About Me

My photo
JUST EVERY DAY PEOPLE

Monday, March 12, 2012

it is called revelation : begitu saya coba memaknnai kehilangan ini

Saya percaya bahwa kehilangan dan keniscayaan itu bertalian begitu erat. Maka mungkin benar apa kata seseorang, bahwa janganlah memiliki jika tak siiap kehilangan. Namun kepemilikan itu sendiri datang begitu saja, sebuah keindahan yang kita tak pernah sanggup menolak. Dan, laiknya simalakama, kehilangan pasti akan sedia mengintai kemanapun kepemilikan pergi. Maka, laiaknya bumi yang berputar, kehilangan dan keniscayaan itu bertalian begitu erat. Kali ini, saya akan mencoba menceritakan kehilangan tanpa sedu sedan, cukuplah menangis sekedarnya, hidup membutuhkan lebih dari sekedar air mata. Saya mengalami 3 kehilangan terbesar dalam hidup saya. Kehilangan pertama adalah ketika yang kung dari pihak ibu meninggal. Kehilangan yang heroik, saya masih ingat melihat selang selang ditubuh beliau, juga nafasnya yang tersenggal. Yang kung saya pensiunan polisi, badannya tinggi besar dan kulitnya putih cerah. Ibu bilang, yangkung saya itu ber nenek orang belanda, mbah benci (dengan 'e' lebar kayak medan) nama buyut saya. Dan jangan tanyakan kenapa darah bule itu tidak sedikitpun menurun pada saya, karna jika iya, maka foto saya tidak hanya terpampang pada buku pedoman pendidikan sebagai pengajar, melainkan menghiasi cover majalah vogue dengan wajah blesteran saya. Anggap saja saya sial, karna kulit putih dan tubuh tinggi hanya berhenti di ibu saya. Yangkung lelaki yang keras, pernah di marahinya saya karna makan dengan mulut berdecak, namun di balik wajah tegas, rahang yang kokoh dan sorot mata yang tajam, yang kung sangat penyayang. Beliau selalu membawakan saya kacang asin yang di buungkus dengan kertas sukun warna warni. Dari sekian banyak memory, entah kenapa partikel itu yang melekat dan jelas saya ingat. Bahwa pernah sekalinya saya menunggu beliau di ujung pintu, dengan baju terbaik saya, badan saya yang wangi, dan rambut yang tersisir rapi, yangkung tak juga datang. Saya kehilangan beliau, sejak terakhir jasadnya kuciumi dan kupeluk tanpa tangis, saya masih begitu kecil, hingga tak menyadari bahwa yangkung tak sekedar tidur. Kehilangan ini ringan, mungkin karna pemahaman kerdil saya tak cukup mampu meraih arti kematian, namun saya masih kerapp sedih, jika otak saya tiba tiba tanpa komando berjelajah liar mencari cari kenangan yangkung dan juga kacang asin berkertas sukun warna warni. Kehilangan terbesar kedua saya adalah sahabat, seorang yang begituu dekat dengan saya tiba tiba berlalu. Memang, sesuatu yang terlalu itu tak selalu baik, seringkali sesuatuu yang terlalu itu bisa dengan mudahnya berlalu. Pikir saya yang masih sangat hijau serta perasaan terlalu saya padanya sekejap saja membuatnya berlalu. Saya ingat betul, bagaimana kami berbagi dulu. Tentang laki laki yang ingin kami nikahi, tentang rumah yang ingin kami tinggali, dan tentang hidup yang ingin kami jalani. Kini kami seperti dua orang yang baruu bertemuu di jalan, saling berkenalan, lalu berlalu begitu saja. Kehilangan yang seharusnya tak perlu hilang, sayangnya kini semua tak lagi sama. Hari ini, adalah hari dimana kehilangan ketiga terbesar saya terjadi. Nenek saya dari pihak ibu meninggal, tepat jam 7 pagi, tepat di hari kasih sayang. Saya cukup takzim bahwa Tuhan menetapkan kematian mbah uti saya jauh sebelum sir valentine menginspirasi dunia tentang hari kasih sayang ini. Dan jika sir valentine berkelindang takdir dengan mbah uti saya di surga sana, maka saya yakin, beliau berdua adalah salah satu orang yang penuh dengan kasih. Mbah uti saya menikah di umur 16 tahun. Jangan tanyakan padanya tentang feminisme, mbah uti akan tanya, makanan apa itu?. Maka mintalah ia menceritakan hidupnya, bagaimana usia sebelia itu mampu mendampingi yangkung saya, melahirkan dan merawat ke enam anaknya, menjual sawah warisan untuk anak anaknya sekolah, dan tetap begitu sederhana memandang kehidupan. Mbah uti saya tidakk perlu bersekolah tinggi untuk dapat memahami arti pendidikan, jika saja beliau bukan mbah uti, maka ibu saya akan menikah di umur nya yang muda, meninggal karna belum siiap beranak, bukan bersuami ayah saya yang luar biasa nomer satunya, maka saya tidak akan pernah ada. Dan mbah uti tidak pernah sekalipun merepotkan anak anaknya, pun ibu saya. Bagaimanapun sakitnyya beliauu, beliau hanya akan tersenyum dann bilang tidak apa apa. Mbah uti ku, perempuan sunyi dengan senyum renyah dan mata yang menerawang entah mencari apa, mungkinkah yangkung yang telah lama meninggalkannya, mungkinkah beliau kangen ibunya, mungkinkah ia kangen masa mudanya yang penuh binar?. Saya tak pernah tau, karna saya tak pandai berkata, maka saya hanya akan duduk di sampingnya, mengelus punggungnya, memegang tangannya, menyambut senyumnya, dan masih menerka apa yang ada di terawang matanya. Mbah uti meninggal begitu cepat, hanya dua tante saya yang di samping beliau, sebelumnya beliau sehat, bahkan malamnnya giat nonton tanding bola. Maka saya yakin mbah nya orang yang baikk sekali, beliau tak lama menderita dalam rangkulan maut. Mungkin ini adalah pembebasan mbah uti, mungkin akhirnya beliau dapat menemukan hal hal yang diterawang matanya, mungkin ini memang terbaik bagi mbah untuk pergi, walaupun tetap, bagi kami, ini terlalu cepat. Mbah uti ku, perempuan sunyi dengan senyum renyah dan mata terawangnnya sudah tiada. Sebuah kehilangan besar bagi saya yang hanyya bertemu beliau sekali setaun pas hari raya. Kami berpotret bersama hari raya tahun lalu. Saya tak pernah tau bahwa itu adalah terakhir kalinya saya mencium tangannya, juga pipinya, dan menikmati kesunyiannya. Selamat jalan mbah, sure heaven is yours....gonna miss you soon. Hari raya tahun ini, kami akan mengunjungi makammu, bercerita tentang pagi yang selalu menjadi harap. Salam saya untuk yang kung, berbahagialah kalian berdua disana, jangan lupa mengunjungi kami yang disini sesekali, walau hanya bersua dalam mimpi yang sekejap. Maaf, hanya ini yang bisa kuberikan padamu mbah, jika kehilangan ini mengajarkan saya percaya bahwa kau akan baik baik saja, maka kehilangan ini akan menjadi sesuatu yang manis, dan tak lagi perlu sedu sedang untuk menyesalinya. It is revelation..

No comments:

Post a Comment