Saya akan memulai tulisan ini
dengan jargon klasik dan usang, ‘hidup itu pilihan’, nah kan. Seklasik
klasiknya, dan se usang usangnya, tapi ternyata, jargon ini masih fit to the
every age, selalu pas dan muat disandingkan dengan keadaan jaman apapun, jaman
alay sekalipun. Bukan muskil jika beberapa waktu kedepan akan ada ‘hidup itu
pilihan’ versi ‘ciyus dan miapah’.
Sore tadi saya menghabiskan waktu
dengan seorang kawan, adik lebih tepatnya. Dia mengigatkan saya tentang diri
saya dua tiga tahun lalu. Muda, bersemangat, ‘sangat’ hidup, dan belum
diperkosa oleh ‘permakluman’. Dan untuk perkara asmara, saya dan dia juga
hampir sama, bedanya, saya, walaupun tidak pernah memproklamirkan pacar dan
pacaran, tapi pengalaman romansa saya cukup lah untuk bisa di jadikan novella,
kalo kisah cinta dia mungkin hanya bisa dijadikan cerpen dengan kuota kolom
terbatas, jadi harus ditulis dengan kata se efektif mungkin agar muat dalam
kolom yang di persyaratkan.
Saya, dulu, seringkali mendapat sebutan yang tidak
manusiawi, robot misalnya, lalu mutan, hanya perkara saya tidak suka dan tidak
mau pacaran. Saya, sebenarnya sebal, saya pikir, suka suka saya dong ya, mau
pacaran atau tidak, mau HTS an, mau TTM an, atau cuman mau suka sukaan aja,
terserah saya. Hidup hidup saya, hati hati saya, kenapa lo yang rempong?. Tapi,
ini yang dulu saya lupa, pilihan itu selalu diikuti dengan konsekuensi, dan karena
pilihan saya untuk tidak pacaran itu termasuk sebuah pilihan yang mungkin
dianggap ‘elitis’, tentu karna tidak populer, jadi ya wajarlah kalo saya dapat ‘perhatian’
lebih. Jadi, sikap usil teman teman yang selalu menyinggung itu saya anggap
sebagai konsekuensi dari sebuah pilihan, sama ketika anda datang ke pesta
pernikahan menggunakan gaun hitam sementara semua tamu menggunakan gaun
berwarna pink, jadi, cukuplah wajar jika anda ‘dicerca’ (dibaca:saya dan siapa
saja yang serupa tapi tak sama).
Almarhum mas Galih, salah satu
orang yang rajin sekali menasehati saya, setiap kami bertemu, ia tak lupa
menanyakan ‘Sudah belajar pacaran nduk?’, saya jawab, ‘ngapain jugak?’, mas
Galih cuman senyum aja, sambil bilang kalo otak saya kurang canggih, gak
kompatibel, karna saya tidak canggih dalam hal pacar pacaran. Sumpah ya, bukan
karna saya nggak laku lo, serius, walaupun saya tidak cantik tipikal, tapi bisa
dibilang saya hampir tidak pernah tidak disukai dalam waktu lama, ada aja yang
nggebetin. Saya juga tidak tau dimana menariknya saya, bahkan teman saya pernah
bilang, ‘cowok cuek itu keren, tapi cewek cuek itu bikin ilfil, apalagi kalo
nda cantik’, lah…. Sumpah, saya nafsu banget cekik dia. Ke-cuek an saya akan
sangat tampak ketika saya merasa tidak nyaman. Dalam hal ini ada 2 skenario
yang biasanya terjadi, yang pertama begini, si cowok akan mendekati saya
sebagai teman, membangun kedekatan, ketika saya sudah merasa nyaman, lalu
ngajakin pacaran, nah yang begitu biasanya membenani saya, saya bilang ‘berteman
aja ya’, respon mereka lucu lucu, ada yang marah dan kemudian memutuskan untuk
tidak saling kenal, ada juga yang keep struggle sambil berjanji palsu, ‘aku
tunggu kamu sampai kamu mau’ lalu beberapa bulan kemudian boncengan sama cewek
lain yang ternyata pacarnya dan baru diakui beberapa bulan kemudian. Parah ya
lelaki itu?. Skenario yang kedua, si cowok datang ngajak nikah kayak sales
selang kompor, setelah menjelaskan spesifikasi selang kompor (dibaca: konsep
pernikahan), pertanyaan mujarab keluar, ‘mau beli atau tidak?’ (dibaca: mau gak
nikah?), dan setelah saya jawab dengan ‘mmmm’ yang artinya ‘tidak dulu’, jurus
kedua keluar, ‘diskon’ (dibaca: negosiasi), setelah tetap saya jawab dengan ‘mmmm’
yang artinya ‘beneran enggak deh’, jurus terakhir keluar, ‘gak beli juga gak
papa kok, aku kan cuman nawarin’. Nah lo….. rasanya saya pengen makan batako.
Walaupun saya cukup ber-otoritas
atas hati dan tubuh saya, bukan bearti saya terbebas dari patah hati. Saya
pernah seminggu kayak mayat hidup karna cowok yang saya suka sejak SMA menemui
saya dengan pacarnya yang kayak Luna Maya disaat saya sangat berantakan dengan
celemek masak di dada saya dan tabung LPG 3 kg di tangan kanan saya. Saya hanya
ingin melempar tabung LPG 3 kg di tangan kanan saya tepat ke muka cewek cowok
itu sampai dia jadi Luna Manyun.
Jangan pernah percaya pada kata ‘bebas’,
tidak ada kebebasan yang benar benar bebas. Sekeras apapun saya
meng-otoritaskan hati dan tubuh saya sebagai sebuah materi bebas, tetap saja
masih terjebak dengan sakit hati, kecewa, cemburu, dan tetek bengek lainnya,
hal hal duniawi kalo kata Tom Sam Cong. Namun, memaknai kebebasan sebagai
sebuah konsep berpikir dan bukan sebagai state of being bisa menjadi sebuah alternative
bijak. Saya selalu belajar berpikir bebas, lepas dari efek samping hal hal yang
esensial. Misalnya, perkara status pacar, saya tidak peduli dibilang tidak laku
karna tidak pacaran daripada saya harus menghabiskan hari saya dengan lelaki
yang bikin saya ilfill hanya untuk dapat status ‘laku’. Nah, tapi ada satu hal
yang saya lewatkan dalam hal pacaran, yaitu proses untuk berusaha saling
mengenal, proses untuk berusaha saling mengerti dan memahami. Saya terkadang
menyesal, saya mungkin melewatkan lelaki yang benar benar baik di masa lalu
saya, tapi yang paling saya sesalkan adalah saya bahkan tidak ‘mencoba’
menyukai. Alasan saya untuk tidak pacaran sederhana saja, saya hanya merasa
belum bertemu saja, konsep saya tentang romansa adalah ‘seseorang’, bukan ‘sesuatu’,
‘who’, bukan ‘why’ atau ‘when’ apalagi ‘thing’.
Seperti air, yang berubah bentuk
saat di tempatkan pada tempat yang berbeda, begitu pula dengan pemahaman dan
kesadaran. Itulah pentingnya melihat segala sesuatu secara multidimensional,
kalo kata John Keating, ‘we have to consistently seeing thing from different
ways’. Saya, sejak awal tahun 2011, sudah mengajari diri saya sendiri untuk
belajar melihat kehidupan romantis saya dari sudut pandang yang berbeda, sudut
pandang bapak ibu saya, dan sudut pandang diri saya sendiri 10 tahun kedepan,
dan belajar untuk sedikit saja lebih peka. Teman saya mengajari saya untuk
sedikit lebih centil, sedikit menjadi lebih ‘perempuan’ seperti yang
distereotipkan. Baiklah, saya anggap saja sebagai mata kuliah baru. Lelaki
pertama sejak saya berdeklarasi untuk lebih memberi perhatian dalam romansa
saya datang dengan criteria lelaki ideal pada umumnya. Penampilan oke, kerjaan
oke, karakter oke, sampai rasanya to be good to be true. Tapi ya itu, kalo kata
orang jawa, sawang sinawang, setelah dekat baru deh kerasa bahwa he is not that
good, yes he is good, but not that good. Ya ya, jangan pernah memang berharap akan
menemukan Edward Cullen di dunia yang bukan Twilight ini, namun setidaknya
lelaki ini bisa cukup membanggakan lah kalo dikenalin ke bapak ibu atau
dikenalin ke teman teman, walaupun secara personal saya agak tidak kuat dengan
self-centrism nya yang sumpah kayak lelaki telenovela. Pembicaraan kami, dia
yang mendominasi, giliran saya bicara, responnya hanya sebatas ‘emm’, lalu buru
buru dia akan bicara lagi, saya berasa call center. Tapi, karna saya telah
berdeklarasi maka saya putuskan untuk mecoba, saya turuti apa kata teman saya, tanya
kabarnya tiap hari, Tanya sudah makan apa belum, Tanya lagi ngapain, lama lama
saya berasa kaya infotaiment. Nah, memang, tresno jalaran soko kulino itu
beneran, lama lama karna terbiasa, didukung dengan deklarasi saya dan juga
orientasi yang berbeda, ada satu saat saya benar suka. Namun memang, walaupun
gunung tak kan lari, tapi yang namanya jodoh memang tidak hubungannya dengan
gunung. Ini yang menyebalkan dari lelaki, kalau kata pepatah, lelaki menang
memilih, perempuan menang menolak. Meskipun feminisme dibenderakan, dan benderanya dikibarkan ditiap
rumah dan juga diberikan tanggal nasional feminisme, fakta ini, secara tidak
sadar, masih akan sangat mendominasi. Saat saya mulai tertarik dan sudah cukup
mahfum dengan ketelenovelaannya, eh dia ngilang, just gone. Sebenernya saya
cukup paham kalau pendekatan itu tidak melulu berujung pada penyatuan, mungkin
karma saya karna telah menjadi sangat tidak bertanggung jawab pada hati hati
yang pernah menawarkan saya cinta, saya hanya ingin menganggapnya begitu
daripada pledoi murahan seperti ‘mungkin dia menemukan perempuan lain’, karna
saya cukup paham bahwa setiap orang berhak mendapatkan yang terbaik, dan jika
yang terbaik itu bukan saya, ya sudah, saya hanya perlu beberapa waktu untuk
menyadari bahwa saya patah hati, bahwa saya sedih, dan bahwa saya baik baik
saja. Saya hanya tidak suka caranya, kalau datangnya mengetuk pintu dan bilang
assalamualaikum, bukankah sebaiknya ketika pergi pamit dan mengucapkan
waalaikumsalam kan?. Nah, selesai dengan lelaki pertama di awal 2011, mungkin dia pada akhirnya bertemu dengan
perempuan telenovela dan kemudian berkehidupan seperti Rosalinda dan Fernando
Hose. Saya skip cerita tentang lelaki kedua karna memang tidak banyak yang bisa
diceritakan selain ajakan kencan yang tidak pernah terlaksana karna masalah
teknis (awal awal dimalang saya mudik hampir tiap minggu).
Yang menarik adalah lelaki ke
tiga, sejak awal berkenalan kami tidak pernah menyentuh sisi sisi romantis, kami
hanya bicara tentang apa saja, berbagi tentang apa saja, saling menyampah satu
sama lain, saling menjadi Mario dan Maria Teguh bagi satu sama lain. Lama
kelamaan, saya candu, dia candu, kami candu yang mungkin lama lama akan jadi
racun kalau di endapkan terlalu lama tanpa penangkal. Mungkin terlalu dini
untuk mengatakan saya jatuh cinta, tapi yang saya berani jamin, saya sayang
dengan hubungan ini. Ini merupakan hubungan paling jujur yang pernah saya
punya, jujur dan alami. Saya ber ekspektasi lebih pada hubungan ini, benar
benar ingin menjaganya hingga ia menemui takdirnya seperti apapun nantinya,
saya benar benar ingin berusaha. Saya mulai berpikir, kenapa saya kemudian
berpikiran seperti ini?. Lalu saya sampai pada sebuah kesimpulan bahwa ini
adalah titik kulminasi dimana semua kesempatan bertemu, dimana semua lini
bersinergi membentuk sebuah harmonisasi, the who, the when, the how, the why,
the what sepakat dalam satu suara kecuali the where. Haha… saya masih belum
terbebas dari karma ternyata ya?.
Teman saya bilang, ‘pengorbanan
itu hal wajib dalam cinta’. Saya pikir, menjadi jatuh cinta itu pilihan, walaupun
kita tidak bisa memilih jatuh cinta pada siapa, namun kita selalu diberi
pilihan pada kata ‘kerja’nya, dan tidak ada kata ‘pengorbanan’ dalam sebuah
pilihan, memilih itu tidak sama dengan berkorban. Saya benci dengan doktrin
klasik tentang cinta, yang Romeo Juliet lah, yang Laila Majnun lah, cinta kok
bikin mati. Tuhan menciptakan cinta kan buat kemaslahatan manusia, untuk
menjadi bahagia, yang tentu didapat karna usaha, begitu bukan?. Yang lucu lagi,
(bagi saya lucu), teman saya bilang, ‘lelaki itu perlu diuji untuk tau seberapa
besar dia mengiginkan kita’. Lah????... saya takjub dengan statement ini, lah
kan ceritanya saya baru belajar bercinta, la kok sudah diminta menguji, lembar
assessment yang bagaimana yang saya butuhkan untuk menguji lelaki?. Sumpah,
otak saya tidak sampai pada asumsi itu, karna bagi saya, hubungan itu tentang
negosiasi kedua belah pihak, saling terbuka terhadap pilihan agar bisa satu. Bagi saya, pihak yang perlu diuji ya diri kita
sendiri, sudah mantapkah terhadap pilihan?, siapkah dengan konsekuensi yang
mengikuti?, setelah masing masing pihak lolos ujian diri sendiri, biarkan
hubungan itu diuji oleh waktu, seberapa kuat tim romantis ini
mempertahankannya. Begitu setidaknya saya memandang sebuah hubungan romantis, konseptual memang, saya sedang dalam tahap mengujinya secara empiris.
Saya selalu berpikir akan menikah
di umur 27 tahun, bertemu dengan pasangan romantis saya dalam kemegahan yang
sederhana, dengan konsep setengah matang yang siap dimasak bersama. Lalu saya
akan pensiun dini saat anak perempuan saya mendapat haid pertamanya dan anak
lelaki saya mulai mimpi basah untuk menjadi sahabat terbaik mereka. Membuka
kedai kopi yang dilengkapi dengan perpustakaan, belajar menjadi barista dan
koki, lalu membaca sambil ngopi sepanjang hari sambil menunggu anak anak saya
pulang sekolah dan suami saya pulang kerja. Haha… berkhayal memang surga.
Hemm, baiklah.. ini sudah jam 3
pagi, kopi saya sudah habis, kerjaan saya masih menumpuk. Tapi saya senang
akhirnya saya menulis lagi dan membersihkan sarang laba laba di blog saya yang
lama nganggur. Saya selalu berpikir bahwa menjadi jatuh cinta itu anugerah,
walaupun kita tetap harus bersiap dengan patah hati. Jika suatu saat saya patah
hati lagi, mungkin pandangan saya tentang cinta akan berubah karna frustasi,
mungkin saya akan menjadi feminis garis keras yang membenci keberadaan lelaki
dan hanya akan mengunjungi bank sperma dan juga sex toy store serta mendukung
pemusnahan masal kaum lelaki (ihh… serem bener deh). Tapi saat ini saya hanya
akan menikmati apa yang hadir pada saya, kerlipan merah di BB saya, dering
tengah malam dengan suara yang membangunkan saya untuk lembur, serta rayuan
lucu yang mengatakan saya memiliki mata menggemaskan seperti Candy Candy.
Semoga saya dan anda semua
berkelindang dengan takdir baik Tuhan, semoga saya dan anda hidup bahagia walau
tidak seperti Cinderella. Amin.
Salam jam 3 pagi….. ^^
NB : Selama masih ada truk
bertuliskan ‘Putus cinta itu hal biasa, Putus rem matilah kita’, maka jangan
pernah takut jatuh cinta selama rem motor atau mobil anda baik baik saja.