About Me

My photo
JUST EVERY DAY PEOPLE

Wednesday, June 16, 2010

MELIHAT LANGIT



Semalam saya merencanakan hari, bangun pagi, mempacking buku buku penunjang skripsi dalam tas ransel export saya yang masih manis walau sudah saya beli 6 tahun yang lalu, membawa lepi dan kabelnya, menguncir rambut ikal saya, menjepit poninya kebelakang agar tidak menganggu eksistensi dahi saya yang ukurannya setengah dari dahi rata rata (NB : Ukuran dahi tidak mempengaruhi tingkat kecerdasan), membawa bantal, sebotol air putih, dan menuju loteng rumah dengan tampilan mahasiswi yang hendak ke perpustakaan.
I build my kingdom there, dengan kardus sepatu bekas yang ditumpuk vertikal dan saya fungsikan sebagai meja lepi dan bantal jikalau kepala saya sudah mulai pening membaca materi skripsi, saya mulai melakukan warming up, dengan membuat katalog buku yang perlu saya baca, saya mengurutkannya sesuai materi yang pertama kali dibutuhkan hingga finishing akhirnya. Karna satu satunya meja adalah dua tumpukan kardus sepatu bekas yang sudah menjadi hak milik si lepi, saya akhirnya mengambil posisi long beach, tengkurap dengan buku tulis di depan muka saya, saya mulai mengkatalogkan bacaan saya, angis diatas sini bukan semilir lagi, tapi semilir pangkat tiga, anak rambut saya mulai terbawa kesana kemari menyapu wajah saya, rasanya jadi seperti belaian, dan seperti yang anda kira, saya tertidur. Saya terbangun dengan posisi wajah keatas, Melihat Langit.

Saya (waktu kecil) memiliki visi, ahh jangan, terlalu gawat meyebutnya visi, sebut saja khayalan, tidak tidak, malah terkesan fantasi, hmm, sebut doktrin canggung, dan itu tentang Tuhan. Saya berumur dua tahun waktu adik saya lahir,jadi, mulai saat itu saya sudah belajar tidur tidak dengan ibu. Setiap malam saya berusaha mengcounter rasa takut saya, jadi saya membayangkan Tuhan, karna kata bapak saya, Tuhan adalah pemilik seluruh alam, jika saya mampu berkawan baik dengan Tuhan, maka saya ta perlu menguatirkan apa apa, tidak perlu menakuti apa apa. Dan Tuhan punya surga, begitu kata Bapak saya, surga yang menyenangkan siapa saja. Setiap malam saya mengimani doktrin canggung tersebut, doktrin yang memang sesuai dengan otak kecil saya waktu itu. Setiap kali tidur, saya membuat abstraksi Tuhan, dan surga, Tuhan yang saya imajinasikan waktu itu perempuan, berambut pendek, berbadan besarrrrr sekali (bukan gemuk, tapi besar, menginggat arti Allahuakbar adalah Tuhan Maha Besar), dan sangat baik, suka senyum, suaranya merdu. Tuhan punya rumah, besar berwarna putih dan merah muda, dengan bunga warna warni di halamannya. Pertama kali bertamu di rumah Tuhan, saya diberinya penyiram bunga, Tuhan bilang, Lintang, Tuhan minta tolong, sirami bunga ini setiap hari, sampai kapanpun kamu bisa menyiraminya, nanti kamu akan sangat senang saat melihar bungan ini berbunga, dalam hati saya ingin meminta, satu untuk saya bawa pulang, untuk ibu dan adik kecil saya yang baru lahir, namun saya terlalu takut untuk memintanya. Jadi, setiap malam saat hendak tidur, setelah mencuci kaki dan membaca doa, saya segera memejamkan mata saya, pergi menuju rumah Tuhan, cerita nya saya bisa terbang, lalu mengambil penyiram bunga dan melakukan tugas yang diamanatkan pada saya, menyiram bunga. Saya mendengar Tuhan bercerita banyak tentang dunia, Tuhan juga berpesan jika suatu saat aku menjadi perempuan dewasa, maka jadilah manusia yang baik, walau tidak selalu benar. Menjelang subuh, Tuhan memintaku pulang, lalu aku terbang turun dengan tergesa, hingga over landing dan gedebukkkk, saya terjatuh dari tempat tidur (dulu saya pengigau aktif dengan gerak tidur yang luar biasa heboh). Lalu saya bangun, mengikuti asal gerak sholat bapak ibu saya, lalu duduk di teras rumah memandang bintang jatuh (dulu, banyak sekali bintang jatuh saat subuh, itu sebabnya saya tak pernah mengkawatirkan tentang hidup, karna saya bisa make a wish setiap pagi, dulu, 21 tahun yang lalu).

Doktrin Canggung ini berlangsung cukup lama, saya bahkan sempat melihat bunga bunga di teras Tuhan berbunga, dan setiap subuh pula saya over landing, yang bunyi gedebukknya menjadi pengganti weker bagi bapak dan ibu saya, hingga saya masuk SD dan mengenal berbagai macam ayat dan hadis, saya kehilangan Tuhan berambut pendek saya, juga rumah Tuhan dengan warna pink dan putihnya, juga bunga bunga nya tentu. Hmff, saya mulai takut lagi tidur sendiri, karna sudah mengenal setan dan iblis, saya mau bertemu Tuhan berambut pendek saya, namun kata guru agama saya itu dosa, karna sirik, saya mengalami sindrom takut tidur sendiri. Hingga hampir tiap tengah malam, saya ndusel di antara bapak dan ibu saya. Ohhh, saya jadi takut berekspresi.




Lalu siang ini, saya kembali melihat langit, tidak dengan biru dongker yang terbias cahaya bulan dan bintang jatuh, namun biru terang dengan awan awan mengambang seperti mengundang sambil berkata cobalah tiduri aku, semua kepenatan saya sejenak hilang, melihat biru, blue that take me nowhere, sebuah tempat yang bahkan aku tak tau menyebutnya apa, tapi yang pasti damai, tidak ada kekuatiran saya akan lulus tepat waktu atau tidak, mendapat pekerjaan atau tidak, menikah atau tidak, hidup atau mati, sedih atau senang, hanya tenang. Seperti Rumah Tuhan berambut pendek saya dulu.

Saturday, June 12, 2010

Yang Klasik tapi tetap Pop-In

Mengamalkan sebuah wejangan memang bukan perkara mudah, mendengarkan dan mengatakan "iya memang" saat orang lain yang di kenakan wajib patuh pada wejangan itu, itulah yang paling mudah.
Kembali merekam saat saat bersama seorang sahabat, Mada namanya. Sahabat saya yang satu ini uniknya gak mufakat (meminjam jargon andalannya) , pribadinya lugas dan terpercaya seperti headline program acara televisi ternama, ceplas ceplos seperti cabe rawit yang pedasnya gak mufakat (meminjam jargonnya lagi), cerewetnya seperti kakak tua yang menghabiskan setandun pisang raja, namun baiknya minta ampun seperti dana pinjaman lunak. Suatu kala, teman saya ini bercerita tentang sesuatu yang merisaukan hatinya, seorang sahabat yang telah lama berkawan dengan dia mulai mengacuhkannya karna sudah bekerja di sebuah perusahaan bonafid, dia sebal bukan main, lalu saya bilang, that's life, terkadang ujian terberat manusia bukan dikala dia kesusahan, namun dikala dia berada dalam kesuksesan atau kebahagiaan, padahal dalam benak saya, saya juga sedih ketika beberapa kali mengalami hal yang seperti Mada alami. Lalu katanya lagi, "padahal aku gak pernah perhitungan ma dia, tapi dia perhitungan banget ma aku, sahabatnya sendiri, yah bukannya gak ikhlas, tapi..", iya saya paham apa yang mada rasakan, kalau saja pelajaran ikhlas ada mata kuliahnya, 6 sks seperti skripsi, dengan outline seperti misalnya apa pengertian ikhlas, ada berapa jenis ikhlas, apa fungsi ikhlas, bagaimana peranan ikhlas dalam kehidupan manusia, dan dijadikan mata kuliah wajib universitas, mungkin, setidaknya kami berdua, bisa sedikit mengaplikasikannya, namun, ilmu ini terlalu samar untuk di-outline-kan, pencapaiaannya pun sungguh subyektif bukan?, hanya sang personal dan Tuhannya yang mengetahui seberapa kadar ikhlas tersebut. Hmff,,aku ikhlas, sungguh, aku ikhlas, kata kata tersebut sudah seperti filantropi, atau label persepsi yang merujuk bahwa "baik sekali orang itu", atau mungkin hanya diksi lain dari kata "Pasrah"?, Who Knows?, setidaknya saya memaknai bahwa ikhlas sebaiknya diletakkan di awal, bukan di akhir, namun memaknai bukan bearti dapat mengaplikasikannya dengan baik, seperti yang terjadi selanjutnya dalam percakapan saya dengan Mada ini, Mada akhirnya mengatakan sebuah kalimat mujarab, "Yah, selama ini aku uda baik ma dia karna aku uda anggap dia sahabatku, kalo emang yang terjadi bukan sebaliknya, mungkin Tuhan akan membalasnya melalui orang lain", that's the key word, itukah sebuah konklusi dari usaha ikhlas mada? Atau hanya sebuah pelarian untuk membuat perasaannya sedikit lebih baik?, whatever she feels, namun sebuah pelajaran dapat saya tarik dari percakapan ini, bahwa usaha untuk membuat segalanya lebih baik adalah wajib, mau bener bener ikhlas, pura pura ikhlas, atau apalah lainnya, menurut saya itu bukan perkara penting, karna [lagi dan lagi], takarannya sangat sangat personal dan subyektif, yang penting mada dapat kembali lagi belajar berkonflik dengan perasaan sebalnya, lalu dia bisa mengambil simpulan bahwa ia akan tetap menjalin hubungan baik dengan sahabatnya tersebut, walaupun sahabatnya itu tidak melakukan hal yang sama. Terlepas dari konflik pribadinya dengan perasaan nya sendiri, Mada kembali ceria dan menyadari bahwa temannya bukan Cuma dia saja, selesai sudah masalahnya, setidaknya Mada selesai dengan dirinya.

Senang saya melihat mada yang sudah mencapai kebahagiaan batin (hahayy, maksud saya setidaknya dia sudah tidak sesek lagi, sebel perkara dicuekkin sahabatnya), senang saya mendapat pelajaran baru dari mada kalau rejeki bisa datang dari siapa saja, kapan saja, dimana saja, dan dengan berbagai cara, asal kita gak perlu kwatir dan ikhlas ma sang pengayom hidup [lagi lagi], pelajaran klasik yang selalu pop-in kan?, namun sudah saya nyana, kalau saya belum bisa mengaplikasikannya, saat hal serupa terjadi pada saya, sulit nian mengamalkan apa kata Mada sebelumnya, sulit nian memahamkan pada hati saya bahwa rejeki udah ada yang atur, hati saya selalu berontak, apalagi otak saya. Jika menurut kata teman saya, Nuran, dalam bukunya bahwa backpacking bukan masalah uang, tapi kemauan, pasti sudah dari dulu saya menghabiskannya untuk jalan jalan memuaskan keinginan hati, memenuhi janji saya pada mbak Titis untuk mengunjunginya di Purwokerto dan menemani mbak Devi menjelajah semarang yang baru dikenalnya empat bulan, atau mengunjungi sahabat yang bantalnya selalu menjadi tempat saya menangis [aku merindukan bantal itu], Mirani, di bumi Nangroe Aceh, ditempat dimana dompetnya kembang kempis, namun hatinya damai luar biasa karna ia bisa mengabdi, namun saya belum bisa sebebas nuran yang bisa kapan saja "meransel", istilah yang ia pakai untuk melancong, atau teman saya iin, yang mengganti gaji bulanannya dengan baju baju baru, atau mike yang menghabiskan gaji pertamanya pergi ke natasha skincare, ahh…itu semua karena saya termasuk orang yang terobsesi dengan buku tabungan [entah penyakit gila nomer berapa ini], karna ujung ujungnya, buku tabungan itu tidak diperuntukkan untuk saya.

Saya heran berat dengan bapak saya, gemar sekali ber-filantropi, walau ujung ujungnya saat beliau membutuhkan, belum tentu orang orang yang beliau bantu, ada untuk membantunya, bahkan jarang sekali. Menilik apa yang mada bilang bahwa mungkin saja bantuan itu akan datang dari orang lain, namun bapak saya punya sabda lain, beliau berkata "Insyaallah rejekinya datang dari sana [dari hasil ber filantropi maksudnya]", saya lalu jadi kagum berat, dan mulai bertanya, pernah tidak ya bapak saya itu menggerutu sebal menyesali filantropinya?, atau menulis tulisan tanpa tujuan seperti saya ini selain untuk mengurangi rasa sebal?, hmf, tapi yang pasti bapak saya selalu marah kalau ibu saya memprotes kegiatan filantropinya dengan alasan kebutuhan rumah tangga. What a wonderful couple beliau berdua itu. Pernah ibu bercerita, dulu, saat belum mapan secara materi, bapak bahkan pernah mengorbankan jatah susu kami [saya dan adik saya], untuk berfilantropi, sehingga ibu saya harus memasak air cucian beras [] sebagai pengganti susu. Ckckck…namun, apa kata beliau memang benar, banyak rejeki yang kami terima untuk selanjutnya. Berfilantropi memang bisa menjadi obat dikala kita sebal, dengan berfilantropi setidaknya kita menjadi sedikit lebih berharga karena sudah bisa membantu orang lain, terlepas dari pahal dan sebagainya, karna itu urusan Tuhan, namun kadang, ego kita susah diajak kompromi, perlu latihan berulang ulang agar bisa kompromi dengan baik, seperti bapak saya. Hmm, sedikit lebih baik saya rasa, jika memang untuk saat ini rejeki itu belum datang, satu hal yang selalu saya syukuri adalah bahwa saya termasuk orang yang masih bisa memberikan bantuan [bukan sebaliknya]. Tak perlu rasanya berpikir apakah nanti, saat saya mengalami kesulitan akan ada yang membantu atau tidak, nanti biarlah tetap menjadi nanti, tidak boleh berpikiran buruk pada Tuhan, kata bapak saya, yang terpenting adalah bagaiman semua pengalaman itu membawa kita menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya, meminjam introlude film X-Men bahwa Evolution always goes forward, dan Hamka bahwa arti bergerak adalah maju, jadi mari kita menjadi manusia manusia itu.

Jika seorang teman memotivasi saya untuk tetap menulis karna tulisan saya tidak kalah dengan teman teman lain yang telah menjadi penulis, saya hanya mengatakan bahwa menulislah yang memotivasi saya [karna keterbatasan saya untuk curhat verbal], maka menulis adalah cara saya untuk curhat. Terimakasih untuk teman teman yang selalu berusaha menjadi baik dan memberikan inspirasi, apa yang kalian lakukan tanpa kalian sadari telah memberikan manfaat untuk orang lain, walaupun hasilnya tidak terlihat langsung seperti bunga bank yang muncul tiap bulan, but trust me, bonus kalian lebih selebih lebihnya dari bunga bank, karna kalian membuat orang lain ingin menjadi lebih baik.
Bagi yang bersedia dan dengan senang hati meluangan waktu untuk membaca tulisan ini, anda telah ber-filantropi pada saya karna sudi mendengar curhatan saya, apalagi kalau turut memberi nasihat, he he he, karna saya tidak bisa memberikan balasan apa apa selain terimakasih, semoga rejeki anda karena berfilantropi kepada saya, datang dari siapa saja, dari mana saja, kapan saja serta dimana saja. Satu lagi, semoga kita termasuk orang orang yang sanggup memaknai dan mengamalkan ilmu ikhlas, yang klasik tapi tetap pop-in, dan entah kenapa saya masih merasa perlu menabung [menyiksa sekali penyakit gila tak bernomor ini, dikala saya ingin menghabiskannya untuk senang senang].

Friday, June 11, 2010

Belajar Mengumpat dengan J****K

Setelah secara literer bertemu dengan karakter Arai dalam seri ke 2 tetralogi Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, saya sungguh mati tergila-gila dengan karakter fiksi ini, sempat membingkai sosoknya sebagai criteria teman hidup (walau setiap kali ditanya tentang criteria teman hidup dan saya jawab yang seperti bapak, namun tetap saja criteria itu terbingkai dinamis dengan sendirinya saat bertemu dengan berbagai sosok teman lelaki). Karakter Arai yang cerdas, pengendali, setia kawan, peduli, norak namun menarik, agamis, real fighter, dan karakter “nyala” lainnya, benar membuat saya memimpikan sosoknya selama beberapa hari setelah membaca Sang Pemimpi, berteman hidup dengan lelaki seperti Arai layaknya seperti berteman hidup dengan asuransi keselamatan yang sudah dapat sertifikat GOLD ISO, walaupun tidak hidup dengan materi yang berlimpah, namun karakternya yang sangat nyala, saya patenkan, bahwa itu cukup buat saya (sembari mencari kecukupan yang lain tentu), dan saya iri sangat dengan Zakiah Nurmala.

Jika bukan fiksi, maka karakter lelaki seperti Arai yang mungkin membuat saya meruntuhkan gengsi saya yang setinggi gunung, juga yang membuat saya melanggar batas batas personal yang setengah mampus saya bikin dengan tidak mengiblati gaya romantis klise yang mereka sebut “Pacaran”, hmmm, kemungkinan 70% dalam skala 100%, saya akan dengan senang hati mencicipi gaya romantis klise ini [dibaca : pacaran], jika bertemu dengan lelaki seperti Arai, ya….jika bertemu lelaki seperti Arai, walaupun ia bergaya bohemian dengan gaya nyentrik sebagai refleksi dari free will, ataupun berambut gondrong dengan jeans belel yang membuatnya terlihat mbulak seperti pakaian yang dijemur akut sehingga warnanya menguap kena sinar matahari, juga lelaki yang berwajah kusam pertanda tak pernah mandi pagi dan melewatkan subuh dengan belek sebagai souvernir, sehingga ia [mengutip kata teman saya] tidak pantas diperkenalkan kepada orang tua. JIKA IA SEPERTI ARAI….saya mau.
Menikmati sosok ARAI yang imajiner memang tak pernah cukup buat saya, maka saya girang sebenar benarnya ketika seri kedua yang berjudul SANG PEMIMPI ini di layar lebarkan, dan betapa kecewa saya saat saya tau pemerannya adalah Nazriel Nurhaq (jika tidak salah eja), ahhh,,,,saya protes, saya marah, cuap sana sini menolak sesuatu yang [jelas] tidak penting, dan saya mengumpat dengan J..tiiiitttt…..Seorang teman yang sudah saya anggap seperti kakak saya sendiri kaget hampir mati, pasalnya, saya tidak pernah mengumpat dengan J****K, paling kasar umpatan saya adalah “ancrit”, selebihnya hanya berkata “Aku Sebel” atau “Emosi aku” berpuluh juta kali, sampai saya puas, lebih tepatnya capek.

Ternyata kepuasan mengumpat dengan J****K jauh berbeda dengan megatakan “Aku sebal 10ribu kali”, atau “Emosi Aku 10ribu kali”, juga mengumpat dengan kata Ancrit. Ada sebuah collective unconsciousness dalam masyarakat tempat saya tumbuh bahwa ungkapan J****K adalah sebuah manifestasi perasaan terdalam kita ketika menyingkapi sesuatu, ketika saya sebal terhadap sesuatu dan saya mengatakan J****K artinya saya sudah sangat benar benar sebal, sudah mencapai tingkatan paling tinggi, superlative dengan akhiran –est dalam bahasa inggris. Namun ada fenomena lain tentang J****K yang belum bisa saya pahami, teman saya mengganti kosakata Subhanallah dengan J****K saat melihat langit Lombok yang berwarna biru menyala, atau melihat perempuan cantik aduhai yang bodinya sebelas duabelas dengan Betty Bob yang pamornya redup semenjak ada kartun berwarna. J****K tidak lagi merepresentasi umpatan marah, sebal, dan jengkel, in some way and somehow, it becomes new word which represent any kinds of emotion. Bahkan J****K menjadi diksi manis dalam sebuah artikel yang ditulis oleh seorang teman saya, aura sarkasnya jadi hilang berganti cerkas, J****K bisa mewakili perasaannya dengan sederhana namun tepat sasaran, bisa anda rasakan bukan the power of J****K dalam kehidupan kita ?[yang akrab dengan J****K tentu saja].
Walaupun semur hidup akrab dengan J****K, namun kontrolkeluarga saya sangat kuat, walau pagi hingga saat siang disekolah dan mendengar teman teman mendendang J****K, begitu sampai dirumah akrab dengan wejangan bapak dan ikro’ yang diajarkan pak ustad, jadi, setiap kali id saya menyuruh ego mengumpat J****K, dengan tanpa aba aba ready stready go, superego saya langsung mengatakan, jangan itu tabu, lalu untuk kesekian kalinya saya urung mengumpat J****K. Karna, superego saya terbangun dengan perspektif bahwa J****K adalah kasar, tabu, dan tidak pantas digunakan karna tidak sopan dan diksi lainnya yang bermakna senada.
Hingga saya mulai belajar bahasa, teks dan konteks, mendadak J****K menjadi sangat ramah dan menarik, J****K yang multimakna mampu menjadi sebuah kosakata yang menjembati makna personal menjadi kesepakatan bersama bagi yang menggunakannya. Hmm, tapi apa yang akan saya ungkap selanjutnya ini, J****K hanya akan terkode dalam satu makna, MARAH.

Mengutip dengan tambahan, kata seorang dosen saya, pantas saja Ariel bisa begitu mudah menggagahi berpuluh perempuan cantik, artis lagi, yang eksesnya bukan saja penyakit kelamin, hamil, atau patah hati saja, namun juga image dan mata pencahariaan, belum lagi perceraian dan hukum rajam bagi Cut Tari, kata beliau selanjutnya alasannya karna Ariel ganteng, kaya, dan menarik. Ah, peduli mampus tentang perzinahannya dengan berbagai perempuan itu, karna menurut saya, bercinta itu manusiawi dan naluriah, dan itu adalah hak personal setiap manusia, mau halal atau tidak juga tergantung konteks bukan?, namun mendokumentasikan dan akhirnya tersebar luas seperti sekarang ini [yang kata teman saya adalah penyakit gila nomer 69], benar benar keterlaluan, jika sampai kasus ini berlalu begitu saja, maka control social mayarakat kita sudah benar benar J****K. Permasalahan sesungguhnya [bagi saya] bukan perkara dosa atau tidak dosa, pantas atau tidak pantas, sopan atau tidak sopan [karna sudah jelas] , namun lebih kepada bagaimana kita memanusiakan diri kita. Jika control social kita rendah terhadap hal semacam ini, bukan mungkin jika beberapa tahun kedepan orang orang akan bercinta di sembarang tempat adalah hal yang lumrah, seperti orang kencing sembarangan yang menyebabkan bau acem sehingga pemerintah merasa perlu menulis jargon “Jangan Kencing Sembarangan” di setiap dinding fasilitas umun, juga bukan mungkin jika suatu saat jargon tersebut akan ditambah dengan jargon “Jangan Bercinta Sembarangan”, hmmm, bau seperti apa kiranya nanti yang tertinggal ya?.

Saya benar benar acuh pada seputar aktivitas seks Ariel, namun selain ekses yang ia timbulkan dari penyait gila nomer 69-nya itu, yang benar benar membuat saya meresapi berkata J****K adalah fakta bahwa dia yang memerankan ARAI dalam sang pemimpi, menang piala lagi. Saat pertama kali saya tau dan dengan yakin kalau ariel tidak pantas jadi ARAI, teman saya mengatakan kalau ariel memiliki struktur rahang yang tegas seperti ARAI, and for my respect to my beloved moviemakers, Miles dan Riri Reza, dengan berat hati saya menerima ariel sebagai ARAI, dan ternyata benar, dia benar benar menodai sosok ARAI yang kultus [setidaknya bagi saya], sungguh tak rela ku tak rela, namun bagaimana lagi, sekarang saya harus kembali membangun sosok ARAI dan benar benar lepas dari wajah mesum ariel.

Sebal saya sebal dibuatnya, melihat saya menceracau penuh emosi sambil memukul mukul meja, adik kos saya melihat dengan takjub seakan pandangan matanya berkata, betapa ARAI sangat bearti buat kamu mbak, namun semua itu masih belum cukup puas sampai saya belajar mengumpat dengan J****K, libas sudah superego saya, mengalahlah sekali ini dan biarkan si id menang, jadi, ”Jancuk sejancuk jancuknya untuk ariel”.

Hwaa..lega, selesai sudah pelajaran kali ini.
Perntanyaan : Ada berapa kata J****K dalam tulisan ini?

Maaf untuk yang tidak berkenan dengan kata J****K, setidaknya kita tahu bahwa J****K bukan dibaca J bintang 4 kali K. Terimakasih sudah meluangkan waktu untuk membaca,, ^^

Wednesday, June 9, 2010

ALWAYS A NU DAY

Pernah terpikir bahwa kita adalah budak waktu?
umur 7 tahun harus masuk sd, enam tahun terperangkap dalam lembaga yang berlegal pendidikan dengan konstruk yang memerangkap mati kreativitas karena selama 6 tahun mengulang pelajaran yang bahkan ketika di SMP kita sudah lupa apa itu aljabar, setelah itu SMP, lalu SMA, dan umur 21 harus sudah lulus S1, kalo mau terus belajar ya lanjutin S2 kalo ndak ya cari jodoh trus nikah....

Sempat juga benar-benar menjadi budak, ketika kuliah semester akhir dan mau lulus, lalu pikir sana pikir sini cari kerja sana sini, saya membuat target dalam hidup saya, kapan saya harus bekerja, umur berapa saya harus mulai belajar serius dalam hal asmara, dan prioritas-prioritas awam yang menjadi sebuah tonggak keidealan hidup pada akhirnya.

Namun, saya jadi tidak bisa menikmati hidup, setiap bangun pagi melihat kaca, ada wajah kusut masai yang harus bertarung dengan dinginnya air pagi dan malasnya bangun pagi untuk mengejar waktu-waktu yang ternyata terlewat begitu cepat.....

Saya sampai lupa pernah bercita-cita, pernah bermimpi to be some body....

Hingga pada minggu pagi saat saya berjodoh dengan waktu senggang saya dan sebungkus silverqueen cashewcrunch.....
Mulai lah saya menulis, karena ada yang bilang bahwa menulis adalah jalan menuju kelahiran, kelahiran lagi...

a nu day..always a nu day.....
kita tidak pernah tahu kemana waktu membawa kita, kapan mengentaskan kita dari tempurung tempurung purba....
kita tidak pernah tahu kecuali kita mau tahu....

a nu day..always a nu day....
hanyalah sebuah coretan iseng yang berhasil mencerahkan setidaknya otak saya sendiri..bahwa waktu membawa saya pada sesi sesi hidup yang terefleksi dalam sebuah cita-cita.....

may you enjoy it.....

a Nu Day.. alWays a Nu Day….

Kata Andrea Hirata, tidak ada satu kebetulan pun di dunia ini, fakta adalah sebuah desain holistik hidup yang terajut sempurna sehingga cukup pantas merepresentasi istilah “Takdir”. Aku tak pernah menyangka bahwa aku ada di moment ini, momentum-momentum yang walaupun tidak quantum berhasil membuatku lompat dari tempurung-tempurung manusia purba. Sebulan sebelum wisuda sudah dapat kerja, sebuah pekerjaan yang bikin aku harus selalu up-grade diriku, pergi ke tempta-tempat yang semula hanya aku liat di TV dengan gratis dan dibayar pula, bertemu dengan orang-orang baru dan relasi-realsi baru. How amazing is it, tidak salah ketika aku menulis kolom cita-cita di diary pertemanan sewaktu aku SD (baca : CITA-CITA : P R ) Public Realation, sebuah istilah yang terdengar canggih, istilah yang aku dapat waktu baca majalah Femina milik mama. Saat ada teman yang tanya. :Lintang, P R itu apa?”, lalu aku jawab “Public Relation”, trus dia tanya lagi “Public Realtion itu apa?” lalu aku jawab, “Public itu umum, relation itu hubungan, jadi hubungan umum, jadi nanti kerjaan nya berhubungan dengan yang umum-umum..” kata saya sok tau sok ngerti sok paham, lalu dengan wajah malaikat nan polos dan menggemaskan teman saya bertanya lagi “WC umum juga?”, mataku nanar, menerawang mencari-cari jawaban dalam bola mataku yang berusaha menemukan alis mataku, tak kutemukan juga, jadi aku hanya bisa membayangkan, dengan bibir manyun dan alis mata yang tumakninah berkernyit menengah, aku menyahut “Ya enggak lah..!!!!”, aku marah, berusaha menekankan bahwa Public Relation tidak ada hubungan dengan WC umum. Lalu teman saya itu bilang, “Tapi kan ada umumnya,,,!!”. Aku langsung nge-Drop…..sembari berpikir apa benar ya stateement temenku, kalau memang benar, aku akan merubah haluan cita-citaku, mumpung waktuku masih banyak.
Jadi, karena terbayang -bayang dengan WC umum, aku memutuskan untuk merubah cita-citaku, menjadi GURU SD, cita-cita itu tercetus ketika aku membeli buku biografi IBU KITA KARTINI : Habis Gelap, terbitlah terang, dan setelah aku melihat tayangan lagu Hymne GURU di TVRI yang video klipnya mempertontonkan seorang bapak guru yang berjalan di rel kereta api, belum lagi lagu Oemar Bakrinya Iwan Fals, semakin bulatlah tekadku untuk menjadi GURU. Aku mulai semangat mengajari adikku belajar dan mengerjakan PR, juga tentangga-tetanggaku yang masih dibawah umur, amboiii….susahnya, adrenalinku seperti selalu ingin muntab saja, aku yang tak pandai menstransformasi ilmu atau murid-muridku yang memang daya tangkapnya bak parabola kebalik, tapi yang pasti, traningku dalam mengenyam cita-cita mulia sebagi guru “GAGAL”. Untungnya jaman itu belum ada Bu Muslimah atau Pak Kepala Sekolah yang merangkap sebagi pemulung dalam eagle award, kalau sudah ada, mungkin aku akan merasa berdosa seumur umur karena dengan mudahnya menyerah menjadi guru.
Cita-cita selanjutnya adalah menjadi arsitek, penikmat keindahan seperti aku ini sepertinya cocok jadi arsitek. Lagi-lagi karena membaca majalah Femina, di rubrik Konsultasi Rumah, yang isinya tentang konsultasi denah-denah efektif dan fungsional, didukung lagi dengan komentar mama yang mengatakan bahwa kamarku cukup artistik dan kepedulianku menata barang-barang di rumah. Setelah cukup lama hidup manata nata dan membaca-baca femina, aku menemukan cita-cita baru “Desain Interior”, lebih manis, feminim dan sophicticated. Berita buruknya adalah, tiba-tiba aku memutuskan untuk merubah kembali cita-citaku tanpa alasan yang jelas, tiba-tiba saja aku ingin menjadi wartawan. Hal ini bermula ketika aku menjadi relawan korban bencana banjir di kotaku, disana aku bertemu wartawati kawakan salah satu televisi swasta ternama “Amanda Manuputi”, kok kayaknya keren gitu. Dan akhirnya aku menasbihkan cita-citaku sebagai seorang wartawan. Tapi sepertinya tidak ada tanda-tanda yang jelas aku berbakat menjadi wartawan, ini terbukti ketika aku SMA kelas satu, saat aku mengikuti ekstrakulikuler jurnalistik dan diklatnya diharuskan memakai rompi dari koran, ID card bertali rafia, topi segitiga dari koran, berjalan seputar jalan jawa menjadi kuli tinta. Langkahku terhenti di sebuah counter HP dengan nama SONIC CELL, saya masuk dengan sopan berseling intermezzo “Assalammualaikum mas”, lalu si mas menjawab, “Waalaikumsalam dik, ada yang bisa dibantu?”, ujarnya ramah, lalu aku menjawab dengan sopan, lugu dan super duper bodoh “Iya, mas, sya ini diklat jadi wartawan sekolha, saya dihrauskan cari berita, nah pertama-tama, saya nanya mas, counter ini kapan berdiri mas..? trus si mas menjawab “Kalo enggak salah tanggal 10 februari deh,,?” jawabnya..”Ohh..!!” kataku. “Trus….(jeda agak lama)….trus….(sambil mainin bulpen)…..trus…..(begaya sibuk bolak balikin notebook)……trus…..(begaya innocent sambil nempelin ujung bulpen ke dagu)……trus….tanya apalagi ya mas?” Akhirnya, pertanyaan mujarab itu meluncur ringan dari mulutku, tanpa tedeng aling-aling sumpah bikin malu. Akhirnya si mas dengan sabar atau lebih tepatnya heran, menceritakan tentang asal muasal counter itu berdiri. Aku ng-Drop lagi, apalagi ketika aku berkesempatan mengunjungi KPK dan melihat fakta sesungguhnya tentang wartawan, bahwa ternyata wartawan akan duduk berjam jam dengan ditemani kamerawan dan bolpoin serta notebook hingga sang narasumber datang. Wah..pekerjaan berat sepertinya, dengan start jongkok tanpa aba-aba aku merubah cita-citaku.

Coba tebak yang sekarang apa hayo?

Masih tentang kangen dan….maaf !!!!________ [sebuah dedikasi kecil untuk Bapak]

Malam ini, ditemani oleh king of convenience dengan riot on an empty street nya, kembali berbagi cerita dengan teman semua, mungkin hanya sebuah luapan rasa, mungkin saja sekedar hal konyol, atau mungkin sesuatu yang jauh lebih menarik. Apapun itu, aku hanya ingin berbagi dan semoga bermanfaat……

Ada yang menarik tentang hari ini, (selain suara sumbang adikku yang menyanyikan medley lagu lagu berikut : Out of my head-fast ball, Fireflies-owl city, dan America Suite Heart- fall out boy, menarik karna adekku jarang bicara, apalagi menyanyi, dengan semangat dan suara dan nada yang, maaf, kacau meracau), ada sebuah kejadian biasa yang bermakna sangat luar biasa. Seperti malam malam kemaren, aku dan seorang teman ngobrol dibalik pintu dapur, bercerita tentang masa masa indah yang dengan murah hati mampir dalam kehidupan kita, sambil menunggu para pelanggan kafe, kami, bercerita tentang harapan harapan masgul kita, lalu kembali tertawa konyol menertawakan semua kisahan khayal kita saat terbentur dengan sebuah kata “Realita”….hmm, sebuah moment yang dengan sangat pasti aku rindukan suatu saat nanti. Sejurus kemudian bapak datang, lalu aku keluar dengan terburu, cemas akan suatu kabar yang mungkin penting, karna sempat sekali beliau mencuri waktu istirahatnya yang hanya beberapa jam datang kekafe, jadi pasti ini sesuatu yang cukup penting beliau lakukan, lalu dengan terburu aku keluar dan bertanya pada beliau..”ada apa pa?”,,,,dengan sungging senyum sekilas, sambil mengelus kepalaku, beliau hanya berkata “nggak ada mbak, sudah lama papa nggak liat kamu….”. Ouch…betapa mungkin aku menganggap bahwa itu adalah hal remeh temeh, aku terharu, sedikit terputar hari hari lampau selama sebulan, memang beliau benar, aku bahkan hanya melihat bapak dan ibuku ketika beliau berdua sudah terlelap dalam malam yang menawan, atau siluet bayangan ibu di pagi hari yang menyebutkan tentang tugas rumah tangga yang harus kulakukan di hari itu, siluet ibu yang kudengar dengan mata terpejam dan kujawab dengan deheman malas, siluet ibu yang bahkan kupikir sebuah mimpi. Ketika Louis Tolstoy bermaklumat bahwa “Tuhan tahu tapi menunggu”, tentu saja bukan sekedar maklumat iseng yang ia temukan pada saat ngupil di kamar mandi atau pada saat berdiri dalam sebuah antrian, terlepas dari semua yang dialami Tolstoy sehingga menemukan sintagma manis itu, malam ini, aku seakan kembali diingatkan tentang semua itu, iya, Tuhan tahu tapi menunggu. Mungkin tepat sekali seperti yang dialami bapakku, ia menunggu aku memahami semua ucapannya ketika aku masi kecil dulu, menunggu aku menyesali kata2 argumentatifku saat aku mencoba mencari pembenaran atas kesalahanku, menunggu aku memahami makna makna kehidupan dengan membiarkanku mencarinya dimanapun aku berada, bapakku tahu bahwa Tuhan tahu tapi menunggu. Kembali ku coba raba kenagan jaman lalu, saat saat aku berdebat dengan bapak tentang sangatlah penting arti menjaga silahturahmi, pada waktu itu beliau pernah marah sambil berkata “Kamu itu Lin, belum jadi apa apa sudah sombong…..!”, rasanya tak perlu aku ceritakan apa yang selanjutnya terjadi, mari kita lihat sisi yang lain, sisi sebab mengapa beliau berkata seperti itu, hal ini karena aku lebih mementingkan rapat organisasi daripada acara berkumpul keluarga. Dulu, aku menganggap bahwa beliau sangat egois, aku selalu beranggapan mengapa sarana aktualisasiku dibatasi, dan segala sesuatu yang buruk sangka, namun, suatu ketika beliau berkata, “apapun, asal jujur…..!”, hmmm….jadi ini masalahnya, aku kurang pandai mencuri waktu untuk LPJ (laporan pertanggungjawaban jam jam diluar keluarga). Lalu untuk selanjutnya, aku selalu bercerita tentang hariku di kampus, di organisasi dan di luar itu semua, disela sela waktu dimana kami bisa bersama, saat sarapan pagi, atau jam2 setelah waktu maghrib. Aku mengundang semua teman temanku datang kerumah, aku perkenalkan semua kepada bapak dan ibuku, sekali waktu mengajak beliau berdua untuk berbincang bersama tentang hal hal kecil yang seringkali mengundang tawa. Sejak saat itulah, bapak dan ibu mulai mempercayaiku, selama tugas utama untuk kuliah tidak terabai, maka sisanya terserah aku, asal bermanfaat.

Sekali lagi coba kuingat tentang bapak, bapak yang selalu menyempatkan diri mengunjungi teman temannya di berbagai kota di sela sela harpitnas nya, bapak yang dengan mata lelah tetap menyetir berjam jam hampir setiap minggu untuk mengunjungi nenek di Surabaya ataupun Bojonegoro, bapak yang dengan muka kusut tetap dengan kekeh mengajak kami, anak2nya dan anak2 kos untuk keluar makan bareng, walaupun diujung meja makan beliau hanya makan tahu goreng dan memandang kami yang tertawa bahagia, bapak yang dengan dengkur keras dan wajah lelahnya tertidur nyaman di kursi goyang, bapak yang selalu rewel ketika aku lagi dan lagi memilih sepatu datar daripada hi-hell, bapak yang selalu dengan sabar memijat telapak tanganku dikala aku sakit gigi, bapak yang selalu menyambut aku diketiaknya ketika aku mimpi buruk dan beringsut menuju kamarnya untuk sekedar mencari sebuah rasa aman, bapak yang selalu memandangku dengan damai, walau aku tahu dimatanya ada rasa cemas, rasa kawatir, rasa kangen, namun dipendamnya rasa itu dilubuk hatinya yang mungkin paling dalam, hanya untuk melepaskan ego liar anaknya ini yang berangan angan mencari mimpi dan menyentuh nyata. Aku merindukan mata itu, sebuah binar bangga yang pernah kulihat saat aku berhasil masuk kelas unggulan di SMP, sekarang aku sulit nian mencarinya, ekspektasikukah yang terlalu tinggi sehingga aku tak mampu lagi mengais kemegahan dalam kesahajaan? Ataukah memang tidak ada binar bangga itu?, Atau mungkin waktulah yang tak lagi menyempatkaknku mencari cari binar itu. Kini aku mulai paham semua yang bapak ujar dalam perjalanan keluarga kami, tentang pentingnya sebuah silahturahmi, bahwa silahturahmi membantu kita tetap mengakrabi kesederhanaan, sebuah jembatan jaman yang tak pernah roboh oleh gerusan waktu. Aku sangat menyanyangi beliau, aku selalu mencari jalan tengah antara inginku dan ingin beliau agar tak perlu lagi kulihat kekecewaan di raut wajahnya. Tidak, cukup satu kali saja. Kemana saja angin berhembus, aku selalu ingat beliau, selalu merindukan telepon beliau tepat jam 10 malam jika aku belum dirumah, sebuah telepon yang terakhir kudapat saat aku semester 3. Kata kata wajib beliau ketika kami mengunjungi mall mall atau tempat mahal lainnya, “Belajar yang baik, biar dapat pekerjaan yang baik, lalu dapat uang yang baik, sehingga bisa beli apapun yang kamu mau, jadi kalau ke mall gak cuman melongo”. Tidak ada yang bisa menggantikan sabda bapakku, tidak juga Mario Teguh. He’s the one. Selalu ada hari ayah dalam hari hariku, hari dimana aku selalu mengingat beliau.

Sebuah dedikasi kecil untuk Bapak, maaf untuk tidak berada dirumah saat bapak pulang, maaf untuk tidak lagi membuatkan temulawak atau teh rosella, maaf untuk semua masa yang terlewat begitu saja, maaf untuk semua bantahan bodoh atas wejanganmu, maaf beribu maaf untuk tidak lagi menyertaimu dalam perjalanan ke rumah embah, maaf pa, maaf. Aku hanya berharap bahwa semua ini akan selalu bermanfaat untuk selalu membuatmu tersenyum bahagia melihat aku membahagiakanmu. Maaf. Love u always…….

jika mulai kangen

Aku takkan pernah tahu, jika pagi kemaren aku akan mengalami saat saat ini....dengan mata penuh belek, jilbab yang tak lagi terpasang rapi, hidung merah tepat diujungnya, naik becak dengan menenteng tas penuh barang lusuh, plus celana dijinjing sepertiga betis....tak lagi juga tahu,,jika aku bisa belajar banyak dari orang orang disekitarku, wajah cerah bekas tidur semalam dari para wanita penjaja sayur, sisa sisa kelelahan abang becak yg rupanya bergadang semalam menunggu penumpang, hingga kuku kuku rusak menguning milik tukang jamu yang tercat sempurna oleh kunyit dan parutan.....aku takkan pernah tahu,,,tidak....jika ku tak mencari tau

Aku takkan pernah tau, bahwa aku bergabung dalam perusahaan jasa yang neonboxnya selalu kulihat takjub 3 tahun lalu, aku tak pernah tau bahwa aku sampai ke pegunungan dieng wonosobo dengan serombongan bus penuh peserta yang marah, aku takkan pernah tau bahwa aku akhirnya melihat dengan mataku sendiri anak2 dieng yang berambut gimbal, meminum dan mencuci muka dengan air awet muda (katanya), melihat danau tiga warna yang terbias sinar mentari, aku tak pernah tau bahwa aku mengunjungi bali berkalikali, aku takkan pernah tau bahwa akhirnya pergi ke ibukota berkalikali dengan gratis, aku juga tak pernah tau bahwa aku dengan nekat pergi ke ibukota dengan menumpang kereta kelas ekonomi seharga 36ribu, bertahan selama satu hari dipojok tempat duduk, belajar maen poker dan remi, melihat penjaja minuman bandung yang geulis dan ganteng (seharusnya mereka bisa jadi model),,aku tak pernah tau bahwa pada akhirnya aku mulai kangen, kangen dengan situasi tak terduga di lapangan, kangen bersepeda motor ke tulungagung melewati waduk karangkates dengan rintik hujan dan jas hujan yang selalu terpasang, kangen nonton laskar pelangi di 21 matos sambil bertelanjang kaki, kangen menyusuri rel kereta yang kumuh oleh pemimpi hidup,kangen makan nasi pecel garahan sambil dikejar waktu laju kereta, kangen menghirup bau kembang kopi yang harum, kangen dengan masakan mbak sih dan jilatan ludah mbah tin di jidatku ini, kangen dengan bincang malam kami tentang hidup sambil menghitung bintang....kangen dengan saat yang tak pernah kutau akan menjadi nuansa rindu

Aku takkan pernah tau, bahwa distro baju yang kukunjungi 3 tahun yang lalu kini menjadi tempatku berproses, aku takkan pernah tau..jika kecintaanku pada ritual "ngopi" membawaku pada momentum ini, yah momentum momentum yang walaupun tidak quantum,,tapi aku sungguh sangat bersyukur, aku tidak akan pernah tau, bahwa ternyata dia yang pernah aku kagumi juga kagumiku,,aku juga tak pernah tahu, bahwa setiap rasa yang menghampiriku serupa permen pletok yang selalu berubah, kadang ramai, kadang senyap, aku takkan pernah tahu,,,,bahwa hidup hanya perlu dititi...tidak....jika ku tak mencari tau


Aku takkan pernah tau, jika malam ini aku menjamu seluruh keluargaku di kafeku, membuatkan mereka nasi goreng dengan jamur krispi plus rosbery, mendengar canda tawa mereka dari bilik dapur kafeku yang sempit,menilik sekilas senyum bapak dan ibu yang sungguh bahagia bercanda dengan adik dan saudara lain, mencoba menggapai kembali rasa rasa itu, meraba raba romansa lama yang kembali mengetukku, mengimingiku dengan candu manisnya kebersamaan, tentang sebuah cinta tulus yang selalu aku nyamani,

Kini aku mulai kangen, dengan dering telepon bapak yang bertanya "mbak,,lagi dimana?, hati hati dijalan yah"....kini aku mulai kangen, dengan dering sms ibu yang menuliskan "mbak, sudah malam, ayo pulang, hati hati di jalan,," kini aku mulai kangen, dengan bincang malam kita, aku dan adekku yang berdebat tentang posisi snape dalam Harry Potter tentang perannya sebagai agen ganda,,kini aku mulai kangen, dengan tawa kami gadis2 danau toba 47 ketika menyaksikan aksi momoypalaboy, kini aku mulai kangen, dengan krim malam dan kasur nyamanku,,kini aku mulai kangen dengan kehidupanku yang aku tak pernah tau akan tertinggal sebagai nuansa.....kangen....kangen dengan bentak bapak yang benar iya merefleksi rasa sayangnya padaku, kangen dengan omelan ibu tentang vitamin yang harus aku minum, kangen dengan ejekan adek setiap kali aku menonton Armageddon dan menangis,,,,kangen....kangen dengan bincang malam kami sambil ngecor atau kopitan....

Kangen..but this is life, and life just need to pass by....so here iam....never regret those passed time for not coming back, i am just able to miss it....aku hanya mampu untuk kangen, merekamnya erat dalam otak ku, memutarnya kembali jika kangen, tersenyum dan menangis mengingatnya....lalu kembali lagi pada pijak nyata....this is life just need to pass by...so..here i am.... :)

Always miss this beautiful moment
NB : Terimakasih untuk orang2 berwajah tulus yang selalu mengingatkanku untuk bersyukur, terpujilah kalian,,,,

belajar untuk lebih hidup

Mencoba belajar lagi tentang kehidupan, mencoba kembali merasai nuansanya, merangkum kembali mozaik mozaik jingga yang terus saja meninggali nuansa abu abu. Kita tidak akan pernah sadar bahwa penghidupan hidup sangat dekat dengan kita, terlampau dekat, hingga mungkin kita tak pernah menyadarinya, penghidupan hidup adalah diri kita sendiri, diri kita saat selalu mencoba dan mencoba memaknai setiap fragment fragment kehidupan dengan lebih dekat. Dee menyebutnya dengan jembatan jaman, jembatan yang selalu menghubungkan kita dengan diri kita sendiri dan kehidupan di sekitar kita, jembatan jaman yang tidak pernah peduli jaman, jembatan jaman yang bernama kesederhanaan. Hmm….takkan bisa diuangkap bagaimana rasanya merasai segala sesuatu dengan sederhana, tidak ada lagi ketakutan akan ambisi yang membuncak dan bikin diri kita bergidik, ambisi yang bahkan membuat kita tak lagi mengenal diri kita, ataupun orang disekitar kita. Hingga pada akhirnya segala sesuatunya terbangun palsu, mulai diri kita dan orang orang di sekitar kita.
Mencoba belajar kembali tentang kehidupan, dan itu bukan tentang hidup untuk makan atau makan untuk hidup saja, dan itu bukan tentang kesempurnaan, bukan juga tentang keidealan, hmmm…..bukan juga tentang kesederhanaan, dan ternyata bukan juga tentang keindahan…..jika boleh merangkumnya dalam satu kata, Life is messy, hidup itu berantakan.
Hidup itu berantakan, untuk menuju keteraturan. Chaos to order, seperti ketika bermain Rubik, kita harus merusak sisi putih kita yang terbangun sempurna untuk akhirnya menyelesaikan lapis pertama dalam kubus berwarna itu, merusak satu sisi dan disaat yang bersamaan sisi sisi yang lain akan memperbaiki dirinya, kita akan membutuhkan logaritma logaritma yang tepat untuk itu, merusak sebuah tatanan sederhana untuk menuju tatanan selajutnya yang lebih kompleks, hingga tatanan tatanan yang terbangun itu telah settle dan kita tak perlu lagi merusaknya. Just like a life, ada yang menemukan logaritma yang tepat sehingga tak perlu terlalu banyak merusak dan segera mencapai keteraturan, namun ada juga yang harus berkali kali mencoba sehingga harus berkali kali rusak untuk menuju keteraturan. Hmmm, proses itu bukan tentang salah atau benar, bukan tentang pintar atau bodoh, dan terlalu naïf jika menamainya takdir (walau memang begitu), proses itu adalah milik kita sendiri, hak istimewa setiap manusia untuk mengalami, tanpa perlu ada penghakiman dangkal tentang rumus ideal hidup yang dengan sok meluncur dari mulut mulut konvensional yang tak pernah berpikir tentang hidup yang bermakna, mulut mulut konvensional yang mematok keidealan hidup dengan slip gaji bulanan, mulut mulut konvensional yang menganggap dirinya benar benar mengenal hidup, ah…tidak, mereka hanya mengenal ritual, mereka hanya mengenal hidup sebagai hal ritus. Hidup itu berantakan, hidup itu relative, hidup itu hak personal manusia. Hidup itu adalah kita.

Mencoba lagi belajar tentang kehidupan, memulai dari sebuah mimpi tentang hidup yang ideal [ukuranku], yang ternyata terbentur tentang hidup yang ideal lainnya [ukuran mereka], lalu mulai limbung mencari yang terbaik [diantara aku dan mereka], dan belum juga menemukan. Mencari maknanya dengan nonton film sarat makna, beh….bagaimana mungkin mengiblati kehidupan yang bahkan bukan milikku?, Lalu mencoba berpikir sederhana, memulainya dengan mengumpulkan botol bekas soft drink 200ml, melabeli mereka dengan bahan pokok penunjang cita cita, botol pertama tertulis “Travelling”, botol kedua tertulis “Having Fun”, dan yang ketiga tertulis “Books”, menyisihkan isi dompet dengan membagi ketiganya rata, dan maaf jika di akhir bulan aku harus menghianati salah satunya (atau ketiganya), botol botol penunjang mimpi, mimpi yang mungkin saja hanya berakhir di buku harian, mimpi yang mungkin saja hanya berakhir ketika aku mulai mengusap belekku, mimpi yang mungkin saja berakhir ketika aku terbekuk oleh konvensi hidup. Terlepas dari itu semua, aku tak pernah menyesal karna telah bermimpi, dan lebih lagi karna terlah diberikan kehidupan. Hidup dalam sebuah kehidupan yang kompleks, hidup dalam sebuah kehidupan yang sangat berwarna dan bukan tentang putih hitam saja, sebuah kehidupan lain yang mengijinkanku untuk membacanya, memaknainya hingga sangat, mencoba menjadikannya sebuah pengalaman spiritual untuk lebih mengenal sang hidup, sebuah kehidupan yang menyadarkanku untuk lebih dekat dan lebih dekat lagi pada bumi, lebih dekat lagi pada hidup, lebih dekat lagi pada kehidupan, sebuah kehidupan yang mengajarkanku tentang tidak pentingnya mengukur, menghakimi, mencela, menasehati, kehidupan yang mengajarkanku tentang pentingnya mengerti untuk memakna.

Terimakasih untuk teman teman yang mengijinkanku menjadi bagian dari kalian, dan jika kita masih bisa bersua dalam kejujuran, maka beribu maaf kuungkap atas semua hal tentang diriku yang tak berkenan dalam hidup kalian, sangat beruntung mengenal kalian semua, jika mereka berkata bahwa pelajaran terbaik adalah pengalaman, maka kalianlah pelajaran terbaikku…..
Terimakasih untuk menjadi jujur didepanku walau tak pernah ada alat ukur untuk kejujuran, terimakasih telah membuka hidup kalian padaku dan mengijinkanku menjadi pendegar dari sebuah kisah hidup yang terindah. Terima kasih untuk semua cerita, waktu, tawa, tangis, dan kehidupan yang hidup.
Terimakasih untuk momentum momentum berharga itu, maka aku tak perlu mengelilingi dunia, tak perlu mencoba selinting rokok A mild, untuk merasakan hidup lebih hidup….