About Me

My photo
JUST EVERY DAY PEOPLE

Tuesday, March 27, 2012

Mengulik Senja di masa silam ^^


Satu yang aku ingat dari sahabat saya yang satu ini adalah kamar dan bantal tidurnya, entah kenapa kedua entitas itu selalu menyambut tangisan saya dan dengan ajaib pula menenangkan saya. Untuk Fanisia Senja, saya tidak lagi menemukan kamar dan bantal untuk menangis seperti kamar dan bantal mu, juga mimik mukamu yang diam saja menungguku menyelesaikan tangisku. Terimakasih karena membiarkanku mengotori bantalmu dengan tangisku, seenak udelku masuk kamar mu hanya untuk menangis, lalu pergi begitu saja saat sudah lega.

Aku menemukan tulisan ini di henpunku, kau berikan padaku kira kira tiga tahun yang lalu, saat kita masih berfisik dan berverbal tanpa fesbuk. Tidak tahan rasanya menyimpannya sendiri, aku ingin membagi keindahannya pada teman2 yang lain. Tak apa ya mir??....Mari bergabung bersama saya mengulik Senja di masa Silam.

SENJA YANG TERBELAH by Mirani Fanisihan

(Part 1)

Sekian ratus perjumpaan kami adalah kemungkinan tiadanya ceria. Lingkaran hidupku dan lingkaran hidupnya adalah dua kutup yang berbeda. Kami hanya bersentuhan dalam sebuah irisan kecil masa lalu (2 menit yang lalu bagiku juga masa lalu….). Irisan yang sangat sederhana. Tapi begitulah, pertikel diam memiliki medan magnet yang lebih besar daripada yang bergerak, itu menurutku.

Dan setiap kali juga, baru sadar aku merasa berdiri di bawah kanopi kamboja, tanpa berharap sedikitpun dia memberi reaksi, padahal sungguh aku sangat ingin dia memberi reaksi. Ini sebuah persinggahan terkutuk yang pernah kualami. Pemberhentian entah yang mana yang membuat kami selalu terjaga dengan cara yang aneh untuk tetap bertahan. Gravitasi mengitari untuk tetap ada, namun tetap berjarak. Mengalir mengikuti rotasinya sendiri-sendiri.

Aku selalu menemukan keleluasaan semesta di binar matanya (namun entahlah mungkin karena sadarku tentangmu membuatku tak yakin tentang ini). Bebintang beterbangan seperti ribuan lampu merkuri di sebuah kota yang paras.

Kau mencederai pikiranku. Mengacaukan seluruh sirkulasi keteraturan yang ada, yang kumiliki. Kaulah lelaki yang selalu datang untuk memperlebar nganga luka, namun aku menikmati setiap luka itu dengan bahagia………………………

Aku ingat serpih masa lalu yang terserak di tingkap ingatan. Kita tidak pernah meniti satu jalan kebersamaan (nurani perempuanku menuntunku untuk tetap berpijak di jalanku). Kau berdiri sendiri di sudut terjaga oleh cahaya, dan aku berdiri di sudut remang yang lain, entah untuk apa. Seperti saat-saat sesudahya, tidak ada percakapan mengalir, kita berbicara dalam bahasa entah dan bercerita dalam bahasa entah. Tidak ada kata beterbangan, tidak juga pertengkaran. Dan sensasi yang membawaku padamu, bukan buat menyapa. Aku bisa merasakan tatapanmu melewati jantungku…....................

Will be continue

Malam minggu, 26 Oktoberber 2008 jam 7.30 pm.

By Senja

Senja yang terbelah

Part 2

Mungkin aku salah……………….

Tapi sekian ratus pertemuan, membuat aku mengenali isyarat paling sederhana sekalipun dari bola matanya, meski aku jarang sekali bertatapan dengan binarmu………..

Kucoba mengurai setiap tatapan seperti matahari mengurai titik air menjadi spektrum, menjadi bianglala yang saat ini sedang kulihat seorang diri……(karena ku yakin tak akan pernah menikmati senja bersamanya…huh…….)

Ya…barangkali aku salah jika kukatakan…..aku menyukaimu….ups! Jangan menatapku seperti itu. Tapi dengarkan aku, ini sebenarnya sederhana saja, meskipun akan menjadi sebuah awal bagi ketololan yang lebih besar. Kita berada dalam sebuah gelombang elektromagnetik yang sama, kau boleh tidak setuju dengan ini, tapi dengarkan dulu teoriku!! Gelombang menguar dari hati, mengatasi tubuh, beresonansi di udara terbuka dan mencapai membran hatiku. Jangan katakan apa-apa, cukup tatapan mata yang serupa gemericik air di bebatuan di awal perjalanan dalam sebuah perjumpaan.

Kita berada di semesta kebohongan, semesta dusta, merenanginya seperti suka cita kita terhadap haus.

Aku sadar bagaimanapun juga, aku selalu berharap kedatanganmu…ya hanya kedatangan tak lebih seperti berharap pagi yang selalu datang menyapa. Kau adalah batas diri dan batas lelahku. Hidup bukanlah hitungan matematis, hitungan di atas kertas, karena seringkali kenyataan berbicara tak seindah yang kita bayangkan. Dan aku yakin, kau melakukan yang perjalanan sama dalam sunyimu, perjalanan yang tak terpahami dalam benakmu….

26 Desember 2008

By Senja

No comments:

Post a Comment