About Me

My photo
JUST EVERY DAY PEOPLE

Saturday, November 24, 2012

Cinta yang bukan Populis (tapi juga tidak Elitis)



Saya akan memulai tulisan ini dengan jargon klasik dan usang, ‘hidup itu pilihan’, nah kan. Seklasik klasiknya, dan se usang usangnya, tapi ternyata, jargon ini masih fit to the every age, selalu pas dan muat disandingkan dengan keadaan jaman apapun, jaman alay sekalipun. Bukan muskil jika beberapa waktu kedepan akan ada ‘hidup itu pilihan’ versi ‘ciyus dan miapah’. 

Sore tadi saya menghabiskan waktu dengan seorang kawan, adik lebih tepatnya. Dia mengigatkan saya tentang diri saya dua tiga tahun lalu. Muda, bersemangat, ‘sangat’ hidup, dan belum diperkosa oleh ‘permakluman’. Dan untuk perkara asmara, saya dan dia juga hampir sama, bedanya, saya, walaupun tidak pernah memproklamirkan pacar dan pacaran, tapi pengalaman romansa saya cukup lah untuk bisa di jadikan novella, kalo kisah cinta dia mungkin hanya bisa dijadikan cerpen dengan kuota kolom terbatas, jadi harus ditulis dengan kata se efektif mungkin agar muat dalam kolom yang di persyaratkan. 

Saya, dulu, seringkali mendapat sebutan yang tidak manusiawi, robot misalnya, lalu mutan, hanya perkara saya tidak suka dan tidak mau pacaran. Saya, sebenarnya sebal, saya pikir, suka suka saya dong ya, mau pacaran atau tidak, mau HTS an, mau TTM an, atau cuman mau suka sukaan aja, terserah saya. Hidup hidup saya, hati hati saya, kenapa lo yang rempong?. Tapi, ini yang dulu saya lupa, pilihan itu selalu diikuti dengan konsekuensi, dan karena pilihan saya untuk tidak pacaran itu termasuk sebuah pilihan yang mungkin dianggap ‘elitis’, tentu karna tidak populer, jadi ya wajarlah kalo saya dapat ‘perhatian’ lebih. Jadi, sikap usil teman teman yang selalu menyinggung itu saya anggap sebagai konsekuensi dari sebuah pilihan, sama ketika anda datang ke pesta pernikahan menggunakan gaun hitam sementara semua tamu menggunakan gaun berwarna pink, jadi, cukuplah wajar jika anda ‘dicerca’ (dibaca:saya dan siapa saja yang serupa tapi tak sama). 

Almarhum mas Galih, salah satu orang yang rajin sekali menasehati saya, setiap kami bertemu, ia tak lupa menanyakan ‘Sudah belajar pacaran nduk?’, saya jawab, ‘ngapain jugak?’, mas Galih cuman senyum aja, sambil bilang kalo otak saya kurang canggih, gak kompatibel, karna saya tidak canggih dalam hal pacar pacaran. Sumpah ya, bukan karna saya nggak laku lo, serius, walaupun saya tidak cantik tipikal, tapi bisa dibilang saya hampir tidak pernah tidak disukai dalam waktu lama, ada aja yang nggebetin. Saya juga tidak tau dimana menariknya saya, bahkan teman saya pernah bilang, ‘cowok cuek itu keren, tapi cewek cuek itu bikin ilfil, apalagi kalo nda cantik’, lah…. Sumpah, saya nafsu banget cekik dia. Ke-cuek an saya akan sangat tampak ketika saya merasa tidak nyaman. Dalam hal ini ada 2 skenario yang biasanya terjadi, yang pertama begini, si cowok akan mendekati saya sebagai teman, membangun kedekatan, ketika saya sudah merasa nyaman, lalu ngajakin pacaran, nah yang begitu biasanya membenani saya, saya bilang ‘berteman aja ya’, respon mereka lucu lucu, ada yang marah dan kemudian memutuskan untuk tidak saling kenal, ada juga yang keep struggle sambil berjanji palsu, ‘aku tunggu kamu sampai kamu mau’ lalu beberapa bulan kemudian boncengan sama cewek lain yang ternyata pacarnya dan baru diakui beberapa bulan kemudian. Parah ya lelaki itu?. Skenario yang kedua, si cowok datang ngajak nikah kayak sales selang kompor, setelah menjelaskan spesifikasi selang kompor (dibaca: konsep pernikahan), pertanyaan mujarab keluar, ‘mau beli atau tidak?’ (dibaca: mau gak nikah?), dan setelah saya jawab dengan ‘mmmm’ yang artinya ‘tidak dulu’, jurus kedua keluar, ‘diskon’ (dibaca: negosiasi), setelah tetap saya jawab dengan ‘mmmm’ yang artinya ‘beneran enggak deh’, jurus terakhir keluar, ‘gak beli juga gak papa kok, aku kan cuman nawarin’. Nah lo….. rasanya saya pengen makan batako. 

Walaupun saya cukup ber-otoritas atas hati dan tubuh saya, bukan bearti saya terbebas dari patah hati. Saya pernah seminggu kayak mayat hidup karna cowok yang saya suka sejak SMA menemui saya dengan pacarnya yang kayak Luna Maya disaat saya sangat berantakan dengan celemek masak di dada saya dan tabung LPG 3 kg di tangan kanan saya. Saya hanya ingin melempar tabung LPG 3 kg di tangan kanan saya tepat ke muka cewek cowok itu sampai dia jadi Luna Manyun. 

Jangan pernah percaya pada kata ‘bebas’, tidak ada kebebasan yang benar benar bebas. Sekeras apapun saya meng-otoritaskan hati dan tubuh saya sebagai sebuah materi bebas, tetap saja masih terjebak dengan sakit hati, kecewa, cemburu, dan tetek bengek lainnya, hal hal duniawi kalo kata Tom Sam Cong. Namun, memaknai kebebasan sebagai sebuah konsep berpikir dan bukan sebagai state of being bisa menjadi sebuah alternative bijak. Saya selalu belajar berpikir bebas, lepas dari efek samping hal hal yang esensial. Misalnya, perkara status pacar, saya tidak peduli dibilang tidak laku karna tidak pacaran daripada saya harus menghabiskan hari saya dengan lelaki yang bikin saya ilfill hanya untuk dapat status ‘laku’. Nah, tapi ada satu hal yang saya lewatkan dalam hal pacaran, yaitu proses untuk berusaha saling mengenal, proses untuk berusaha saling mengerti dan memahami. Saya terkadang menyesal, saya mungkin melewatkan lelaki yang benar benar baik di masa lalu saya, tapi yang paling saya sesalkan adalah saya bahkan tidak ‘mencoba’ menyukai. Alasan saya untuk tidak pacaran sederhana saja, saya hanya merasa belum bertemu saja, konsep saya tentang romansa adalah ‘seseorang’, bukan ‘sesuatu’, ‘who’, bukan ‘why’ atau ‘when’ apalagi ‘thing’.

Seperti air, yang berubah bentuk saat di tempatkan pada tempat yang berbeda, begitu pula dengan pemahaman dan kesadaran. Itulah pentingnya melihat segala sesuatu secara multidimensional, kalo kata John Keating, ‘we have to consistently seeing thing from different ways’. Saya, sejak awal tahun 2011, sudah mengajari diri saya sendiri untuk belajar melihat kehidupan romantis saya dari sudut pandang yang berbeda, sudut pandang bapak ibu saya, dan sudut pandang diri saya sendiri 10 tahun kedepan, dan belajar untuk sedikit saja lebih peka. Teman saya mengajari saya untuk sedikit lebih centil, sedikit menjadi lebih ‘perempuan’ seperti yang distereotipkan. Baiklah, saya anggap saja sebagai mata kuliah baru. Lelaki pertama sejak saya berdeklarasi untuk lebih memberi perhatian dalam romansa saya datang dengan criteria lelaki ideal pada umumnya. Penampilan oke, kerjaan oke, karakter oke, sampai rasanya to be good to be true. Tapi ya itu, kalo kata orang jawa, sawang sinawang, setelah dekat baru deh kerasa bahwa he is not that good, yes he is good, but not that good. Ya ya, jangan pernah memang berharap akan menemukan Edward Cullen di dunia yang bukan Twilight ini, namun setidaknya lelaki ini bisa cukup membanggakan lah kalo dikenalin ke bapak ibu atau dikenalin ke teman teman, walaupun secara personal saya agak tidak kuat dengan self-centrism nya yang sumpah kayak lelaki telenovela. Pembicaraan kami, dia yang mendominasi, giliran saya bicara, responnya hanya sebatas ‘emm’, lalu buru buru dia akan bicara lagi, saya berasa call center. Tapi, karna saya telah berdeklarasi maka saya putuskan untuk mecoba, saya turuti apa kata teman saya, tanya kabarnya tiap hari, Tanya sudah makan apa belum, Tanya lagi ngapain, lama lama saya berasa kaya infotaiment. Nah, memang, tresno jalaran soko kulino itu beneran, lama lama karna terbiasa, didukung dengan deklarasi saya dan juga orientasi yang berbeda, ada satu saat saya benar suka. Namun memang, walaupun gunung tak kan lari, tapi yang namanya jodoh memang tidak hubungannya dengan gunung. Ini yang menyebalkan dari lelaki, kalau kata pepatah, lelaki menang memilih, perempuan menang menolak. Meskipun feminisme  dibenderakan, dan benderanya dikibarkan ditiap rumah dan juga diberikan tanggal nasional feminisme, fakta ini, secara tidak sadar, masih akan sangat mendominasi. Saat saya mulai tertarik dan sudah cukup mahfum dengan ketelenovelaannya, eh dia ngilang, just gone. Sebenernya saya cukup paham kalau pendekatan itu tidak melulu berujung pada penyatuan, mungkin karma saya karna telah menjadi sangat tidak bertanggung jawab pada hati hati yang pernah menawarkan saya cinta, saya hanya ingin menganggapnya begitu daripada pledoi murahan seperti ‘mungkin dia menemukan perempuan lain’, karna saya cukup paham bahwa setiap orang berhak mendapatkan yang terbaik, dan jika yang terbaik itu bukan saya, ya sudah, saya hanya perlu beberapa waktu untuk menyadari bahwa saya patah hati, bahwa saya sedih, dan bahwa saya baik baik saja. Saya hanya tidak suka caranya, kalau datangnya mengetuk pintu dan bilang assalamualaikum, bukankah sebaiknya ketika pergi pamit dan mengucapkan waalaikumsalam kan?. Nah, selesai dengan lelaki pertama di awal 2011,  mungkin dia pada akhirnya bertemu dengan perempuan telenovela dan kemudian berkehidupan seperti Rosalinda dan Fernando Hose. Saya skip cerita tentang lelaki kedua karna memang tidak banyak yang bisa diceritakan selain ajakan kencan yang tidak pernah terlaksana karna masalah teknis (awal awal dimalang saya mudik hampir tiap minggu). 

Yang menarik adalah lelaki ke tiga, sejak awal berkenalan kami tidak pernah menyentuh sisi sisi romantis, kami hanya bicara tentang apa saja, berbagi tentang apa saja, saling menyampah satu sama lain, saling menjadi Mario dan Maria Teguh bagi satu sama lain. Lama kelamaan, saya candu, dia candu, kami candu yang mungkin lama lama akan jadi racun kalau di endapkan terlalu lama tanpa penangkal. Mungkin terlalu dini untuk mengatakan saya jatuh cinta, tapi yang saya berani jamin, saya sayang dengan hubungan ini. Ini merupakan hubungan paling jujur yang pernah saya punya, jujur dan alami. Saya ber ekspektasi lebih pada hubungan ini, benar benar ingin menjaganya hingga ia menemui takdirnya seperti apapun nantinya, saya benar benar ingin berusaha. Saya mulai berpikir, kenapa saya kemudian berpikiran seperti ini?. Lalu saya sampai pada sebuah kesimpulan bahwa ini adalah titik kulminasi dimana semua kesempatan bertemu, dimana semua lini bersinergi membentuk sebuah harmonisasi, the who, the when, the how, the why, the what sepakat dalam satu suara kecuali the where. Haha… saya masih belum terbebas dari karma ternyata ya?. 

Teman saya bilang, ‘pengorbanan itu hal wajib dalam cinta’. Saya pikir, menjadi jatuh cinta itu pilihan, walaupun kita tidak bisa memilih jatuh cinta pada siapa, namun kita selalu diberi pilihan pada kata ‘kerja’nya, dan tidak ada kata ‘pengorbanan’ dalam sebuah pilihan, memilih itu tidak sama dengan berkorban. Saya benci dengan doktrin klasik tentang cinta, yang Romeo Juliet lah, yang Laila Majnun lah, cinta kok bikin mati. Tuhan menciptakan cinta kan buat kemaslahatan manusia, untuk menjadi bahagia, yang tentu didapat karna usaha, begitu bukan?. Yang lucu lagi, (bagi saya lucu), teman saya bilang, ‘lelaki itu perlu diuji untuk tau seberapa besar dia mengiginkan kita’. Lah????... saya takjub dengan statement ini, lah kan ceritanya saya baru belajar bercinta, la kok sudah diminta menguji, lembar assessment yang bagaimana yang saya butuhkan untuk menguji lelaki?. Sumpah, otak saya tidak sampai pada asumsi itu, karna bagi saya, hubungan itu tentang negosiasi kedua belah pihak, saling terbuka terhadap pilihan agar bisa satu.  Bagi saya, pihak yang perlu diuji ya diri kita sendiri, sudah mantapkah terhadap pilihan?, siapkah dengan konsekuensi yang mengikuti?, setelah masing masing pihak lolos ujian diri sendiri, biarkan hubungan itu diuji oleh waktu, seberapa kuat tim romantis ini mempertahankannya. Begitu setidaknya saya memandang sebuah hubungan romantis, konseptual memang, saya sedang dalam tahap mengujinya secara empiris.

Saya selalu berpikir akan menikah di umur 27 tahun, bertemu dengan pasangan romantis saya dalam kemegahan yang sederhana, dengan konsep setengah matang yang siap dimasak bersama. Lalu saya akan pensiun dini saat anak perempuan saya mendapat haid pertamanya dan anak lelaki saya mulai mimpi basah untuk menjadi sahabat terbaik mereka. Membuka kedai kopi yang dilengkapi dengan perpustakaan, belajar menjadi barista dan koki, lalu membaca sambil ngopi sepanjang hari sambil menunggu anak anak saya pulang sekolah dan suami saya pulang kerja. Haha… berkhayal memang surga. 

Hemm, baiklah.. ini sudah jam 3 pagi, kopi saya sudah habis, kerjaan saya masih menumpuk. Tapi saya senang akhirnya saya menulis lagi dan membersihkan sarang laba laba di blog saya yang lama nganggur. Saya selalu berpikir bahwa menjadi jatuh cinta itu anugerah, walaupun kita tetap harus bersiap dengan patah hati. Jika suatu saat saya patah hati lagi, mungkin pandangan saya tentang cinta akan berubah karna frustasi, mungkin saya akan menjadi feminis garis keras yang membenci keberadaan lelaki dan hanya akan mengunjungi bank sperma dan juga sex toy store serta mendukung pemusnahan masal kaum lelaki (ihh… serem bener deh). Tapi saat ini saya hanya akan menikmati apa yang hadir pada saya, kerlipan merah di BB saya, dering tengah malam dengan suara yang membangunkan saya untuk lembur, serta rayuan lucu yang mengatakan saya memiliki mata menggemaskan seperti Candy Candy. 

Semoga saya dan anda semua berkelindang dengan takdir baik Tuhan, semoga saya dan anda hidup bahagia walau tidak seperti Cinderella. Amin.
Salam jam 3 pagi….. ^^

NB : Selama masih ada truk bertuliskan ‘Putus cinta itu hal biasa, Putus rem matilah kita’, maka jangan pernah takut jatuh cinta selama rem motor atau mobil anda baik baik saja.

1 comment:

  1. Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
    Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kumpulbagi.com untuk info selengkapnya.

    Oh ya, di sana anda bisa dengan bebas mendowload music, foto-foto, video dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)

    ReplyDelete