About Me

My photo
JUST EVERY DAY PEOPLE

Wednesday, June 9, 2010

ALWAYS A NU DAY

Pernah terpikir bahwa kita adalah budak waktu?
umur 7 tahun harus masuk sd, enam tahun terperangkap dalam lembaga yang berlegal pendidikan dengan konstruk yang memerangkap mati kreativitas karena selama 6 tahun mengulang pelajaran yang bahkan ketika di SMP kita sudah lupa apa itu aljabar, setelah itu SMP, lalu SMA, dan umur 21 harus sudah lulus S1, kalo mau terus belajar ya lanjutin S2 kalo ndak ya cari jodoh trus nikah....

Sempat juga benar-benar menjadi budak, ketika kuliah semester akhir dan mau lulus, lalu pikir sana pikir sini cari kerja sana sini, saya membuat target dalam hidup saya, kapan saya harus bekerja, umur berapa saya harus mulai belajar serius dalam hal asmara, dan prioritas-prioritas awam yang menjadi sebuah tonggak keidealan hidup pada akhirnya.

Namun, saya jadi tidak bisa menikmati hidup, setiap bangun pagi melihat kaca, ada wajah kusut masai yang harus bertarung dengan dinginnya air pagi dan malasnya bangun pagi untuk mengejar waktu-waktu yang ternyata terlewat begitu cepat.....

Saya sampai lupa pernah bercita-cita, pernah bermimpi to be some body....

Hingga pada minggu pagi saat saya berjodoh dengan waktu senggang saya dan sebungkus silverqueen cashewcrunch.....
Mulai lah saya menulis, karena ada yang bilang bahwa menulis adalah jalan menuju kelahiran, kelahiran lagi...

a nu day..always a nu day.....
kita tidak pernah tahu kemana waktu membawa kita, kapan mengentaskan kita dari tempurung tempurung purba....
kita tidak pernah tahu kecuali kita mau tahu....

a nu day..always a nu day....
hanyalah sebuah coretan iseng yang berhasil mencerahkan setidaknya otak saya sendiri..bahwa waktu membawa saya pada sesi sesi hidup yang terefleksi dalam sebuah cita-cita.....

may you enjoy it.....

a Nu Day.. alWays a Nu Day….

Kata Andrea Hirata, tidak ada satu kebetulan pun di dunia ini, fakta adalah sebuah desain holistik hidup yang terajut sempurna sehingga cukup pantas merepresentasi istilah “Takdir”. Aku tak pernah menyangka bahwa aku ada di moment ini, momentum-momentum yang walaupun tidak quantum berhasil membuatku lompat dari tempurung-tempurung manusia purba. Sebulan sebelum wisuda sudah dapat kerja, sebuah pekerjaan yang bikin aku harus selalu up-grade diriku, pergi ke tempta-tempat yang semula hanya aku liat di TV dengan gratis dan dibayar pula, bertemu dengan orang-orang baru dan relasi-realsi baru. How amazing is it, tidak salah ketika aku menulis kolom cita-cita di diary pertemanan sewaktu aku SD (baca : CITA-CITA : P R ) Public Realation, sebuah istilah yang terdengar canggih, istilah yang aku dapat waktu baca majalah Femina milik mama. Saat ada teman yang tanya. :Lintang, P R itu apa?”, lalu aku jawab “Public Relation”, trus dia tanya lagi “Public Realtion itu apa?” lalu aku jawab, “Public itu umum, relation itu hubungan, jadi hubungan umum, jadi nanti kerjaan nya berhubungan dengan yang umum-umum..” kata saya sok tau sok ngerti sok paham, lalu dengan wajah malaikat nan polos dan menggemaskan teman saya bertanya lagi “WC umum juga?”, mataku nanar, menerawang mencari-cari jawaban dalam bola mataku yang berusaha menemukan alis mataku, tak kutemukan juga, jadi aku hanya bisa membayangkan, dengan bibir manyun dan alis mata yang tumakninah berkernyit menengah, aku menyahut “Ya enggak lah..!!!!”, aku marah, berusaha menekankan bahwa Public Relation tidak ada hubungan dengan WC umum. Lalu teman saya itu bilang, “Tapi kan ada umumnya,,,!!”. Aku langsung nge-Drop…..sembari berpikir apa benar ya stateement temenku, kalau memang benar, aku akan merubah haluan cita-citaku, mumpung waktuku masih banyak.
Jadi, karena terbayang -bayang dengan WC umum, aku memutuskan untuk merubah cita-citaku, menjadi GURU SD, cita-cita itu tercetus ketika aku membeli buku biografi IBU KITA KARTINI : Habis Gelap, terbitlah terang, dan setelah aku melihat tayangan lagu Hymne GURU di TVRI yang video klipnya mempertontonkan seorang bapak guru yang berjalan di rel kereta api, belum lagi lagu Oemar Bakrinya Iwan Fals, semakin bulatlah tekadku untuk menjadi GURU. Aku mulai semangat mengajari adikku belajar dan mengerjakan PR, juga tentangga-tetanggaku yang masih dibawah umur, amboiii….susahnya, adrenalinku seperti selalu ingin muntab saja, aku yang tak pandai menstransformasi ilmu atau murid-muridku yang memang daya tangkapnya bak parabola kebalik, tapi yang pasti, traningku dalam mengenyam cita-cita mulia sebagi guru “GAGAL”. Untungnya jaman itu belum ada Bu Muslimah atau Pak Kepala Sekolah yang merangkap sebagi pemulung dalam eagle award, kalau sudah ada, mungkin aku akan merasa berdosa seumur umur karena dengan mudahnya menyerah menjadi guru.
Cita-cita selanjutnya adalah menjadi arsitek, penikmat keindahan seperti aku ini sepertinya cocok jadi arsitek. Lagi-lagi karena membaca majalah Femina, di rubrik Konsultasi Rumah, yang isinya tentang konsultasi denah-denah efektif dan fungsional, didukung lagi dengan komentar mama yang mengatakan bahwa kamarku cukup artistik dan kepedulianku menata barang-barang di rumah. Setelah cukup lama hidup manata nata dan membaca-baca femina, aku menemukan cita-cita baru “Desain Interior”, lebih manis, feminim dan sophicticated. Berita buruknya adalah, tiba-tiba aku memutuskan untuk merubah kembali cita-citaku tanpa alasan yang jelas, tiba-tiba saja aku ingin menjadi wartawan. Hal ini bermula ketika aku menjadi relawan korban bencana banjir di kotaku, disana aku bertemu wartawati kawakan salah satu televisi swasta ternama “Amanda Manuputi”, kok kayaknya keren gitu. Dan akhirnya aku menasbihkan cita-citaku sebagai seorang wartawan. Tapi sepertinya tidak ada tanda-tanda yang jelas aku berbakat menjadi wartawan, ini terbukti ketika aku SMA kelas satu, saat aku mengikuti ekstrakulikuler jurnalistik dan diklatnya diharuskan memakai rompi dari koran, ID card bertali rafia, topi segitiga dari koran, berjalan seputar jalan jawa menjadi kuli tinta. Langkahku terhenti di sebuah counter HP dengan nama SONIC CELL, saya masuk dengan sopan berseling intermezzo “Assalammualaikum mas”, lalu si mas menjawab, “Waalaikumsalam dik, ada yang bisa dibantu?”, ujarnya ramah, lalu aku menjawab dengan sopan, lugu dan super duper bodoh “Iya, mas, sya ini diklat jadi wartawan sekolha, saya dihrauskan cari berita, nah pertama-tama, saya nanya mas, counter ini kapan berdiri mas..? trus si mas menjawab “Kalo enggak salah tanggal 10 februari deh,,?” jawabnya..”Ohh..!!” kataku. “Trus….(jeda agak lama)….trus….(sambil mainin bulpen)…..trus…..(begaya sibuk bolak balikin notebook)……trus…..(begaya innocent sambil nempelin ujung bulpen ke dagu)……trus….tanya apalagi ya mas?” Akhirnya, pertanyaan mujarab itu meluncur ringan dari mulutku, tanpa tedeng aling-aling sumpah bikin malu. Akhirnya si mas dengan sabar atau lebih tepatnya heran, menceritakan tentang asal muasal counter itu berdiri. Aku ng-Drop lagi, apalagi ketika aku berkesempatan mengunjungi KPK dan melihat fakta sesungguhnya tentang wartawan, bahwa ternyata wartawan akan duduk berjam jam dengan ditemani kamerawan dan bolpoin serta notebook hingga sang narasumber datang. Wah..pekerjaan berat sepertinya, dengan start jongkok tanpa aba-aba aku merubah cita-citaku.

Coba tebak yang sekarang apa hayo?

No comments:

Post a Comment