About Me

My photo
JUST EVERY DAY PEOPLE

Wednesday, June 16, 2010

MELIHAT LANGIT



Semalam saya merencanakan hari, bangun pagi, mempacking buku buku penunjang skripsi dalam tas ransel export saya yang masih manis walau sudah saya beli 6 tahun yang lalu, membawa lepi dan kabelnya, menguncir rambut ikal saya, menjepit poninya kebelakang agar tidak menganggu eksistensi dahi saya yang ukurannya setengah dari dahi rata rata (NB : Ukuran dahi tidak mempengaruhi tingkat kecerdasan), membawa bantal, sebotol air putih, dan menuju loteng rumah dengan tampilan mahasiswi yang hendak ke perpustakaan.
I build my kingdom there, dengan kardus sepatu bekas yang ditumpuk vertikal dan saya fungsikan sebagai meja lepi dan bantal jikalau kepala saya sudah mulai pening membaca materi skripsi, saya mulai melakukan warming up, dengan membuat katalog buku yang perlu saya baca, saya mengurutkannya sesuai materi yang pertama kali dibutuhkan hingga finishing akhirnya. Karna satu satunya meja adalah dua tumpukan kardus sepatu bekas yang sudah menjadi hak milik si lepi, saya akhirnya mengambil posisi long beach, tengkurap dengan buku tulis di depan muka saya, saya mulai mengkatalogkan bacaan saya, angis diatas sini bukan semilir lagi, tapi semilir pangkat tiga, anak rambut saya mulai terbawa kesana kemari menyapu wajah saya, rasanya jadi seperti belaian, dan seperti yang anda kira, saya tertidur. Saya terbangun dengan posisi wajah keatas, Melihat Langit.

Saya (waktu kecil) memiliki visi, ahh jangan, terlalu gawat meyebutnya visi, sebut saja khayalan, tidak tidak, malah terkesan fantasi, hmm, sebut doktrin canggung, dan itu tentang Tuhan. Saya berumur dua tahun waktu adik saya lahir,jadi, mulai saat itu saya sudah belajar tidur tidak dengan ibu. Setiap malam saya berusaha mengcounter rasa takut saya, jadi saya membayangkan Tuhan, karna kata bapak saya, Tuhan adalah pemilik seluruh alam, jika saya mampu berkawan baik dengan Tuhan, maka saya ta perlu menguatirkan apa apa, tidak perlu menakuti apa apa. Dan Tuhan punya surga, begitu kata Bapak saya, surga yang menyenangkan siapa saja. Setiap malam saya mengimani doktrin canggung tersebut, doktrin yang memang sesuai dengan otak kecil saya waktu itu. Setiap kali tidur, saya membuat abstraksi Tuhan, dan surga, Tuhan yang saya imajinasikan waktu itu perempuan, berambut pendek, berbadan besarrrrr sekali (bukan gemuk, tapi besar, menginggat arti Allahuakbar adalah Tuhan Maha Besar), dan sangat baik, suka senyum, suaranya merdu. Tuhan punya rumah, besar berwarna putih dan merah muda, dengan bunga warna warni di halamannya. Pertama kali bertamu di rumah Tuhan, saya diberinya penyiram bunga, Tuhan bilang, Lintang, Tuhan minta tolong, sirami bunga ini setiap hari, sampai kapanpun kamu bisa menyiraminya, nanti kamu akan sangat senang saat melihar bungan ini berbunga, dalam hati saya ingin meminta, satu untuk saya bawa pulang, untuk ibu dan adik kecil saya yang baru lahir, namun saya terlalu takut untuk memintanya. Jadi, setiap malam saat hendak tidur, setelah mencuci kaki dan membaca doa, saya segera memejamkan mata saya, pergi menuju rumah Tuhan, cerita nya saya bisa terbang, lalu mengambil penyiram bunga dan melakukan tugas yang diamanatkan pada saya, menyiram bunga. Saya mendengar Tuhan bercerita banyak tentang dunia, Tuhan juga berpesan jika suatu saat aku menjadi perempuan dewasa, maka jadilah manusia yang baik, walau tidak selalu benar. Menjelang subuh, Tuhan memintaku pulang, lalu aku terbang turun dengan tergesa, hingga over landing dan gedebukkkk, saya terjatuh dari tempat tidur (dulu saya pengigau aktif dengan gerak tidur yang luar biasa heboh). Lalu saya bangun, mengikuti asal gerak sholat bapak ibu saya, lalu duduk di teras rumah memandang bintang jatuh (dulu, banyak sekali bintang jatuh saat subuh, itu sebabnya saya tak pernah mengkawatirkan tentang hidup, karna saya bisa make a wish setiap pagi, dulu, 21 tahun yang lalu).

Doktrin Canggung ini berlangsung cukup lama, saya bahkan sempat melihat bunga bunga di teras Tuhan berbunga, dan setiap subuh pula saya over landing, yang bunyi gedebukknya menjadi pengganti weker bagi bapak dan ibu saya, hingga saya masuk SD dan mengenal berbagai macam ayat dan hadis, saya kehilangan Tuhan berambut pendek saya, juga rumah Tuhan dengan warna pink dan putihnya, juga bunga bunga nya tentu. Hmff, saya mulai takut lagi tidur sendiri, karna sudah mengenal setan dan iblis, saya mau bertemu Tuhan berambut pendek saya, namun kata guru agama saya itu dosa, karna sirik, saya mengalami sindrom takut tidur sendiri. Hingga hampir tiap tengah malam, saya ndusel di antara bapak dan ibu saya. Ohhh, saya jadi takut berekspresi.




Lalu siang ini, saya kembali melihat langit, tidak dengan biru dongker yang terbias cahaya bulan dan bintang jatuh, namun biru terang dengan awan awan mengambang seperti mengundang sambil berkata cobalah tiduri aku, semua kepenatan saya sejenak hilang, melihat biru, blue that take me nowhere, sebuah tempat yang bahkan aku tak tau menyebutnya apa, tapi yang pasti damai, tidak ada kekuatiran saya akan lulus tepat waktu atau tidak, mendapat pekerjaan atau tidak, menikah atau tidak, hidup atau mati, sedih atau senang, hanya tenang. Seperti Rumah Tuhan berambut pendek saya dulu.

2 comments:

  1. buat elfira, terimakasih sudah mampir dan sudi membaca, kasi komen lagi. Ditunggu kunjungan selanjutnya. he he, elfira kul di sastra juga kan yah? lam knal yah, ku lintang

    ReplyDelete