About Me

My photo
JUST EVERY DAY PEOPLE

Tuesday, March 27, 2012

Be-Romansa dengan Karib saya lewat diksidiksinya yang Kawin dengan Harmonis..Yukk!!

Mirani dia yang berkerudung hitam memeluk saya yang masih imut.....hehe ^^

Saya ber-Romansa lagi dengan Mirani Fanisihan, karib saya. Kami bukan karib yang lahir dari kuantitas pertemuan, detikan kami bersama mungkin tak jauh beda dengan kentut yang keluar begitu saya, tapi entah mengapa kualitas karib kami lebih dekat daripada jarak mata dengan hidung. Hhihii...kali ini, sama seperti kali lalu, saya beromansa melalui kawinan harmonis antara diksidiksi yang Mirani hasilkan entah dari pertapaan yang seperti apa, tapi saya selalu suka dan juga iri setiap kali membaca nya. Eniwei, terimakasih ya mir sudah bersedia berbagi takdir denganku..^^s

Buat para tagged (yang di tag maksudnya) Selamat membaca yah, dan perlu sekali lagi saya infokan, tulisan tulisan indah di bawah ini dibuat oleh karib saya, Mirani Fanisihan...

THE RHAPSODY

Sore itu aku berjalan di tepi sungai, lelah aku setelah seharian bekerja di sawah. Rasanya lega sekali, padi yang selama ini kurawat sudah mulai berisi. Kelopak itu sudah mulai gemuk dan panjang berulir. Bahkan beberapa hari ini sudah banyak yang mulai merunduk ke tanah, melihat dan mengagumi darimana dia berasal dan mendapatkan penghidupan. Mungkin itu yang dimaksud oleh nenek moyang untuk meniru ilmu padi, semakin berisi tetapi semakin merunduk. Bukan merunduk tidak percaya diri, tetapi merunduk mengagumi Ilahi, sumber segala ilmu dan pengetahuan. Hari sudah mulai gelap, remang-remang cahaya lampu dari seberang sungai sudah mulai kulihat. Tiba-tiba aku melihat bayangan seseorang berambut panjang berjalan menuju sungai, memakai kemben dan menjinjing keranjang kecil.

Langkahnya pelan menjemput air sungai, dan berhenti ketika air telah mencapai ujung atas kembennya. Rambut panjangnya segera diurai dan dia mulai merendamkan dirinya di air sungai yang mulai dingin. Mataku tak berkedip sejak tadi, jarak yang memisahkan aku dengannya memang tidak terlalu jauh. Sayup-sayup kudengar dia menyanyi, detak jantungku berdegup keras, suaranya magis, apalagi didukung oleh suasana sore yang terhiasi oleh jingga cakrawala. Putri-putri kraton yang tertulis di lontar Majapahit yang katanya cantik nan gemulai itu aku belum pernah melihatnya, tapi sepertinya yang didepan mataku ini tak kalah indah dengan putri-putri itu, hanya saja kecantikan dan gemulainya tidak tertulis di lontar, tapi tertulis di alam, dengan tinta sang cakrawala. Dia berputar-putar, bermain air, terkadang menyelam, mengambil pasir halus dari dasar, dan diusapkannya di seluruh badannya.

Rupanya dia sadar sejak tadi ada mata yang mengagumi geraknya, dan mulai menatap balik ke arahku. Aku menjadi kikuk, dan kulambaikan tangan ke arahnya. Dia juga melambaikan tangan ke arahku, sambil tak henti bernyanyi kecil. Dia melambaikan tangan lagi, mengajakku untuk turun mandi. Walaupun dingin, kupaksakan diri juga untuk mengakrabkan diriku dengan air sungai. Aku berenang ke seberang, menelusuri riak-riak air yang memancarkan aroma eksotis. Bayang wajahnya semakin jelas,dan suara nyanyiannya semakin keras terdengar. Wajahnya bulat, dengan pandangan tajam berwarna biru. Ternyata dia menyanyi Asmaradahana, tembang ritmis tentang cinta seorang anak manusia. Dia sudah mulai nakal melemparkan air ke mukaku, sambil tertawa renyah, akupun membalasnya. Kami tertawa, akrab seakan telah bersatu di kehidupan sebelumnya. Reinkarnasi kedua yang tinggal melanjutkan saja. Hanya aku heran, kenapa aku baru bertemu dia sekarang, bukankah dia adalah salah satu penduduk desa seberang. Dia tertawa lagi, tertawa lagi, kadang kuberanikan diri memandang tepat lurus ke wajahnya, saat itulah dia berhenti tertawa, dia tersenyum, senyum yang bukan berasal dari bumi, aku tahu pasti. Dia menyelam, beberapa lama sehingga aku kebingungan di kegelapan, kumenoleh ke kanan kiri untuk mencari sosoknya, tapi tak muncul juga. Tiba bukkkk.............ada benda serupa pasir menabrak punggungku, aku secepat kilat menoleh, hampir saja wajah kami bertabrakan. Ternyata rambutnya tadi yang menabrak punggungku, dan dia kini tepat beberapa senti di depanku. Begitu dekat hingga aku mendengar nafasnya, seperti angin harapan dari oase yang menerjang padang pasir. Dia sendiri sepertinya kaget, tidak menyangka akan menabrak punggungku

dari belakang. Aku baru sadar sekarang betapa cantik makhluk yang berada di depanku ini. Rambut panjangnya yang hitam legam sedikit mengkilat oleh sinar rembulan yang sudah mulai mengggantikan tugas sang mentari.

" Dewiiiiiiiiii......" tiba-tiba suara serak seorang lelaki membahana dari atas sungai, menimbulkan suara sambung menyambung. Gadis itu langsung beranjak, menuju ke tepian lagi. Tapi dia celingukan, seperti sedang mencari sesuatu. Ah ya, sepertinya dia lupa dimana menaruh keranjang kecilnya, ternyata bidadari bisa juga lupa, aku langsung menghambur ke darat, kucoba mengingat dimana dia tadi meletakkan keranjang kecil itu. Sinar rembulan yang tidak begitu terang semakin mempersulit pandangan. Tapi segera kulihat keranjang tadi di balik batu di ujung sana, rupanya karena keasyikan bermain, kita sudah agak jauh dari tempat semula. Aku segera berlari mengambil keranjang kecil dari anyaman bambu itu, dan segera menyerahkan kepadanya.

" Terima kasih ya sudah menemaniku.." dan diapun pergi..............

Dua belas purnama sudah aku mengenalnya, dan kehidupanku selalu diwarnai oleh canda dan kisahnya. Jika malam diwarnai rembulan, kami akan selalu pergi ke sungai itu, bermain dan bernyanyi, tersenyum dan tertawa. Dia memang cantik, seperti namanya. Tapi semakin lama aku mengenalnya, kecantikan itu semakin membuatku tergila-gila. Karena cantik yang terpancar lebih kuat justru dari sikapnya, melebihi kecantikan raganya yang memang sudah luar biasa. Tapi dia selalu mengelak ketika kubilang bahwa dirinya cantik, apalagi kalau kubilang bahwa dia adalah seorang yang sangat cerdas, dia pasti mengalihkan pembicaraan. Apakah dia kira aku

nggombal, padahal belum pernah dalam hidupku aku bilang bahwa hobiku nggombal. Hobi yang elitis itu memang tidak pas denganku, aku hanya ingin jujur. Aku hanya bicara apa adanya, tidak mengurangi tidak menambahi.

Tapi memang sebenarnya kata-kata tak cukup mampu melukiskan keindahannya, tapi aku terus mencoba, walau aku tak tahu apa itu sampai pada tujuannya. Tapi begitulah, aku hanya makhluk biasa, yang bisa terpesona oleh keindahan dan kecantikan, yang bisa menggelepar oleh suara halus dan rayuan. Aku sering mengajaknya untuk bicara tentang masa depan. Bicara tentang langkah-langkah manusia di bumi, tentang segala tingkah dan perbuatan. Dan diapun menimpali, dengan kata-kata yang lembut, diucapkan dengan yakin. Protesnya terhadap manusia yang sewenang-wenang terhadap alam, terhadap keadaan yang membelenggu anak bangsa untuk maju, atau terhadap nada sinis sebagian manusia jika seorang wanita ingin berkarya. Dan kalau keadaan sudah menjadi terlalu serius, kitapun bercanda lagi. Bicara tentang kucing yang hari ini tidak mau makan karena sedang jatuh cinta dengan kucing tetangga, atau tentang anjing yang nakal mengikuti kemanapun tuannya melangkahkan kaki. Tertawa lagi, menertawakan segala yang bisa ditertawakan. Melepaskan segala beban, karena beban kadang memang tak perlu terlalu dipikirkan. Asal sebagai manusia kita sudah melaksanakan yang terbaik yang bisa kita lakukan.

Suatu malam aku bertanya padanya, maukah dia memberikan senyum surgawinya untukku, tidak hanya untuk saat ini, tapi untuk sepanjang perjalananku menempuh kehidupan. Dia terdiam, menerawang......, dan akhirnya dia bilang dia juga

takut kehilanganku. Lalu kutanya, maukah dia bersama denganku mencari arti dibalik semua ayat-ayatTuhan yang tertulis maupun yang tercipta, mengarungi kapal bersama menuju teluk bahagia di ujung sana. Rona wajahnya berubah, dia kelihatan bingung, lama sekali dia terdiam, mengarahkan pandangan ke bumi, seakan menembus dan bertanya kepada bumi akan galaunya, kemudian ke langit, bertanya kepada bintang-bintang akan risaunya.Di remang-remang rembulan, dia membisikkan kepadaku, bahwa dia tak mau mengecewakanku.

" Biarkan aku sendiri beberapa purnama ini...", dan kemudian dia pergi, melewati rumpun-rumpun padi yang kekuningan, dan menyeberangi sungai jernih itu. Pergi ke desanya yang diseberang. Aku hanya bisa terpaku di sini, kejadian itu begitu cepat, sampai aku tidak sempat mengucapkan sepatah kata pun. Aku berteriak-teriak memanggilnya, tapi suaraku ditelan oleh anggun langkahnya.

Dia mungkin belum tahu, bahwa dia tak pernah mengecewakanku, dan tak akan pernah. Karena seperti yang aku bilang dulu ketika aku pertama kali menyatakan bahwa aku cinta padanya, bahwa cintaku apa adanya, kelebihan dan kekurangan itu adalah keniscayaan, bahkan bagi seorang bidadari seperti dia. Tak ada yang mampu memalingkan aku dari cintanya, karena cintaku bukan karena cantiknya, tapi karena kecantikan hatinya. Cintaku bukan pada keluarbiasaannya, tetapi karena usahanya untuk tetap menjadi biasa. Dan aku tahu setiap yang hidup akan beranjak tua, tapi aku yakin kecantikan hatinya abadi. Biarlah semua manusia silau akan aroma harum dan tebaran pesonanya, aku hanya akan mengagumi dia seperti adanya. Beberapa purnama, sungguh waktu yang sangat lama kurasakan. Aku hanya ingin dia kembali lagi, setiap

malam yang berhiaskan rembulan bermain bersamaku, biarlah masa depan tetap menjadi masa depan.

SESAAT DI PRINGGODANI

Kotaku masih sama seperti yang dulu ketika dua tahun lalu kutinggal.sepi yang terasing di sudut jalan, senja juga masih sama seperti dulu. Cantik….sangat cantik,namun menyibakkan kegetiran yang dalam, mungkin saja hanya untukku. Rasaku teriris keindahan senja kala rona sayu perlahan menjauhkan asaku. Aku selalu merasa setiap senja sama, sama seperti senja kita. Masih ingatkah kau pada ‘janji embun’ pada bunga? Embun sudi melalui perjalanan tembus malam hanya untuk bunga. Dulu pernah kau katakan adakah perjalananku dalam kesia-siaan….?. ”Gak ada yang sia-sia, kalo toh mimpi kita gagal...minimal kita pernah mencobanya,pragmatis kan….”

Pernah kau katakan “ matahari mengajariku segala yang menumbuhkan rindu pada benderang namun sang malam juga yang akan menerbangkanmu ke bintang- bintang…?” Aku berharap…sketsa senja masih tersisa untukku setidaknya mampu menyisakan sebongkah kenangan tentangmu juga tentang senja kita.

Lembah Tidar masih sama seperti dulu dengan belaian angin yang mampu menyapu angan-angan ya angan-angan kita kala itu.

Pernah ku bertanya tentang prasasti kita. Kau ragu kala itu dan kuyakinkan setiap orang berhak bermimpi.

Fantastis!!!!!!!!! Katamu melonjak.”Ini kekuatan pikiran dan mimpi ditambah sedikit manajemen pikirannya Holmes” Kataku yakin.

“Holmes masih hidup juga dalam otakmu hingga kini ya… ?”

Apakah kau masih seperti dahulu.

Memberikan cerita pengantar tidur kala ku tak mampu memejamkan kantukku.

Dan memberikan kata-kata

Yang tanpa ampun merajam bulir mataku

Mendatangkan lelah yang tak mampu kuduga hadirnya.

Inilah saat terberat hidupku

Memaksa cerita terus berucap

Mematri kata yang terperangkap

Membuai auramu meski sekejap.

Akulah bintang yang begitu bodohnya menanti purnama datang dengan sekian ribu penderitaan, hanya untuk menanti saat purnama muncul…..

Satu detik,,,satu malam,,,,

Dan kadang kau juga tidak menampakkan diri ketika mendung mendulangmu

Penantian yang terkadang semu…

Namun begitu transparan untuk meyakini satu hal…

Wajahmu akan memperindahku ketika malam purnama datang

Yang sempurna….

@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@

Ini bagian dari sekian destinasi sahabatku tentang hidup dan cinta yang telah usai, pergi bersama sejuta benci dan sesal. Kadang kutanya dalam hati mengapa musti saling membagi cerita kalau harus berakhir dengan hal membingungkan, mungkin cerita ini belum berkhir……tapi sungguh aku ingin menyudahi ini. Ini sesal dan benci yang teramat indah. Bagaimana mengakhiri sesuatu yang tidak mengenal awal…..? By senja

KETIKA JIBRIL DI BUMI

Sayup sayup Jibril mulai berteriak kelelahan, setelah tugasnya yang terakhir di sebuah planet di galaksi yang jauh, dia ingin sejenak menengok jejak terakhirnya di bumi 14 abad yang lalu. Tugas selanjutnya memang telah menunggu, tapi dia meminta reses sejenak pada Tuhan untuk sekedar beristirahat, dan waktu itu digunakannya untuk melihat planet sangat kecil berwarna biru yang mengelilingi bintang berwarna kuning. Sedikit ilmu yang telah disampaikannya kepada Muhammad ingin dilihatnya lagi, sekedar bernostalgia. Jibril tersenyum-senyum sendiri, betapa aneh perjalanan anak spiritualnya yang bernama Muhammad itu. Dia tidak bisa membaca, karena itu bodoh sekali. Pertama kali Jibril mendatangi Muhammad, Muhammad malah ketakutan. Tapi Jibril memaksa juga mengajari pemuda bodoh tapi jujur itu beberapa kata untuk sedikit mengenalkannya pada Sang Pencipta. Kedua kali Jibril datang, Muhammad tambah ketakutan sampai dia sakit, istrinya yang jauh lebih tua dari Muhammad sendiri, Khadijah, sampai kebingungan, dan menenangkan Muhammad. Jibril sampai geleng geleng kepala, tidak tahukah pemuda ini bahwa dia akan diberi sedikit pengetahuan tentang sang Khaliq.

Tapi Muhammad cepat sekali belajar, dalam waktu singkat dia telah menjadi manusia yang cukup dewasa, cukup untuk menyampaikan kepada manusia lain, bahwa yang patut disembah hanyalah Tuhan. Tuhan yang tak terbayangkan oleh mata biasa, tak teruraikan oleh kata, yang untuk mengenal-Nya manusia hanya bisa meraba raba.

Betapa berat perjuangan Muhammad, Jibril sudah tak ragu lagi. Diludahi, dilempari kotoran onta, dikejar kejar seperti maling yang mau dibunuh, biasalah itu untuk utusan Tuhan. Jibril sudah tak kaget lagi, anak spiritual Jibril sebelumnya, Yesus, malah mengalami nasib lebih parah, sampai digantung di Golgota. Kebanyakan utusan utusan itu mengalami nasib yang hampir serupa, ditolak oleh kaumnya, dianggap gila, diusir, beberapa dibunuh. Hanya sedikit sekali yang cukup berhasil, dalam arti dalam masa hidupnya punya cukup banyak pengikut. Sidharta Gautama salah satunya, anak spiritual yang satu ini memang cukup bandel dan mbalelo, lebih suka mencari "enlightment" dengan caranya sendiri. Lebih suka mencari bahagia tanpa Tuhan, buat apa jauh jauh kalau bisa mencari bahagia kalau dalam dirinya sendiri saja sudah ada. Kadang Jibril jengkel sama Sidharta, seperti kacang lupa kulitnya, tapi tidak apa apa lah pikir Jibril waktu itu. Yang penting ajaran menuju kebaikannya banyak diikuti orang.

Dari kejauhan Jibril mulai melihat samara samar planet bumi, seperti kelereng biru bercak bercak putih yang berputar. Kangen..., kangen sekali, 14 abad bukan waktu yang sebentar. Sudah terbayang di otaknya, anak-anak kecil berlarian bermain, nenek-nenek tersenyum sambil nyusur, sungai jernih tempat manusia mandi, si kulit hitam dan si kulit putih berjalan beriringan, wanita-wanita bermata sipit bernyanyi, sungguh bumi yang berwarna-warni indah. Hmmmm Jibril tersenyum senyum sendiri seperti gila saja. Tak sabar ingin segera sampai..............Sesampai di bumi, Jibril beristirahat sejenak, di tengah padang pasir yang hanya ditumbuhi beberapa pohon itu. Mengibas-ibaskan sayapnya dan mencoba sebentar merebahkan diri. Bahagia sekali Jibril mendapat "short

vacation", bermiliar-miliar tahun sudah dia mengabdi sebagai Menteri Penerangan Semesta. Akhirnya dia bisa sedikit bernafas lega.

"Allahu Akbar, Allahu Akbar, ...." sayup-sayup terdengar suara pujian kepada Tuhan dari kejauhan. Jibril sedikit kaget, tapi dia senang sekali, misinya berhasil. Manusia masih membesarkan Tuhan, riuh rendah memuji Tuhan. Dia berdiri, dari kejauhan kelihatan beberapa puluh manusia bersorban putih bersemangat sambil mengacungkan tongkat.

Hebat..hebat..manusia ini sangat mencintai Tuhan sehingga panas-panas begini mau-maunya arak-arakan. Jibril tersenyum bangga, setelah liburannnya selesai, dia akan bisa dengan bangga memberikan laporan kepada Tuhan bahwa tugas yang telah diberikan padanya sukses berat. Tuhan mah pasti sudah tahu, tapi kalau Jibril yang lapor sendiri, tentu akan menaikkan konditenya Jibril sebagai Menteri Penerangan Semesta yang bertanggung jawab dan sukses.

Semakin lama semakin keras suara-suara manusia itu, diam-diam Jibril mengikuti mereka, sebenarnya bukan diam-diam, karena memang manusia-manusia itu tak bisa melihat Jibril, kalau Jibril menampakkan diripun belum tentu mereka kuat melihatnya, Muhammad saja sering pingsan kalau melihatnya dalam wujud asli. Teknologi yang dipunyai manusia pun belum bisa menjelajahi dimensi yang didiami Jibril.

Sampailah rombongan manusia itu di suatu kampung, rumah-rumah di kampung ini berbentuk bulat terbuat dari kayu, ternyata rombongan itu mengetuk pintu rumah yang pertama terlihat, seorang perempuan berkulit hitam menggendong anaknya keluar, tiba-tiba terdengar suara dor...dor...dor....dor....

Perempuan itu langsung roboh, darah mengalir dari tubuhnya, bahkan seorang anak kecil yang digendongnya pun berlumuran darah, ada lubang kecil di kepalanya yang mengucurkan darah begitu deras. Jibril kaget setengah mati, apa salah dan dosa ibu dan anak ini koq sampai dibunuh sedemikian rupa, yang juga membuat Jibril kaget, ternyata tongkat itu yang digunakan untuk membunuh, dan tidak perlu ditusukkan, Jibril tidak tahu alat apa lagi itu yang digunakan manusia untuk membunuh. Ah..dia ingat, bukankah dulu sudah ada tongkat seperti itu, digunakan oleh orang-orang Cina untuk pertunjukan kembang api dan akhirnya untuk senjata.

Rumah demi rumah diobrak abrik, dan semua penghuninya dibunuh. Jibril shock berat, mengapa orang-orang berkulit putih yang berbahasa Arab ini membunuh orang-orang kulit hitam ini. Galau menggelayut dalam diri Jibril, setitik airmata menunjukkan simpatinya, Jibril bergetar, dan akhirnya terbang berkeliling. Tak jauh dari situ dia melihat kendaraan aneh berwarna putih yang belum pernah dia lihat, mempunyai roda empat berwarna hitam bertuliskan UN di sampingnya. Jibril penasaran terdampar di daerah manakah dia, koq manusia begitu tega membunuh sesamanya. Darfur..., ya

daerah ini bernama Darfur, tertera di salah satu tenda yang didiami oleh beberapa wanita dan anak-anak berkulit hitam.

Jibril semakin sedih, di sebelah sana terlihat beberapa wanita berebutan air, dan di sebelah tenda seorang anak kurus menangis, mulutnya dikerubuti lalat. Jibril kecewa, dia tidak mau liburannya rusak gara-gara pemandangan ini. Dia segera terbang setinggi2nya, mencoba mencari daerah lain yang mungkin lebih indah dan damai.

Untuk mengurangi sedihnya, Jibril bernyanyi lagu klasik Yunani, sayapnya digesekan sehingga bersuara menyerupai kithara, menyanyikan lagu-lagu moral yang dianjurkan oleh Plato dan Aristoteles. Melayang-layang tak tentu arah di angkasa, Jibril berusaha lepas dari pemandangan mengerikan yang baru saja dilihatnya. Setelah dirasa agak tenang, Jibril segera berpikir untuk melanjutkan perjalanan nostalgianya. Kali ini dia tidak mau terdampar lagi di tempat yang salah. Setelah beberapa waktu berpikir, akhirnya dia memilih Jerusalem sebagai persinggahan selanjutnya.

Kota yang indah itu, kota yang disucikan oleh tiga agama besar, tempat kelahiran Yesus, tempat istana besar Solomon (Sulaiman) pernah dibangun, tempat dimana Muhammad pernah mengarahkan mukanya waktu sembahyang. Jerusalem pastilah tenang dan damai, karena rahmat tiga agama yang dibawanya. Tempat yang bagus untuk mengisi liburan singkat Jibril di bumi.

Dari angkasa, Jibril segera melesat ke bawah sedikit ke arah utara dari tempatnya semula, utara...? ah Jibril tersenyum, arah..? arah ya arah, khayalan manusia saja arah itu. Sama saja dengan batas, semesta ini tak berbatas, semakin luas malah, mengembang ke segala arah. Atau juga langit, mana ada langit, manusia memang ada-ada saja. Tapi Jibril memang maklum, sama Tuhan manusia memang dibikin tidak terlalu pinter, wong sebodoh itu saja sudah keminter, apalagi kalau dibikin pinter. Walau kadang-kadang Jibril juga sedikit protes, kenapa Tuhan menyembunyikan identitas-Nya, memberi tahu manusia cuma setengah hati, celakanya manusia sok tahu lagi.

Jibril langsung menuju bukit Zion, dimana sudah berdiri Masjid indah berkubah warna emas, Al-Aqsa. Ribuan tahun yg lalu, Haikal Sulaiman pun tak kalah indahnya. Termangu di emperan masjid, Jibril melihat-lihat sekeliling. Tenteram dan tenang, adzan berkumandang, menyambut mega kemera an di ufuk. Jibril menyempatkan diri untuk ikut sholat berjamaah dengan manusia-manusia itu. Menyelam sejenak dalam keagungan-Nya.

Seusai salam, Jibril segera terbang berkeliling, melihat dari sisi ke sisi, perubahan demi perubahan sewarna peradaban, di sebuah kota yang menjadi sumbu kepercayaan. Di pinggir kota, Jibril melihat beberapa pemuda berlarian, sambil sesekali melemparkan batu, terdengar suara riuh, dari seberangnya sebuah kendaraan besar dari besi dan beroda bergerigi panjang berjalan pelan sambil sesekali memuntahkan suara-suara mengerikan. Beberapa pemuda tergeletak berlumuran darah, teriakan Allahu Akbar bergema dimana-dimana, kendaraan dari besi itu semakin dekat dengan rumah-rumah,beberapa manusia berpakaian hijau belang-belang keluar dari kendaraan besi itu dengan membawa tongkat yang sama dipergunakan oleh manusia di Darfur. Tongkat-tongkat itu diarahkan ke rumah-rumah di sepanjang jalan itu, Jibril melihat beberapa jiwa memisahkan diri dari raga dan segera melayang-layang di sekitar rumah.

Tontonan apa lagi ini, pikir Jibril. Belum lama dia melihat manusia berteriak-teriak Allahu Akbar membunuhi manusia lain, sekarang dia melihat manusia-manusia berteriak Allahu Akbar yang dibunuh. Jibril semakin bingung terbang melesat keluar kota, mencari tahu apa yang terjadi di kota yang dianggap suci ini. Pemandangan di kota lain tidak lebih menyenangkan, kendaraan2 besar merusakkan rumah-rumah dan wanita-wanita menangis, di sebelah sana Jibril melihat tembok yang panjang berkelo-kelok dan di sisinya dihiasi oleh kawat berduri. Jibril semakin tidak mengerti, ada apa dengan manusia ini, bukankah setelah wahyu terakhir dibisikkannya ke Muhammad, seharusnya manusia membangun jembatan, bukan tembok. Membangun persatuan, bukan perpecahan.

Jibril menangis lagi, kali ini tidak hanya setetes, deras seperti hujan musim gugur, sesenggukan dia meratapi misinya, sayapnya dikepakkan tanpa ritme, menimbulkan badai gurun. Hari tiba-tibamenjadi gelap, mendung-mendung bergulung membentuk rantai menakutkan, Jibril dipanggil Yang Kuasa...

"Aku tidak akan kembali lagi ke bumi" sumpah Jibril dalam hati.

No comments:

Post a Comment