About Me

My photo
JUST EVERY DAY PEOPLE

Saturday, June 12, 2010

Yang Klasik tapi tetap Pop-In

Mengamalkan sebuah wejangan memang bukan perkara mudah, mendengarkan dan mengatakan "iya memang" saat orang lain yang di kenakan wajib patuh pada wejangan itu, itulah yang paling mudah.
Kembali merekam saat saat bersama seorang sahabat, Mada namanya. Sahabat saya yang satu ini uniknya gak mufakat (meminjam jargon andalannya) , pribadinya lugas dan terpercaya seperti headline program acara televisi ternama, ceplas ceplos seperti cabe rawit yang pedasnya gak mufakat (meminjam jargonnya lagi), cerewetnya seperti kakak tua yang menghabiskan setandun pisang raja, namun baiknya minta ampun seperti dana pinjaman lunak. Suatu kala, teman saya ini bercerita tentang sesuatu yang merisaukan hatinya, seorang sahabat yang telah lama berkawan dengan dia mulai mengacuhkannya karna sudah bekerja di sebuah perusahaan bonafid, dia sebal bukan main, lalu saya bilang, that's life, terkadang ujian terberat manusia bukan dikala dia kesusahan, namun dikala dia berada dalam kesuksesan atau kebahagiaan, padahal dalam benak saya, saya juga sedih ketika beberapa kali mengalami hal yang seperti Mada alami. Lalu katanya lagi, "padahal aku gak pernah perhitungan ma dia, tapi dia perhitungan banget ma aku, sahabatnya sendiri, yah bukannya gak ikhlas, tapi..", iya saya paham apa yang mada rasakan, kalau saja pelajaran ikhlas ada mata kuliahnya, 6 sks seperti skripsi, dengan outline seperti misalnya apa pengertian ikhlas, ada berapa jenis ikhlas, apa fungsi ikhlas, bagaimana peranan ikhlas dalam kehidupan manusia, dan dijadikan mata kuliah wajib universitas, mungkin, setidaknya kami berdua, bisa sedikit mengaplikasikannya, namun, ilmu ini terlalu samar untuk di-outline-kan, pencapaiaannya pun sungguh subyektif bukan?, hanya sang personal dan Tuhannya yang mengetahui seberapa kadar ikhlas tersebut. Hmff,,aku ikhlas, sungguh, aku ikhlas, kata kata tersebut sudah seperti filantropi, atau label persepsi yang merujuk bahwa "baik sekali orang itu", atau mungkin hanya diksi lain dari kata "Pasrah"?, Who Knows?, setidaknya saya memaknai bahwa ikhlas sebaiknya diletakkan di awal, bukan di akhir, namun memaknai bukan bearti dapat mengaplikasikannya dengan baik, seperti yang terjadi selanjutnya dalam percakapan saya dengan Mada ini, Mada akhirnya mengatakan sebuah kalimat mujarab, "Yah, selama ini aku uda baik ma dia karna aku uda anggap dia sahabatku, kalo emang yang terjadi bukan sebaliknya, mungkin Tuhan akan membalasnya melalui orang lain", that's the key word, itukah sebuah konklusi dari usaha ikhlas mada? Atau hanya sebuah pelarian untuk membuat perasaannya sedikit lebih baik?, whatever she feels, namun sebuah pelajaran dapat saya tarik dari percakapan ini, bahwa usaha untuk membuat segalanya lebih baik adalah wajib, mau bener bener ikhlas, pura pura ikhlas, atau apalah lainnya, menurut saya itu bukan perkara penting, karna [lagi dan lagi], takarannya sangat sangat personal dan subyektif, yang penting mada dapat kembali lagi belajar berkonflik dengan perasaan sebalnya, lalu dia bisa mengambil simpulan bahwa ia akan tetap menjalin hubungan baik dengan sahabatnya tersebut, walaupun sahabatnya itu tidak melakukan hal yang sama. Terlepas dari konflik pribadinya dengan perasaan nya sendiri, Mada kembali ceria dan menyadari bahwa temannya bukan Cuma dia saja, selesai sudah masalahnya, setidaknya Mada selesai dengan dirinya.

Senang saya melihat mada yang sudah mencapai kebahagiaan batin (hahayy, maksud saya setidaknya dia sudah tidak sesek lagi, sebel perkara dicuekkin sahabatnya), senang saya mendapat pelajaran baru dari mada kalau rejeki bisa datang dari siapa saja, kapan saja, dimana saja, dan dengan berbagai cara, asal kita gak perlu kwatir dan ikhlas ma sang pengayom hidup [lagi lagi], pelajaran klasik yang selalu pop-in kan?, namun sudah saya nyana, kalau saya belum bisa mengaplikasikannya, saat hal serupa terjadi pada saya, sulit nian mengamalkan apa kata Mada sebelumnya, sulit nian memahamkan pada hati saya bahwa rejeki udah ada yang atur, hati saya selalu berontak, apalagi otak saya. Jika menurut kata teman saya, Nuran, dalam bukunya bahwa backpacking bukan masalah uang, tapi kemauan, pasti sudah dari dulu saya menghabiskannya untuk jalan jalan memuaskan keinginan hati, memenuhi janji saya pada mbak Titis untuk mengunjunginya di Purwokerto dan menemani mbak Devi menjelajah semarang yang baru dikenalnya empat bulan, atau mengunjungi sahabat yang bantalnya selalu menjadi tempat saya menangis [aku merindukan bantal itu], Mirani, di bumi Nangroe Aceh, ditempat dimana dompetnya kembang kempis, namun hatinya damai luar biasa karna ia bisa mengabdi, namun saya belum bisa sebebas nuran yang bisa kapan saja "meransel", istilah yang ia pakai untuk melancong, atau teman saya iin, yang mengganti gaji bulanannya dengan baju baju baru, atau mike yang menghabiskan gaji pertamanya pergi ke natasha skincare, ahh…itu semua karena saya termasuk orang yang terobsesi dengan buku tabungan [entah penyakit gila nomer berapa ini], karna ujung ujungnya, buku tabungan itu tidak diperuntukkan untuk saya.

Saya heran berat dengan bapak saya, gemar sekali ber-filantropi, walau ujung ujungnya saat beliau membutuhkan, belum tentu orang orang yang beliau bantu, ada untuk membantunya, bahkan jarang sekali. Menilik apa yang mada bilang bahwa mungkin saja bantuan itu akan datang dari orang lain, namun bapak saya punya sabda lain, beliau berkata "Insyaallah rejekinya datang dari sana [dari hasil ber filantropi maksudnya]", saya lalu jadi kagum berat, dan mulai bertanya, pernah tidak ya bapak saya itu menggerutu sebal menyesali filantropinya?, atau menulis tulisan tanpa tujuan seperti saya ini selain untuk mengurangi rasa sebal?, hmf, tapi yang pasti bapak saya selalu marah kalau ibu saya memprotes kegiatan filantropinya dengan alasan kebutuhan rumah tangga. What a wonderful couple beliau berdua itu. Pernah ibu bercerita, dulu, saat belum mapan secara materi, bapak bahkan pernah mengorbankan jatah susu kami [saya dan adik saya], untuk berfilantropi, sehingga ibu saya harus memasak air cucian beras [] sebagai pengganti susu. Ckckck…namun, apa kata beliau memang benar, banyak rejeki yang kami terima untuk selanjutnya. Berfilantropi memang bisa menjadi obat dikala kita sebal, dengan berfilantropi setidaknya kita menjadi sedikit lebih berharga karena sudah bisa membantu orang lain, terlepas dari pahal dan sebagainya, karna itu urusan Tuhan, namun kadang, ego kita susah diajak kompromi, perlu latihan berulang ulang agar bisa kompromi dengan baik, seperti bapak saya. Hmm, sedikit lebih baik saya rasa, jika memang untuk saat ini rejeki itu belum datang, satu hal yang selalu saya syukuri adalah bahwa saya termasuk orang yang masih bisa memberikan bantuan [bukan sebaliknya]. Tak perlu rasanya berpikir apakah nanti, saat saya mengalami kesulitan akan ada yang membantu atau tidak, nanti biarlah tetap menjadi nanti, tidak boleh berpikiran buruk pada Tuhan, kata bapak saya, yang terpenting adalah bagaiman semua pengalaman itu membawa kita menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya, meminjam introlude film X-Men bahwa Evolution always goes forward, dan Hamka bahwa arti bergerak adalah maju, jadi mari kita menjadi manusia manusia itu.

Jika seorang teman memotivasi saya untuk tetap menulis karna tulisan saya tidak kalah dengan teman teman lain yang telah menjadi penulis, saya hanya mengatakan bahwa menulislah yang memotivasi saya [karna keterbatasan saya untuk curhat verbal], maka menulis adalah cara saya untuk curhat. Terimakasih untuk teman teman yang selalu berusaha menjadi baik dan memberikan inspirasi, apa yang kalian lakukan tanpa kalian sadari telah memberikan manfaat untuk orang lain, walaupun hasilnya tidak terlihat langsung seperti bunga bank yang muncul tiap bulan, but trust me, bonus kalian lebih selebih lebihnya dari bunga bank, karna kalian membuat orang lain ingin menjadi lebih baik.
Bagi yang bersedia dan dengan senang hati meluangan waktu untuk membaca tulisan ini, anda telah ber-filantropi pada saya karna sudi mendengar curhatan saya, apalagi kalau turut memberi nasihat, he he he, karna saya tidak bisa memberikan balasan apa apa selain terimakasih, semoga rejeki anda karena berfilantropi kepada saya, datang dari siapa saja, dari mana saja, kapan saja serta dimana saja. Satu lagi, semoga kita termasuk orang orang yang sanggup memaknai dan mengamalkan ilmu ikhlas, yang klasik tapi tetap pop-in, dan entah kenapa saya masih merasa perlu menabung [menyiksa sekali penyakit gila tak bernomor ini, dikala saya ingin menghabiskannya untuk senang senang].

1 comment: