric, begitu juga tentang Tuhan. Meyakini Tuhan dan alam semesta tanpa usaha juga sama saja bohong, untuk itulah iman dan takwa selalu berkelindang takdir, keduanya adalah proses progressif dalam memaknai hidup.

Jadi, mungkin inilah yang ingin disampaikan bapak saya, “sayang, berhentilah mengkomoditaskan takdir, karna bagaimanapun kita lah komoditas takdir, berteman baiklah dengannya, dengan menjadi manusia kritis dan optimis” (terjemahan bebas saya, sungguh bukan kata bapak saya). Pada dasarnya, kita sudah ber undi dengan takdir, dengan atau tidak bermain dadu, dengan atau tidak mengocok batang ciam si, dengan atau tidak membaca ramalan zodiac, dengan atau tidak meramal tarot, dengan atau tidak meramal palmistry. Maka, jika kita melakukan itu semua, maka kita akan bermain hom pi pa kuadrat dengan takdir lalu perlahan melupakan hal esensial dalam hidup, yaitu berusaha.

Keyakinan itu tempatnya di hati, biar ia tetap disana, jangan sekali kali jadikan ia sebagai komoditas akal dan logika. Setidaknya itu yang saya terapkan dalam diri saya. Saya enggan berdiskusi masalah keyakinan, karna saya menganggap bahwa keyakinan itu melebihi permaknaan agama dan juga melebihi simbolisasi Tuhan. Saya percaya agama saya, saya meyakininya, saya menjalankan anjuran dan perintah agama saya sebagai sebuah wujud komitmen saya terhadap pilihan hidup yang saya yakini baik dan sebisa mungkin saya jalankan dengan benar, cukup itu saja. Saya tidak peduli dengan pahala, atau berapa sapi yang berhasil saya kumpulkan di surga sana karna ibadah saya, cukup asas manfaat dan karma. Bagaimana kedua hal ini bisa menjadi tolak ukur bagi hidup saya, bagaimana saya bisa bermanfaat bagi orang lain, dan tidak munafik juga, bagaimana orang lain bisa bermanfaat bagi saya. Dan bagaimana hidup ini sungguh resiprokal, kau menuai benih yang kau tanam, maka bijaklah pada karma, dan bijaklah pada hidup. (mamah Dedeh mode on).

Baiklah, begitu saya coba berdialektika setidaknya dengan diri saya sendiri, malam ini. Apa kata batang Ciam Si tentang hidup saya biar saja menjadi sebuah pengalaman unik, hidup saya akan baik baik saja karna saya akan mengusahakan untuk baik baik saja. Saya juga akan bertemu tubuh dimana saya menjadi tulang rusuknya, lalu kami akan berbagi kesepakatan hidup tanpa perlu lebur menjadi satu. Selamat Malam, terimakasih untuk yang menyempatkan membaca. Mari membaca hidup ini dengan bijak….^^